Menjaga gurita bisnis militer dan pensiunannya menjadi motif di balik kudeta militer Myanmar. Kekhawatiran menyusutnya keran penghasilan para jenderal aktif dan pensiunan militer menjadi alasan terbesar kudeta saat ini.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
Kudeta militer di Myanmar diduga tak terlepas dari kekhawatiran para jenderal, baik yang masih aktif maupun yang telah pensiun, kehilangan cengkeraman pada gurita bisnis yang selama ini mereka kuasai. Nilai sangat besar. Bahkan, setelah Amerika Serikat menutup akses atas dana sebesar 1 miliar dolar AS dan Departemen Keuangan AS memblokir semua aset serta transaksi pada 10 pejabat tinggi militer yang bertanggung jawab atas kudeta, para ahli percaya mereka masih memiliki akses terhadap kekayaan yang sangat besar.
Laporan sebuah organisasi nonprofit Justice for Myanmar menyebutkan, militer bisa mengakses dana besar melalui dua unit usaha raksasa milik negara yang dikendalikan militer, yaitu Myanmar Economic Holdings Limited (MEHL) dan Myanmar Economic Corporation (MEC). Dua unit usaha ini setidaknya membawahkan 133 perusahaan dengan bisnis inti yang bermacam-macam, mulai bir, tembakau, transportasi, tekstil, perbankan, hingga pertambangan.
”Memerintah selama hampir setengah abad, petinggi militer punya waktu untuk memperkaya diri mereka sendiri,” kata Francoise Nicolas, Direktur Kawasan Asia pada Institut Hubungan Internasional Perancis. Dia menambahkan, kudeta terjadi karena militer mengkhawatirkan prospek masa depan gurita bisnisnya setelah partai Aung San Suu Kyi, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), menang telak.
Laporan Global Witness menyebutkan, salah satu bisnis pertambangan yang menguntungkan adalah bisnis batu giok dan rubi. Meski Myanmar diakui sebagai penghasil batu giok terbesar di dunia dengan nilai perdagangannya miliaran dolar AS, hanya sebagian kecil yang masuk ke dalam kas negara.
Myanmar Imperial Jade Co Ltd, anak perusahaan MEHL yang bermitra dengan perusahaan lain dari China, Jepang, Korea Selatan, dan Singapura, diketahui merupakan pemilik izin pertambangan giok terbesar di Myanmar. Menurut Global Witness, pemegang saham mayoritas adalah pejabat militer aktif dan pensiunan militer.
Menurut laporan Amnesty Internasional, mereka menerima dividen 18 miliar dollar AS antara tahun 1990 dan 2011. Pemimpin kudeta militer Jenderal Min Aung Hlaing, salah satu pemegang saham mayoritas, menerima dividen sekitar 250.000 dolar untuk tahun 2011 saja.
Setelah kudeta, militer mendapatkan kembali kendali atas perusahaan-perusahaan negara. Mereka kini memperoleh akses terhadap Perusahaan Minyak dan Gas Myanmar--yang bermitra dengan Total Prancis dan Chevron AS--dan merupakan aset yang sangat penting bagi perekonomian negara. Dari hasil penjualan gas alam, perusahan ini dilaporkan mampu menghasilkan keuntungan hingga satu miliar dolar per tahun.
Total, yang sebagian besar beroperasi di ladang gas Yadana lepas pantai raksasa dan membayar 257 juta dollar AS kepada pemerintah Myanmar pada 2019, mengatakan akan mengevaluasi dampak kudeta. Woodside Australia, yang memegang saham dengan Total dalam proyek lepas pantai lainnya, mengatakan pihaknya "memantau situasi".
Menyikapi hal itu, Debbie Stothard dari Federasi Internasional untuk Hak Asasi Manusia, mendorong lebih banyak hukuman untuk membatasi akses dana para jenderal. Ia mendesak perusahaan internasional untuk memutuskan semua kemitraan dengan para pemimpin yang berkuasa.
Ia mengatakan, Singapura—investor asing terbesar di Myanmar—adalah kuncinya. ”Beberapa petinggi militer Myanmar memiliki banyak investasi pribadi dan rekening bank di Singapura sejak pertengahan 2000-an. Kecenderungan itu meningkat dalam beberapa tahun terakhir,” katanya.
Justice For Myanmar, Yadanar Maung, mendesak tindakan pembalasan cepat. "Tanpa tindakan definitif sekarang, militer akan menimbulkan lebih banyak kekerasan terhadap rakyat, dan demokrasi tidak akan ada kesempatan," katanya.
Tetapi, pengamat lain juga memperingatkan agar tidak menjerumuskan kembali salah satu negara termiskin di Asia Tenggara ke dalam kesulitan ekonomi, terutama karena junta berpengalaman dalam sanksi. Richard Horsey, analis politik yang tinggal di Myanmar, mengatakan, junta memiliki pengalaman bisa bertahan hidup dalam tekanan embargo.
"Pembuat kebijakan harus menahan keinginan untuk memberlakukan tindakan yang lebih keras secara progresif tanpa analisis biaya-manfaat yang jelas. Jangan menyakiti orang Myanmar karena dosa para penguasa mereka,” kata Horsey.
Peluru tajam
Sementara itu, hingga Jumat (12/2/2021), warga Myanmar terus berunjuk rasa menolak kudeta militer. Tiga orang terluka saat polisi menembakkan peluru karet untuk membubarkan unjuk rasa puluhan ribu orang di kota Mawlamyine.
"Tiga tertembak-satu wanita di dalam rahim, satu pria di pipinya dan satu pria di lengannya," kata pejabat Palang Merah Myanmar Kyaw Myint, yang menyaksikan bentrokan itu.
Kantor hak asasi manusia PBB mengatakan bahwa lebih dari 350 orang, termasuk pejabat, aktivis dan biksu, ditangkap militer sejak kudeta terjadi 1 Februari lalu. Alasan yang digunakan militer untuk menahan mereka, menurut kantor hak asasi manusia PBB, meragukan.
Penyelidik hak asasi manusia PBB untuk Myanmar mengatakan pada sesi khusus Dewan Hak Asasi Manusia di Geneva bahwa berdasarkan laporan yang berkembang dan disertai bukti foto bahwa aparat keamanan Myanmar telah menggunakan peluru tajam terhadap pengunjuk rasa, yang melanggar hukum internasional.
Ratusan dokter dan tenaga kesehatan, menggunakan jas putih, turun ke jalan untuk memprotes kudeta militer. Mereka berbaris melewati pagoda emas Shwedagon, situs Buddha paling suci di negara itu, berbaur dengan massa pendemo lainnya.
Myint Thu, Duta Besar Myanmar untuk PBB di Geneva, dalam sebuah sesi khusus menyatakan bahwa pemerintahan junta menginginkan pemahaman yang lebih baik tentang situasi sebenarnya di negara tersebut. Dia juga berharap, keterlibatan konstruksif serta kerja sama dari komunitas internasional.
"Kami tidak ingin menghentikan transisi demokrasi yang baru lahir di negara ini," katanya.
Hal itu sejalan dengan pesan pemimpin kudeta, Jenderal Min Aung Hlaing, yang meminta agar rakyat Myanmar bergandengan tangan dengan militer (Tatmadaw) untuk keberhasilan mewujudkan demokrasi yang sesungguhnya.
“Saya dengan serius akan mendesak seluruh bangsa untuk bergandengan tangan dengan Tatmadaw untuk keberhasilan realisasi demokrasi. Pelajaran sejarah telah mengajarkan kita bahwa hanya persatuan nasional yang dapat memastikan non-disintegrasi Persatuan dan pelestarian kedaulatan,” kata dia. (AP/AFP/REUTERS)