Israel Manfaatkan Vaksin Covid-19 untuk Menekan Hamas
Sebanyak 2.000 dosis vaksin Sputnik-V dari Tepi Barat, yang akan dikirim ke Jalur Gaza, dicegat oleh penjaga perbatasan Israel. Sumber di kantor penghubung Palestina-Israel mengakui, pelarangan itu lebih karena politik.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
GAZA, SELASA — Israel menggunakan vaksin Covid-19 sebagai alat baru untuk menekan kelompok perlawanan Palestina, Hamas. Hal itu terungkap kala pengiriman 2.000 dosis vaksin Covid-19 ke Gaza dicegat oleh Israel.
Kementerian Kesehatan Palestina mengumumkan adanya larangan Israel itu pada Senin (15/2/2021). Sejumlah sumber di kantor penghubung Israel dengan Palestina, Cogat, mengakui bahwa pelarangan tersebut disebabkan alasan politis.
Pengiriman vaksin Covid-19, menurut sumber-sumber di Israel, bukan masalah administrasi rutin yang ditangani Cogat. Masalah itu lebih merupakan keputusan politis terkait dengan perundingan antara Hamas dan Israel.
Kemenkes Palestina mengetahui larangan itu kala 2.000 dosis vaksin Sputnik-V dari Tepi Barat dicegat oleh penjaga perbatasan Israel. Tim pengirim diberi tahu bahwa belum ada izin untuk pengiriman vaksin tersebut.
Tepi Barat dan Gaza dipisahkan oleh wilayah yang diduduki Israel. Jarak terdekat dari kedua wilayah Palestina itu adalah 38 kilometer. Perjalanan di antara kedua wilayah Palestina itu harus melewati wilayah pendudukan Israel. Karena itu, dibutuhkan izin dari otoritas Israel untuk pelintasan tersebut.
Hampir seluruh sisi Gaza dikurung Israel. Ada sebagian kecil wilayah berada di sisi Mesir. Israel dan Mesir terus menutup pintu-pintu pelintasan dari dan ke Gaza selama hampir 13 tahun terakhir. Pelintasan dari dan menuju Gaza amat terbatas serta butuh izin dari Pemerintah Israel dan Mesir.
Berbeda dari Tepi Barat yang dikendalikan Otoritas Palestina, Gaza dikendalikan Hamas sejak 2007. ”Israel bertanggung jawab penuh atas tindakan ini,” kata Menteri Kesehatan Palestina Mai al-Kaila soal larangan pengiriman vaksin ke Gaza.
Vaksin-vaksin itu pun terpaksa dibawa kembali ke Ramallah, ibu kota sementara Palestina. Vaksin-vaksin tersebut harus disimpan di kulkas agar tidak rusak.
WHO setujui AstraZeneca
Dari Geneva, Swiss, dikabarkan bahwa Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengizinkan vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca-Oxford University digunakan dalam program yang didanai Covax. Dengan demikian, sudah dua vaksin Covid-19 disetujui dibeli dengan dana dari Covax. Sebelumnya, WHO mengizinkan penggunaan vaksin buatan Pfizer-BioNTech untuk dibeli dengan dana Covax.
Covax merupakan mekanisme pengembangan dan pengadaan vaksin Covid-19 global yang dibuat WHO, Aliansi Global untuk Vaksin dan Imunisasi (GAVI), dan Koalisi Kesiapsiagaan dalam Menghadapi Epidemi (CEPI). Tujuan Covax ialah menyediakan 2 miliar dosis vaksin covid-19 hingga akhir 2021 dan memastikan akses yang setara.
Sebanyak 172 negara ikut dalam mekanisme ini, termasuk 92 negara berpenghasilan rendah dan menengah yang memenuhi syarat untuk dibiayai GAVI. WHO secara spesifik menyebut vaksin AstraZeneca yang dibuat di Serum Institute of India (SII) dan SKBio, perusahaan Korea Selatan, sebagai vaksin yang diizinkan dipakai.
”Akhirnya, negara-negara yang tidak punya akses pada vaksin sampai sekarang bisa memulai vaksinasi terhadap tenaga kesehatan dan kelompok berisiko,” kata Asisten Direktur Jenderal WHO untuk Produk Kesehatan dan Obat Mariângela Simão.
Dalam pernyataan terpisah, AstraZeneca berharap bisa menyediakan 300 juta dosis vaksin Covid-19 sampai akhir Juni 2021. Vaksin-vaksin itu akan dikirim ke 145 negara.
Sejumlah pihak terus mengungkapkan kekhawatiran pada Covax. Sebab, program itu memungkinkan negara kaya mendapatkan dua kali pasokan, yakni melalui Covax dan kontrak langsung dengan produsen.
”Kanada telah memesan (vaksin Covid-19 dengan jumlah) setara lima kali populasinya dan kini menunggu jatah dari Covax. Seharusnya (jatah yang akan didapat Kanada dari Covax) diberikan kepada negara miskin,” kata Kepala Kebijakan Kesehatan pada Oxfam Anna Marriott.
Marriott mendesak negara-negara kaya untuk menimbang ulang keinginan mengambil jatah vaksin mereka di Covax. Hal itu sesuai dengan pernyataan negara-negara kaya soal dukungan pada akses setara terhadap vaksin.
”Sepertinya agak munafik. Negara kaya yang sudah punya pasokan sendiri seharusnya membuat keputusan tepat dan tidak mengambil vaksin untuk negara-negara yang sangat membutuhkan,” ujarnya.
Sebelumnya, WHO memang menyatakan tidak akan menolak permohonan dari semua anggota Covax, termasuk negara-negara kaya. Semua akan mendapat jatah apabila vaksin telah tersedia.
Adapun dari Inggris dilaporkan, London berjanji memberikan sisa vaksinnya untuk negara lain. Inggris akan terlebih dulu memvaksinasi semua warga dewasanya. Setelah itu, jika masih ada sisa vaksin, Inggris akan memberi ke negara-negara lain. (AP/AFP/REUTERS)