Pemerintah Amerika Serikat mendesak junta militer Myanmar menahan diri dan tidak melakukan represi serta tindakan kekerasan terhadap warga pengunjuk rasa.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, SABTU — Pemerintah Amerika Serikat mendesak junta militer Myanmar menahan diri dan tidak melakukan represi serta tindakan kekerasan terhadap warga pengunjuk rasa setelah kematian salah satu peserta aksi, Mya Thwe Thwe Khaing. Washington juga mendesak junta militer menyerahkan kekuasaan yang diambilnya secara tidak sah sejak 1 Februari lalu kepada pemerintahan sipil.
”Kami mengecam setiap kekerasan terhadap rakyat Burma dan mengulangi seruan kami kepada militer Burma untuk menahan diri dari kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai,” kata juru bicara Departemen Luar Negeri AS, Ned Price, kepada wartawan, Jumat (19/2/2021). Price memilih menggunakan nama lama Myanmar, yaitu Burma. Lebih lanjut Price mengatakan, Pemerintah AS akan terus memimpin upaya diplomatik untuk mendorong komunitas internasional melakukan tindakan kolektif pada orang-orang yang dinilai bertanggung jawab atas kudeta tersebut.
Menteri Luar Negeri AS Anthony Blinken mengatakan, AS yang telah menjatuhkan sanksi terhadap beberapa petinggi junta berharap tekanan akan membuat junta terjepit. Namun, hal itu akan membutuhkan waktu.
”Harapan saya adalah karena semakin banyak negara berkumpul untuk menjelaskan bahwa ini tidak dapat diterima. Kami akan melihat perubahan dari militer,” kata Blinken dalam wawancara dengan BBC.
Dia mengatakan, ada kemungkinan kenyataan pahit yang harus dihadapi semua pihak bahwa transisi demokrasi di Myanmar benar-benar terputus dan junta tidak mau mendengar masukan dunia internasional. Itu sebabnya, menurut dia, tekanan internasional dibutuhkan untuk bisa menyadarkan bahwa kudeta militer, perebutan kekuasan dari sebuah proses demokrasi, adalah hal yang tidak dapat diterima.
Perlawanan mengeras
Kematian Mya Thwate Thwate Khaing, pekerja toko bahan makanan yang baru berusia 20 tahun, yang meninggal pada Jumat (19/2/2021), tidak membuat aksi demo menyurut. Dia menjadi simbol perlawanan yang terus menguat rakyat Myanmar terhadap junta militer pimpinan jenderal senior Ming Aung Hlaing. Para pengunjuk rasa mengangkat fotonya tinggi-tinggi dalam aksi mereka dan bahkan membentangkan spanduk besar dari jembatan yang memperlihatkan saat dia ditembak oleh aparat keamanan.
Sang kakak, Mya Thatoe Nwe, berpesan rakyat Myanmar agar rakyat tidak menyerah memperjuangkan kembalinya demokrasi di negara mereka.
”Silakan berpartisipasi dan terus berjuang sampai tujuan kita tercapai,” katanya.
Para pengunjuk rasa di Mandalay, kota terbesar kedua di negara itu, mendirikan altar doa di trotoar dengan lilin dan foto Mya Thwate Thwate Khaing. Sekitar 200 orang memberikan penghormatan pada upacara untuk mengenangnya.
Khin Wai, salah satu warga yang berpartisipasi dalam upacara tersebut, meminta kepada siapa pun, terutama aparat keamanan, agar mereka tidak menyakiti warga yang tengah memperjuangkan hak-haknya.
Joanne Mariner, Direktur Tanggap Krisis Amnesty Internasional, mengatakan, protes yang terus terjadi dan berpotensi mengeras membuat aparat keamanan Myanmar harus berpikir ulang untuk menggunakan senjata mematikan. ”Pasukan keamanan Myanmar harus berhenti membawa dan menggunakan senjata mematikan dan harus menghormati hak orang untuk mengungkapkan keluhan mereka secara damai. Hanya masalah waktu sebelum kebijakan brutal dan kejam yang sama (dapat) menyebabkan lebih banyak kematian dan kesedihan,” kata Mariner.
Juru bicara junta, Zaw Min Tun, yang juga adalah Wakil Menteri Informasi, tidak menyangkal bahwa Mya Thwet Thwet Khaing telah ditembak oleh pasukan keamanan. Namun, dia mengatakan, korban berada di tengah kerumunan yang tengah melemparkan batu ke arah polisi. Kasus ini tengah diselidiki dan tidak ada laporan independen bahwa korban mengambil bagian dalam unjuk rasa apa pun, seperti yang diklaim militer.
Aparat keamanan sejauh ini tampak menahan diri melakukan kekerasan bila berada di lokasi aksi yang dipantau oleh media. Namun, di lokasi-lokasi yang minim kehadiran media, sikap mereka berbalik 180 derajat.
Polisi menggunakan kekerasan selama hari kedua untuk menangkap pengunjuk rasa di Myitkyina, ibu kota negara bagian Kachin di utara yang terpencil. Etnis minoritas Kachin telah lama berkonflik dengan pemerintah pusat, dan telah terjadi perlawanan bersenjata yang berselang-seling melawan tentara selama beberapa dekade. Sejumlah pengunjuk rasa dikabarkan terluka akibat bentrok dengan aparat keamanan dalam unjuk rasa di kota Dawei.
Tom Andrews, ahli hak asasi manusia independen PBB di Myanmar, mengatakan, sikap aparat keamanan dalam mengawal aksi berubah dalam beberapa kasus. Mereka, kata Andrews, telah menggunakan peluru karet, meriam air, dan bahkan amunisi asli saat berhadapan dengan para pengunjuk rasa. (AP/AFP/Reuters)