Perpanjangan Penahanan Suu Kyi Memanaskan Situasi di Myanmar
Unjuk rasa dan pembangkangan sipil melawan militer Myanmar terus bergulir. Perpanjangan penahanan dan rencana pengadilan Suu Kyi memanaskan situasi.
Oleh
BENNY D KOESTANTO/LUKI AULIA
·4 menit baca
YANGON, SENIN -- Junta militer Myanmar memutuskan untuk memperpanjang penahanan pemimpin sipil yang digulingkan, Aung San Suu Kyi, dari batas akhir penahanan Senin (15/2/2021). Suu Kyi juga diperkirakan akan menghadiri pengadilan lewat konferensi video dalam pekan ini terkait tuduhan junta militer terhadap dirinya.
Perkembangan terbaru itu semakin memanaskan ketegangan antara militer dan masyarakat luas yang terus berunjuk rasa di sejumlah kota besar dan kecil di Myanmar. Namun, junta terus meningkatkan represinya.
Misalnya, semula dengan melarang orang berkumpul, lalu terus menangkapi para politisi dan aktivis, baik mahasiswa maupun rakyat biasa, serta menerapkan jam malam.
Tindakan itu diikuti dengan penutupan akses komunikasi, seperti mematikan semua jaringan internet dan telekomunikasi, untuk ketiga kali dalam dua pekan sejak kudeta 1 Februari 2021.
Terakhir, militer mengerahkan ribuan personel lengkap dengan kendaraan lapis baja sejak Minggu malam. Mereka disebar ke semua kota dengan konsentrasi besar massa pengunjuk rasa melawan rezim militer yang dicap otoriter.
Junta, antara lain, menurunkan pasukan dari divisi infanteri ringan yang dikenal brutal dan kejam ketika melakukan operasi di Negara Bagian Rakhine pada 2016-2018. Operasi ini mengakibatkan banyak warga etnis Rohingya terbunuh dan lebih dari 700.000 hingga 1 juta orang lari ke Bangladesh.
Sementara itu, Suu Kyi, yang di pemerintahan sipil Myanmar duduk sebagai penasihat negara atau pemimpin de facto Myanmar, masih mendekam dalam tahanan rumah sejak kudeta. Ia dituduh memiliki alat komunikasi walkie-talkie impor secara ilegal atau tidak terdaftar.
Pengadilan virual
Khin Maung Zaw, pengacara yang mewakili Suu Kyi, mengatakan, tokoh penerima Nobel Perdamaian 1991 itu akan ditahan hingga Rabu (17/2). Sementara Presiden Win Myint, yang ditahan pada hari yang sama dengan Suu Kyi, didakwa melanggar pembatasan pandemi Covid-19. Pelanggaran terjadi saat dia ikut dalam kampanye pada September 2020 yang dihadiri ratusan orang.
Menurut sang pengacara, kedua pemimpin sipil itu diperkirakan bakal hadir di pengadilan secara virtual pada Selasa ini dan Rabu. ”Saat mereka dibawa ke pengadilan pada tanggal 16 dan 17 Februari, mereka akan diperiksa melalui konferensi video,” kata Khin Maung Zaw.
Ini adalah pertarungan untuk masa depan kami, masa depan negara kami.
Penangkapan dan penahanan, hingga tuntutan pembebasan Suu Kyi, Myint, dan para politisi partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menjadi agenda utama demonstrasi jalanan di Myanmar. Hal itu dilakukan seiring dengan pembangkangan sipil yang dimotori para pekerja medis di tengah pandemi Covid-19.
Warga secara bulat menuntut militer agar memulihkan kekuasaan sipil yang telah terpilih secara demokrasi pada pemilu 2015. Demikian juga terkait dengan pemilu parlemen pada November 2020 yang dimenangi NLD. Meski demikian, militer Myanmar menganggap pemilu tahun lalu itu penuh kecurangan sehingga menjadi alasan untuk kudeta.
”Ini adalah pertarungan untuk masa depan kami, masa depan negara kami,” kata aktivis pemuda Esther Ze Naw dalam aksi protes di Yangon. ”Kami tidak ingin hidup di bawah kediktatoran militer. Kami ingin mendirikan persatuan federal yang nyata di mana semua warga negara dan etnis diperlakukan sama.”
Ribuan insinyur berbaris di jalan-jalan Mandalay, kota terbesar kedua Myanmar, untuk memprotes kudeta dan represi militer. Di Yangon, 1.000 demonstran berada di luar gedung bank sentral. Mereka berhadapan dengan truk-truk militer yang penuh tentara, polisi antihuru-hara, truk meriam air, dan kendaraan lapis baja.
Tampilnya rezim militer kini menghidupkan kembali ingatan kelam rakyat Myanmar terhadap represi militer selama setengah abad kekuasaan junta. Rezim militer sebenarnya berakhir pada 2011 ketika memulai penarikan diri dari politik sipil.
Militer membenarkan kudeta dengan mengutip salah satu klausul Konstitusi 2008 yang disusun militer. Peraturan itu mengatakan, dalam kondisi darurat nasional, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif agar diserahkan kepada panglima militer. Ini salah satu dari banyak bagian piagam yang memastikan militer bisa mempertahankan kendali akhir atas negara pariah yang telah dikuasai militer selama 50 tahun sejak kudeta pada tahun 1962.
Tanggung jawab
Pelapor Khusus PBB Tom Andrews menilai, berbagai upaya militer menekan gerakan protes dan memerangi rakyatnya sendiri menunjukkan rezim militer semakin putus asa. ”Untuk semua jenderal: kalian semua akan dimintai pertanggungjawaban,” tulisnya di Twitter.
Menyikapi perkembangan situasi di lapangan, muncul pernyataan bersama dari kedutaan besar Amerika Serikat, Inggris, dan Uni Eropa yang mendesak militer untuk tidak melukai warga sipil.
Imbauan yang sama datang dari Sekjen PBB Antonio Guterres. ”Otoritas harus menjamin hak rakyat untuk berkumpul secara damai dan pengunjuk rasa tidak mendapat perlakuan kekerasan,” sebut pernyataan tertulis Guterres.
Guterres juga meminta rezim militer agar segera memperbolehkan diplomat Swiss, Christine Schraner Burgener, masuk ke Myanmar untuk melaporkan situasi secara langsung.
Pekan lalu, rezim militer pekan lalu mengancam akan menangkap siapa saja yang terlibat dalam unjuk rasa dan aksi pembangkangan sipil. Penahanan atas sedikitnya 400 orang sejak kudeta militer, 1 Februari lalu, juga tidak berhasil membuat rakyat mundur.(AP/AFP/REUTERS)