Menengok Upaya Negara Lain Menangani Pandemi
Kebijakan karantina wilayah yang tegas dan berdasarkan sains, tes yang massif, dan kepemimpinan yang kuat menjadi salah satu beberapa contoh aspek penting untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Di tengah ketiadaan terapi definitif dan vaksin, kemunculan wabah Covid-19 lebih dari setahun lalu di kota Wuhan memaksa Pemerintah China mengambil langkah drastis: menutup kota Wuhan.
Sejak saat itu hingga sekarang, berbagai model pembatasan sosial atau karantina wilayah telah dilakukan negara-negara di dunia walaupun vaksin Covid-19 sudah tersedia. Terlebih saat ini muncul varian baru virus SARS-CoV-2.
Ada negara yang menetapkan dan menegakkan aturan pembatasan sosial yang ketat bahkan menutup wilayah, tetapi ada juga yang memberlakukan pembatasan sosial setengah-setengah dan sibuk dengan perubahan istilah yang isinya sebenarnya tidak jauh berbeda dan tak memberikan perubahan hasil yang signifikan.
Selain ketepatan, kecepatan mengambil kebijakan pun bisa berpengaruh. Negara yang mengambil kebijakan berdasarkan sains dan cepat mengambil keputusan cenderung lebih baik dibandingkan dengan negara yang santai, menganggap remeh, dan bahkan menyangkal adanya Covid-19.
Baca juga: Bergerak Cepat dan Disiplin, Kunci Keberhasilan Korea Selatan
Dengan berbagai intervensi yang sudah diambil, hasil di setiap negara berbeda. Ada negara yang akhirnya bisa memutus rantai penyebaran Covid-19 sehingga puncak kasusnya terlampaui dan kemudian penambahan kasus barunya melandai, tetapi ada juga yang terus menghadapi tren kenaikan kasus baru sehingga puncak pandeminya belum juga tercapai apalagi terlampaui.
Meski laju infeksi setiap negara beragam, berbagai intervensi yang sudah dilakukan di dunia, termasuk pembatasan sosial dan vaksinasi Covid-19, telah memberikan hasil.
Pada Senin (1/2/2021), Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, jumlah kasus baru Covid-19 global telah turun dalam tiga minggu berturut-turut. Meski begitu, ia tetap mewanti-wanti negara-negara agar tidak lengah karena sewaktu-waktu lonjakan kasus bisa saja terjadi.
Tren penurunan kasus baru Covid-19 global itu sejalan dengan penurunan kasus baru di dua negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia, yaitu Amerika Serikat dan India.
Banyak yang tidak menduga bahwa India dengan populasinya dan beban penyakitnya yang besar mampu melandaikan kurva penambahan kasus baru Covid-19. Bayangkan saja pada September 2020 kasus baru Covid-19 di sana mencapai hampir 100.000 per hari.
Dengan penambahan seperti ini, negara Asia Selatan ini berpotensi menyalip AS sebagai negara dengan kasus Covid-19 terbanyak dunia. Rumah sakit penuh dan ekonomi India juga menghadapi resesi.
Akan tetapi, empat bulan kemudian kasus baru harian Covid-19 India terjun bebas. Pada 26 Januari 2021, misalnya, Kementerian Kesehatan India melaporkan 9.100 kasus baru dalam sehari, terendah dalam delapan bulan terakhir.
Baca juga: Episentrum Pandemi Kembali Bergeser ke Asia Selatan
”Ini bukan karena tes Covid-19 di India rendah atau banyak kasus tidak dilaporkan,” kata Jishnu Das, ekonom kesehatan dari Georgetown University, seperti dikutip NPR, 1 Februari 2021.
Indikator kasus Covid-19 yang menurun di India—dimulai sejak September dan Oktober saat vaksinasi Covid-19 belum dimulai— masih menjadi misteri bagi para pakar. Begitu pun dengan pertanyaan mengapa kasus Covid-19 di Thailand terbilang sedikit dibandingkan dengan negara lainnya di Asia Tenggara, seperti Malaysia, Filipina, atau Indonesia.
Diaspora Indonesia yang sedang menempuh pendidikan doktoral di Jawaharlal Nehru University, India, Mohammad Agoes Aufiya, bercerita, ketika India memberlakukan penutupan wilayah penduduk, India benar-benar beraktivitas dari rumah. Masyarakat takut akan penyakit ini dan disiplin memakai masker dan menjaga jarak.
Selama itu, polisi juga menegakkan aturan dengan tegas di lapangan. Warga yang tak memakai masker didenda hingga hampir Rp 400.000. Polisi berpatroli membawa surat denda.
NPR melaporkan bahwa otoritas bisa mengumpulkan denda pelanggaran penggunaan masker sebesar 37.000 dollar AS di Mumbai hanya pada malam Tahun Baru saja.
Sanksi denda juga diterapkan oleh Jerman bagi warganya yang tidak melanggar protokol kesehatan. Tidak memakai masker, misalnya, didenda 50-500 euro. Tidak menjaga jarak denda 100 euro.
Malaysia juga menerapkan denda 1.000 ringgit bagi pelanggar protokol kesehatan. Menurut diaspora Indonesia yang merupakan dosen di Universiti Malaya Bambang, Sumintono, saat Malaysia menerapkan karantina wilayah sekitar Maret-Mei kegiatan di rumah ibadah pun dibatasi hanya lima orang per rumah ibadah. Di jalan-jalan aparat keamanan menegakkan pembatasan sosial dengan ketat. Dengan kebijakan seperti itu, kasus Covid-19 sempat turun bahkan sempat menyentuh nol kasus baru di Juni-Juli 2020.
Lihat juga: Menengok Malaysia Tangani Covid-19
Dalam pandangan Agoes, penutupan wilayah yang ketat di India memberikan waktu bagi otoritas di India untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam merespons pandemi.
Soal tes Covid-19, India telah menggelar tes yang sangat banyak, 500.000 hingga 1,5 juta tes dalam sehari. Pada 3 Februari saja, misalnya, India menggelar 742.000 tes. Harga tes yang relatif terjangkau dan banyaknya laboratorium yang melayani tes penyebabnya.
”Biaya tes PCR sekitar Rp 240.000, bahkan ada yang gratis. Jumlah laboratorium yang di awal pandemi hanya ada 1.000 dalam beberapa bulan bertambah hingga lebih dari 2.300 laboratorium,” ujar Agoes.
Baca juga: Penularan Terus Meningkat, India Gelar Tes Korona bagi 29 juta Warga New Delhi
Profesor Tjandra Yoga Aditama yang pernah bekerja di Kantor WHO Asia Tenggara di New Delhi bertutur, ”Pernah ada pegawai WHO yang suhu tubuhnya di atas 38 derajat celsius dan dianjurkan untuk pulang serta dirujuk untuk tes Covid-19 di laboratorium tertentu. Karena pegawai ini merasa sehat, ia tidak pergi ke laboratorium. Tahu-tahu ia ditelepon laboratorium itu mengapa tidak datang untuk menjalani tes,” ujarnya.
Untuk menelusuri semua kasus positif dan kontak eratnya, India juga merekrut 1 juta tenaga lapangan. Mereka ini yang melacak kasus Covid-19 di lapangan. Di luar itu, India juga memiliki aplikasi untuk penelusuran kasus positif. Aplikasi serupa ada di beberapa negara, seperti di Jerman, Selandia Baru, dan Singapura.
Untuk meningkatkan kepatuhan warganya terhadap protokol kesehatan, nada sambung panggilan telepon di India pun berisi imbauan untuk memakai masker, jaga jarak, dan mencuci tangan. Ada juga bajaj yang berkeliling dengan pengeras suara mengingatkan warga untuk mematuhi protokol kesehatan.
Aspek kepemimpinan nasional juga memegang peranan penting dalam respons pandemi. Selama penutupan wilayah, Perdana Menteri India Narendra Modi hampir setiap hari selalu tampil di media menjelaskan perkembangan pandemi.
Aspek kepemimpinan empati pun ditunjukkan oleh Perdana Menteri Jacinda Ardern di Selandia Baru. Menurut diaspora Indonesia yang menempuh pendidikan master di Uinversity of Auckland, Anton Reynaldo, hampir setiap hari Ardern didampingi pejabat kementerian kesehatan yang bertanggung jawab dalam pengendalian penyakit tampil di depan publik memberikan penjelasan soal perkembangan pandemi Covid-19.
Baca juga: Selandia Baru Umumkan Kemenangan Melawan Gelombang Kedua Korona
Menurut Anton, Jacinda mengomunikasikan perkembangan pandemi dengan sangat jelas. Warga pun memiliki kepercayaan kepada pemerintah karena setiap kebijakannya berdasarkan rekomendasi ilmiah.
Di sisi lain, mayoritas warga Selandia Baru juga mengandalkan media arus utama sebagai sumber informasi tentang pandemi sehingga mereka tidak termakan oleh disinformasi atau berita bohong yang menyebar cepat.
Setiap negara pasti memiliki keragaman dalam merespons pandemi sesuai dengan keadaan dan karakteristiknya. Namun, beberapa aspek umum terlihat dari negara yang berhasil mengendalikan pandemi, yaitu tes dan penelusuran kasus yang massif, kebijakan berdasarkan sains yang ditegakkan dengan tegas di lapangan, serta kepemimpinan yang kuat dan tampil di depan mengomandoi langsung respons pandemi.