Selamat atau Karam Bersama, Jangan Ada yang Ditinggalkan dalam Vaksinasi Korona
Apabila akses pada vaksin mengandalkan kekuatan ekonomi maka negara-negara Afrika akan berada di urutan paling belakang antrean. Sangat mungkin mereka baru akan mendapat vaksin Covid-19 tahun 2023 atau bahkan 2024.
Vaksinasi Covid-19, dua bulan terakhir, baru dinikmati negara kaya dan negara tertentu. Ada 130 negara belum mendapat satu dosis pun vaksin. Dunia diingatkan lagi pentingnya kesetaraan akses pada vaksin.
Dunia berada di tengah gelombang pandemi yang sama: Covid-19. Namun, masing-masing negara mengarunginya dengan kapal yang berbeda-beda. Tanpa kerja sama dan solidaritas, dunia tak akan benar-benar selamat dari bencana pandemi saat ini.
Terlepas dari dampaknya yang multidimensi, pandemi Covid-19 telah membawa para ilmuwan dan raksasa farmasi dunia berkolaborasi mengembangkan vaksin. Lembaga donor dan pemerintah menggelontorkan dana untuk riset vaksin dan obat Covid-19 sehingga proses pengembangan vaksin Covid-19 berjalan sangat cepat.
Akan tetapi, setelah beberapa vaksin Covid-19 memasuki tahap akhir uji klinis, perburuan vaksin Covid-19 oleh banyak negara semakin menggila. Dengan kekuatan ekonominya, negara-negara kaya, seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Eropa melalui Uni Eropa, telah memesan vaksin Covid-19 di awal, bahkan ketika risetnya belum selesai.
Sejak akhir 2020 negara-negara kaya yang sudah memesan vaksin Covid-19 di awal mulai melakukan vaksinasi. Mengacu pada data Our World on Data, negara-negara yang sudah memberikan vaksin Covid-19 kepada penduduknya didominasi oleh negara Barat, Asia, Timur Tengah, dan Amerika Latin. Tak ada satu pun negara dari Afrika.
Data per 12 Februari 2021, AS menjadi negara yang memberikan vaksin Covid-19 paling banyak di dunia dengan 48,4 juta dosis (jika dihitung sebagai dosis tunggal). Disusul oleh China (40,5 juta dosis), Inggris (14,5 juta dosis), India (7,9 juta dosis), Israel (6,2 juta dosis), dan Uni Emirat Arab (4,9 juta dosis).
Baca juga: WHO: Vaksin Tidak Boleh Membuat Dunia Lengah Hadapi Korona
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) per 10 Februari 2021 menunjukkan, dari 128 juta vaksin Covid-19 yang sudah diberikan, lebih dari tiga perempatnya berada di hanya 10 negara yang menyumbang 60 persen produk domestik bruto global. Hampir 130 negara dengan populasi 2,5 miliar jiwa belum mendapat satu dosis vaksin pun. Apabila akses pada vaksin mengandalkan kekuatan ekonomi, negara-negara Afrika akan berada di urutan paling belakang antrean. Sangat mungkin mereka baru akan mendapat vaksin Covid-19 tahun 2023 atau bahkan 2024.
Menyadari ketimpangan ini, dari awal sejumlah badan dunia kemudian membentuk mekanisme global untuk menjamin semua negara memiliki akses setara pada alat tes, diagnosis, dan vaksin Covid-19, yakni Acces to Covid-19 Tools (ACT) Accelerator. Salah satu komponen penting dari ACT terkait vaksin adalah COVAX Facility, Mekanisme pengadaan global vaksin Covid-19 dalam COVAX, salah satu pilar ACT.
COVAX memiliki portofolio vaksin terbesar dan paling beragam di dunia. Bekerja sama dengan 189 negara, COVAX mendukung pengembangan 9 calon vaksin, delapan di antaranya sedang dalam uji klinis. Di luar itu, COVAX telah mendapatkan ratusan juta dosis dari tiga calon vaksin yang menjanjikan, termasuk setidaknya 200 juta dosis untuk negara berpenghasilan rendah dengan dukungan dari Bill & Melinda Gates Foundation.
“Akselerator ACT adalah solusi global untuk mengakhiri fase akut pandemi secepat mungkin dengan memastikan akses yang adil ke alat Covid-19. Berkontribusi pada Akselerator ACT, ini bukan hanya hal yang tepat untuk dilakukan—ini adalah hal cerdas untuk semua negara—secara sosial, ekonomi, dan politik,” kata Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Vaksin negara miskin
Di tengah upayanya memenuhi kekurangan pendanaan sebesar 28,2 miliar dollar AS untuk memesan vaksin Covid-19, pada 3 Februari lalu COVAX akhirnya merilis perkiraan distribusi sementara vaksin Covid-19. COVAX mengalokasikan setidaknya 330 juta dosis vaksin Covid-19 untuk negara-negara miskin yang masih akan bertambah dalam semester pertama 2021. Dalam publikasinya, COVAX Facility menyatakan, distribusi vaksin tersebut akan mencakup rata-rata 3,3 persen populasi dari 145 negara sasaran di putaran pertama.
Baca juga: Diplomasi Vaksin di Tengah Pandemi
Alokasi itu termasuk 240 juta dosis vaksin Covid-19 dari AstraZeneca-Oxford yang diproduksi oleh Serum Institute of India (SII), 96 juta dosis yang diproduksi langsung oleh AstraZeneca, dan 1,2 juta dosis vaksin Covid-19 dari Pfizer-BioNTech. “Kami segera mengirim vaksin yang bisa menyelamatkan nyawa secara global, kami tahu ini penting untuk bisa menghentikan pandemi,” kata CEO Gavi Seth Berkley.
Gavi adalah lembaga yang mengoordinasikan COVAX bersama WHO, dan Koalisi untuk Inovasi Keseiapsiagaan Epidemi (CEPI).
Berkley juga menyebutkan, alokasi dan distribusi vaksin tersebut memiliki sejumlah batasan, termasuk persetujuan penggunaan darurat vaksin oleh WHO, serta kesiapan dan penerimaan negara-negara. Ann Lindstrand, pejabat WHO, mengatakan bahwa dosis pertama vaksin Covid-19 “diharapkan bisa bisa diterima, akhir Februari atau awal Maret ini.”
Afrika Selatan, Cap Verde, dan Rwanda akan menjadi negara Afrika pertama yang masuk dalam gelombang awal penerima vaksin Covid-19. Mereka akan menerima vaksin dari Pfizer. Rencana alokasi vaksin oleh COVAX dikeluarkan dalam situasi terbatasnya pasokan vaksin Covid-19. Bahkan, negara kaya yang sudah mengikat kontrak pembelian sekalipun kesulitan mendapatkan vaksin.
Berkley menambahkan bahwa 96 juta dosis vaksin Covid-19 AstraZeneca yang diterima COVAX lebih sedikit dari jumlah yang ada dalam kontrak pengadaan, yaitu 153 juta dosis. Hal ini “bukan karena pasokan kami dialihkan ke tempat lain”, tetapi adanya keterlambatan dalam pemberian izin penggunaan darurat oleh WHO.
Efek bagi ekonomi
WHO telah berulang kali mengingatkan pentingnya kesetaraan terhadap vaksin. Ketimpangan akses vaksin Covid-19 dapat menyebabkan ketidakseimbangan pemulihan dan bahkan kerusakan ekonomi yang signifikan bagi ekonomi global. Ini menjadi ancaman bagi kemajuan ekonomi selama beberapa dekade tak hanya bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah, tetapi juga negara maju.
Vaksinasi Covid-19 yang merata diharapkan bisa membantu proses stabilisasi perekonomian dunia yang menghadapi penurunan produk domestik bruto global sebesar 4,2 persen sejak pandemi terjadi.
Laporan WHO yang ikut digawangi Bill & Melinda Gates Foundation menunjukkan, manfaat ekonomi dari solusi vaksin global yang adil untuk 10 negara akan mencapai 153 miliar dollar AS pada tahun 2020-2021 dan naik ke 466 miliar dollar AS pada tahun 2025. Temuan itu lebih dari 12 kali lipat perkiraan total biaya senilai 38 miliar dollar AS dari ACT Accelerator yang merujuk pada data yang dikumpulkan dan diproyeksikan pada Oktober 2020.
Sebanyak 10 negara yang ikut dalam pendataan dan penelitian dalam laporan itu telah menyumbangkan 2,4 miliar dollar AS untuk Akselerator ACT. Inggris menyumbangkan lebih dari 1 miliar dollar AS, sementara Jerman, Kanada, Jepang, dan Perancis memberikan komitmen secara berturut senilai 618 juta dollar AS, 290 juta dollar AS, 229 juta dollar AS, dan 147 juta dollar AS.
Baca juga: Memahami Efikasi, Imunogenisitas, dan Efektivitas Vaksin
Namun, tantangan kesetaraan vaksin di lapangan memang tidak ringan. Paul Kagame, Presiden Rwanda, dalam opininya di The Guardian, Minggu (7/2/2021), menyebutkan, situasi akses dan distribusi vaksin Covid-19 dengan jelas menggambarkan kontradiksi tatanan dunia yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Negara-negara kaya dan berkuasa mengunci pasokan dari banyak calon vaksin.
Lebih buruk lagi, lanjut Kagame, beberapa dari mereka bahkan menimbun vaksin, membeli dosis berkali-kali lebih banyak dari yang mereka butuhkan. Ini membuat Afrika dan negara berkembang lainnya jauh di belakang dalam antrean vaksin atau tidak sama sekali.
Kagame menyebutkan, tanda-tanda nasionalisme vaksin yang mengkhawatirkan muncul di Eropa dan Amerika Utara. Tekanan terhadap para pemimpin politik untuk memvaksinasi semua warganya sebelum berbagi persediaan dengan orang lain dapat dimengerti. Namun, memaksa negara-negara kecil atau miskin untuk menunggu sampai "semua orang di utara" terlayani adalah sebuah pandangan yang dinilainya sempit.
“Menunda akses ke vaksin bagi warga negara berkembang pada akhirnya jauh lebih mahal. Pandemi akan terus berkecamuk, melumpuhkan ekonomi global,” kata Kagame. “Mutasi baru mungkin terus muncul dengan kecepatan yang lebih besar. Dunia berisiko membalikkan pencapaian pembangunan manusia selama beberapa dekade dan melampaui tujuan pembangunan berkelanjutan 2030.”
Ia menyebut calon vaksin dari China dan Rusia mungkin memberikan alternatif untuk beberapa negara berkembang. Namun, kenyataannya sebagian besar negara hanya akan bisa mendapatkan vaksin yang telah disetujui oleh WHO. Ia pun mendorong WHO untuk mempercepat persetujuan penggunaan darurat untuk vaksin Covid-19 sejalan dengan tindakan yang diambil oleh regulator nasional utama di Eropa dan Amerika Utara.
Pandemi Covid-19 telah menyatukan nasib penduduk dunia. Kepemimpinan dunialah yang akan menentukan apakah kita akan selamat mengarungi pandemi bersama atau justru tenggelam bersama. Waktu yang akan membuktikan. (AFP/AP/REUTERS)