Libya memasuki masa transisi setelah terpilihnya perdana menteri baru dan adanya Dewan Kepresidenan. Rakyat berharap langkah ini tepat untuk membawa Libya ke perdamaian yang sesungguhnya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
GENEVA, MINGGU — Libya memasuki masa transisi baru pasca-Kadhafi setelah Forum Dialog Politik Libya, yang mencakup 75 delegasi yang dipilih Perserikatan Bangsa-Bangsa dari seluruh wilayah, mewadahi pembentukan pemerintahan transisi yang mencakup tiga anggota Dewan Kepresidenan dan Perdana Menteri. Abdul Hamid Mohammed Dbeibah, seorang pengusaha kuat dari kota Misrata, ditunjuk sebagai perdana menteri.
Tiga anggota dewan masing-masing mewakili wilayah Libya lama: Tripolitania di barat, Cyrenaica di timur, dan Fezzan di barat daya. Dewan ini akan dipimpin oleh Mohammad Yusuf Menfi yang selama ini dikenal sebagai seorang diplomat. Dia akan bekerja sama dengan Moussa al-Koni, anggota minoritas Touareg Libya yang telah lama terpinggirkan dan Abdallah Hussein al-Lafi dari kota Zuwara.
Mohammad Dbeibah, yang pernah memimpin Perusahaan Investasi dan Pengembangan Libya saat Moammar Khadafi masih berkuasa, memiliki waktu 21 hari untuk membentuk kabinet baru. Setelah itu, dia memiliki waktu tambahan selama tiga pekan untuk memenangi mosi percaya di parlemen Libya, paling lambat 19 Maret.
Sementara itu, Dewan Kepresidenan akan mempersiapkan dan mengarahkan negara Afrika Utara itu ke kotak suara pada 24 Desember.
Dalam pidato pertamanya setelah terpilih, Sabtu (6/2/2021), Dbeibah menggambarkan proses seleksi sebagai proses demokrasi dan persatuan kembali setelah konflik serta perpecahan yang telah memengaruhi Libya dan seluruh aspek kehidupannya. Dia juga menyerukan pembangunan kembali atau rekonstruksi negara, berjanji untuk siap mendengarkan dan bekerja dengan semua warga Libya, apa pun ideologi, afiliasi, atau wilayah mereka. ”Hasil pemilihan adalah penahbisan demokrasi dan persatuan,” kata Dbeibah dalam pidato yang disiarkan di televisi.
Ini menandai dimulainya babak baru bagi Libya setelah kegagalan kesepakatan yang ditengahi PBB tahun 2015 yang membentuk Pemerintah Kesepakatan Nasional yang dipimpin oleh Fayez al-Sarraj, berbasis di Tripoli. Di timur, Jenderal Khalifa Haftar membentuk pemerintahan saingan.
Penjabat utusan PBB Stephanie Williams, yang memfasilitasi pembicaraan selama seminggu di Swiss, menyebutnya sebagai momen bersejarah. Sedangkan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres menyatakan, keputusan itu adalah sebuah terobosan yang bisa membawa kebaikan bagi Libya dan rakyatnya.
Di Tripoli, sejumlah warga warga dengan sigap menyambut kabar tersebut. Adil al-Kakli, warga berusia 43 tahun, mengaku sempat pesimistis pertemuan itu berhasil membawa kabar yang menyejukkan baginya dan seluruh rakyat Libya.
”Tapi, kemarin, kegembiraan itu terasa nyata karena kami melihat inisiatif ini untuk munculnya negara,” ujarnya sembari mengingatkan bahwa rencana penyelenggaraan pemilu pada Desember masih terlalu ambisius.
Hal senada disampaikan warga lainnya, Louay Khouzam (37), yang menyatakan dia melihat harapan untuk perubahan setelah pertemuan itu. Namun, dia tidak yakin pemungutan suara akan bisa dilaksanakan tepat waktu.
Di media sosial, banyak warga Libya memperingatkan kemungkinan terulangnya beberapa upaya gagal di masa lalu untuk memulihkan stabilitas dan keamanan di negara mereka.
Inggris, Perancis, Jerman, Italia, dan Amerika Serikat menyambut baik pemerintah sementara, tetapi memperingatkan ”jalan panjang” dan mengatakan akan menawarkan layanan publik penting bagi Libya.
Haftar tidak segera mengeluarkan pernyataan tentang pembentukan pemerintahan transisi Libya. Namun, markas komando umumnya menyatakan menyambut baik kesepakatan tersebut dan menyerukan semua untuk membantu mencapai pemilihan Desember.
Uni Emirat Arab dan Mesir, yang keduanya mendukung Haftar selama perang, telah secara terbuka menyuarakan dukungannya.
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dalam komentarnya yang disiarkan di televisi mengatakan, penunjukan pemerintahan sementara, Jumat, yang mencakup tiga anggota Dewan Presiden dan seorang perdana menteri adalah langkah ke arah yang benar.
”Kami mendukung mereka. Kami siap bekerja sama dengan mereka untuk pemulihan Libya dan untuk mempersiapkan pemilu di Libya,” kata El-Sisi.
Tayyip Erdogan, Presiden Turki, yang mendukung GNA, berbicara melalui telepon dengan Dbeibeh dan kepala dewan kepresidenan yang baru, Abdulmajid al-Menfi, untuk memberikan selamat kepada mereka, kata kantornya pada hari Sabtu.
Erdogan mengatakan kepada mereka bahwa Turki, yang pasukannya membantu menangkis serangan Haftar di Tripoli tahun lalu, akan ”terus berkontribusi pada perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan” warga Libya, tambahnya.
Duta Besar AS Richard Norland pada hari Sabtu mendesak Dbeibah, perdana menteri terpilih, untuk ”mengidentifikasi tim kabinet teknokratis kecil yang kompeten yang dapat dengan cepat diberikan kepercayaan” oleh parlemen yang berbasis di Libya timur.
Pemerintah sementara akan menghadapi tantangan yang menjulang tinggi, termasuk kondisi kehidupan yang memburuk dan lonjakan kasus virus korona. Negara kaya minyak, dengan sekitar 7 juta penduduk itu telah melaporkan lebih dari 124.000 kasus, termasuk 1.953 kematian. Namun, jumlah kasus Covid-19 yang sebenarnya, seperti di tempat lain di dunia, diperkirakan jauh lebih tinggi, sebagian karena pengujian terbatas.
Tantangan lainnya termasuk pembongkaran banyak milisi lokal bersenjata lengkap dan kehadiran setidaknya 20.000 tentara bayaran dan pejuang asing yang bertempur di kedua sisi dalam perang untuk Tripoli.
Meski mendapat dukungan, pandangan lain disampaikan peneliti senior pada Institut Jerman untuk Urusan Internasional dan Keamanan Wolfram Lacher. Dia menilai, otoritas eksekutif baru akan sulit untuk menggunakan pengaruh apa pun di Libya timur dan bahkan akan menghadapi oposisi di Libya barat. Dia juga menilai, keempat orang terpilih tidak benar-benar memiliki kepentingan yang sama bagi rakyat Libya, tetapi semata-mata untuk berkuasa. (AP/AFP/Reuters)