Pembangkangan Sipil di Myanmar Meluas dengan Target Rezim Militer Tumbang
Meski ribuan tentara dan polisi dikerahkan, warga Myanmar tidak takut. Unjuk rasa dan pemogokan untuk memprotes kudeta semakin meluas. Sebagian pengunjuk rasa sengaja berbaris di depan tank dan truk pengangkut tentara.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
Setelah 16 hari, kudeta militer di Myanmar terus dilawan warga. Selain melalui unjuk rasa-unjuk rasa tanpa putus, perlawanan rakyat Myanmar juga ditunjukkan dengan pemogokan para pekerja di berbagai sektor.
Jenderal Senior Min Aung Hlaing, panglima tertinggi militer Myanmar, sudah meminta pekerja mengakhiri pemogokan. Ia menyebut pemogokan itu merupakan buah dari penghasutan orang-orang tidak jelas.
Namun, ajakan Min Aung Hlaing tidak dihiraukan warga. ”Kami tidak akan kembali bekerja sampai dia turun,” kata Kyaw Zin, dokter bedah yang memimpin gelombang pertama pemogokan tenaga kesehatan Myanmar, merujuk kepada Hlaing. Pernyataan Kyaw Zin dikutip koran Amerika Serikat, The New York Times, dalam laporan pada Selasa (16/2/2021).
Pada 1 Februari, Tatmadaw menangkap Presiden Win Myint dan Penasihat Negara Aung San Suu Kyi serta ratusan orang lainnya. Sampai sekarang, keberadaan Win Myint dan Suu Kyi tidak diketahui. Informasi terbaru soal mereka hanyalah menyebutkan bahwa Myint akan disidang pada Selasa ini dan Suu Kyi disidang pada Rabu besok.
Win Myint didakwa melanggar perintah pembatasan gerak untuk pengendalian laju infeksi Covid-19. Pelanggaran disebut dilakukan win Myint kala ia berkampanye bagi Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) menjelang pemilu November 2020.
Sementara Suu Kyi didakwa mengimpor peralatan telekomunikasi ilegal. Aparat mengaku menemukan enam radio telekomunikasi di rumah pemimpin NLD, partai pemenang pemilu Myanmar 2020, itu.
Setelah menangkap banyak politisi dan pejabat pemerintah, Tatmadaw menunjuk Wakil Presiden Myanmar Letnan Jenderal (Purn) Myint Swe sebagai pelaksana tugas presiden. Myint Swe segera menyerahkan kekuasaan kepada Tatmadaw. Di bawah komando Min Aung Hlaing, Tatmadaw membentuk pemerintahan sementara dan menetapkan keadaan darurat.
Blokir internet
Untuk mengendalikan arus informasi, Tatmadaw memerintahkan penyedia layanan internet dan telekomunikasi berhenti beroperasi. Mereka juga menguasai kantor-kantor media massa dan hanya menyiarkan informasi versi Tatmadaw.
Militer juga mengerahkan ribuan anggotanya untuk membubarkan unjuk rasa. Bahkan, Tatmadaw dan polisi mulai menembaki pengunjuk rasa.
Bukannya rakyat Myanmar takut dan aksi mereka surut, perlawanan malah semakin meluas. Di Yangon, pengemudi sengaja memarkir mobil dan motor di tengah jalan untuk menghambat kendaraan polisi dan tentara melintas. Di mobil-mobil warga terpasang poster ”kami tidak mau pemerintahan militer”. Sebagian pengunjuk rasa sengaja berbaris di depan tank dan truk pengangkut tentara.
”Dia (Min Aung Hlaing) tidak berhak meminta kami kembali bekerja karena tidak ada yang mengakui dia sebagai pemimpin. Dia harus turun. Ini harus jadi kudeta terakhir di Myanmar. Kami akan berjuang,” kata Kyaw Zin.
Ia tetap melayani pasien, hanya lokasinya saja yang berbeda. Dari rumah sakit pemerintah, kini ia melayani pasien di rumah atau klinik swasta. Ia tidak memungut biaya untuk pasien yang menemuinya di klinik swasta.
Myanmar terus berulang kali mengalami kudeta. Tatmadaw pertama kali melancarkan kudeta pada 1962. Pada 1990, NLD untuk pertama kali memenangi pemilu, tetapi Tatmadaw menolak mengakuinya. Pada 2021, Tatmadaw kembali menolak hasil pemilu yang lagi-lagi dimenangi NLD. Tak hanya menolak hasil pemilu, kali ini mereka melancarkan kudeta.
Pembangkangan sipil
Kyaw Zin tidak mogok sendirian. Banyak dokter dan perawat di rumah sakit dan klinik pemerintah juga mogok kerja. Mereka bergabung dalam gerakan yang dikenal sebagai Gerakan Pembangkangan Sipil (CDM). Di media sosial dan layanan pesan di telepon seluler, ajakan bergabung dengan CDM terus diserukan berbagai pihak.
Selain tenaga kesehatan, pemogokan juga dilakukan oleh pekerja di berbagai lembaga negara dan BUMN. ”Kami tidak akan bekerja di bawah diktator. Saya yakin kami bisa menjatuhkan rezim,” ujar Kyaw Zin.
Aparatur sipil negara (ASN) amat penting untuk operasional Myanmar. Sejumlah pihak menaksir hingga 750.000 dari 1 juta ASN Myanmar bergabung dengan CDM. Di Kementerian Energi dan Kelistrikan, sebanyak 60 persen pegawai mogok.
Seorang pekerja Kementerian Energi dan Kelistrikan, U Pyae Sone Ko Ko, menyebut bahwa mayoritas yang mogok adalah para pencatat meter. Dengan pemogokan oleh pencatat meter, berarti tidak ada data untuk dasar tagihan. Sejumlah pegawai kementerian memang mendorong warga tidak membayar listrik.
Mereka menyebut, listrik tidak akan diputus jika tidak membayar selama dua bulan. ”Kita harus terlibat di CDM untuk menghentikan rezim dan menjatuhkan kediktatoran,” kata Pyae Sone Ko Ko. Di PLTA Baluchaung 1 dan 2, sebanyak 130 pekerja mogok. PLTA itu memasok total 196 megawatt dan menjadi salah satu sumber listrik penting bagi Myanmar.
Laman berita Myanmar, Frontier Myanmar, melaporkan bahwa sebagian pekerja PLTA tetap masuk untuk memastikan pasokan listrik tetap terjaga. ”Tanpa listrik, bisa berbahaya untuk warga,” kata salah seorang pekerja yang menolak diungkap namanya.
Pemogokan juga dilakukan sejumlah karyawan bank swasta. ”Jika kami berhenti bekerja, perekonomian akan terhenti. Min Aung Hlaing dan diktator militer peduli pada ekonomi karena sangat cinta uang. Saya sangat yakin kami bisa menjatuhkan diktator jika semua pekerja bank bergabung dengan CDM,” ujar Daw Thandar Kyaw, salah satu karyawan bank yang ikut pemogokan. (AP/REUTERS)