Rezim Militer Kembali Unjuk Kekerasan, Dua Orang Tewas Ditembak
Kekerasan senjata aparat keamanan rezim militer Myanmar telah menewaskan tiga pengunjuk rasa massa prodemokrasi yang menuntut pemulihan pemerintahan sipil.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
YANGON, MINGGU — Rezim militer Myanmar yang memiliki catatan buruk dalam meredam unjuk rasa di masa lalu kembali unjuk kekerasan. Komunitas internasional, Minggu (21/2/2021), mengecam tindakan aparat yang menembak mati dua pengunjuk rasa di Mandalay, kota besar kedua di Myanmar, kemarin.
Sabtu (20/2/2021) menjadi hari paling mematikan selama unjuk rasa yang telah berjalan lebih dari dua minggu di Myanmar. Polisi dan tentara menembaki pengunjuk rasa, yang menarget aparat dengan batu pakai katepel di Mandalay. Para saksi mata menemukan selongsong peluru tajam dan peluru karet di tanah.
Sebelumnya, Mya Thwate Khaing (20), korban luka tembak polisi ketika membubarkan massa demonstran pada 9 Februari lalu di Yangon, meninggal dalam perawatan di rumah sakit, Jumat (19/2/2021). Dengan demikian, kekerasan senjata aparat keamanan rezim militer Myanmar telah menewaskan tiga orang.
Komunitas internasional kembali mengecam kekerasan aparat keamanan Myanmar yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Massa prodemokrasi menentang kudeta militer dari pemimpin sipil de facto, Aung San Suu Kyi.
Menurut laporan majalah Frontier Magazine, asisten editor Voice of Myanmar, dan sukarelawan dokter, mengatakan, seorang korban tertembak di kepala dan meninggal di tempat. Video yang beredar di Facebook memperlihatkan seorang korban yang masih remaja terbaring di tanah dengan kepala berdarah. Pengunjuk rasa lainnya memegangi dadanya untuk merasakan detak jantungnya.
Ko Aung, Pemimpin Parahita Darhi, sebuah kelompok dokter sukarelawan, menginformasikan, korban tewas lainnya tertembak di dada dan meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit. Ia dikenali sebagai Thet Naing Win, seorang tukang kayu berusia 36 tahun.
”Mereka membawa jenazahnya ke kamar mayat. Saya belum bisa membawanya pulang. Meski suami saya meninggal, saya masih punya anak laki-laki,” kata istri korban, Thidar Hnin. ”Saya belum terlibat dalam gerakan ini, tetapi sekarang saya akan ikut. Saya tidak takut sekarang.”
Polisi sendiri belum memberikan tanggapannya atas jatuhnya korban jiwa dalam bentrok selama unjuk rasa di Mandalay.
Bentrok antara pengunjuk rasa dan aparat keamanan dimulai di Mandalay ketika sekitar 500 aparat keamanan berusaha menyerang dermaga Yadanabon menahan pegawai pelabuhan yang mogok kerja untuk memprotes kudeta militer.
Ketua sukarelawan medis lainnya, Hlaing Min Oo, menambahkan, ada 30 orang lainnya yang terluka, separuhnya terluka karena luka tembak. Media lokal melaporkan bahwa puluhan orang ditangkap setelah bentrokan itu.
”Mereka memukul dan menembak suami saya,” ujar salah seorang warga. ”Dia berdiri di pinggir menonton demonstrasi, tetapi tentara membawanya.”
Sehari sebelumnya, Jumat (19/2/2021), seorang perempuan pengunjuk rasa, Mya Thwate Khaing, juga tewas di rumah sakit setelah ditembak polisi saat berdemonstrasi di ibu kota Naypyidaw. Tewasnya Mya Thwate dengan cepat ia menjadi simbol perlawanan masyarakat sipil terhadap militer Myanmar.
Kekerasan aparat menghadapi demonstrasi hingga jatuh korban jiwa langsung memicu kecaman keras komunitas internasional. Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, Sabtu, mengatakan, ”Penggunaan kekerasan mematikan, intimidasi, dan pelecehan terhadap demonstrasi damai tidak bisa diterima.”
Singapura, Inggris, Amerika Serikat, dan Perancis juga mengecam tindak kekerasan aparat Myanmar.
”Kami sangat mendesak aparat keamanan untuk menahan diri dan segera mengambil langkah untuk meredakan dan memulihkan situasi,” kata Kementerian Luar Negeri Singapura. ”Jika eskalasi tetapi memanas akan ada konsekuensi yang serius bagi Myanmar dan kawasan.”
Inggris yang sudah menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar mempertimbangkan untuk menjatuhkan sanksi pada mereka yang terlibat dalam kekerasan terhadap demonstran. ”Kami akan mempertimbangkan tindakan selanjutnya dengan mitra internasional kami terhadap mereka yang menghancurkan demokrasi dan mengekang perbedaan,” tulis Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab di Twitter.
Sejak kudeta militer terjadi 1 Februari 20210, AS, Inggris, Kanada, dan Selandia Baru telah menjatuhkan sanksi terbatas yang fokus pada para pemimpin militer Myanmar.
Sementara itu, para menlu Uni Eropa akan bertemu Senin besok untuk membahas sikap mereka terhadap rezim militer Myanmar. Kepala Kebijakan Luar Negeri UE Josep Borell mendesak pasukan keamanan untuk ”segera menghentikan kekerasan terhadap warga sipil”.
Pada Sabtu, Facebook mengumumkan telah memblokir halaman akun unit informasi militer Myanmar ”atas pelanggaran berulang terhadap standar kami yang melarang penghasutan kekerasan dan mengoordinasi kerusakan”.
Menurut Assistance Association for Political Prisoners, hampir 570 orang telah ditahan sejak kudeta militer 1 Februari lalu, termasuk pegawai kereta api, pegawai negeri, dan pegawai bank yang mogok sebagai bentuk perlawanannya terhadap kudeta.
Otoritas keamanan Myanmar menyatakan bahwa cara mereka membubarkan demonstrasi tidak melanggar hukum. Seorang juru bicara militer mengatakan bahwa seorang polisi telah meninggal di Mandalay pasca-bentrokan.
Sejauh ini, pasukan keamanan telah relatif menahan diri dalam menghadapi demonstrasi di Yangon. Namun, di beberapa kota di mana lebih sedikit media yang meliput yang terjadi justru sebaliknya. (AFP/AP/REUTERS)