PM Sarraj Berencana Mundur, Erdogan Tak Mau Kehilangan Peran di Libya
Rencana mundurnya Perdana Menteri Libya Fayyez al-Sarraj membuat Pemerintah Turki membutuhkan ”orang baru” di Libya. Turki telah berinvestasi besar di wilayah konflik ini dan tak mau kehilangan pengaruh dan investasinya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
ANKARA, SENIN — Pemerintah Turki menyatakan akan tetap mendukung dan memberikan solidaritas penuh terhadap Pemerintahan Kesepakatan Nasional atau Government of National Accord (GNA) meski Perdana Menteri Fayez al-Sarraj berencana mengundurkan diri dalam beberapa pekan mendatang. Turki, yang sudah terlibat terlalu jauh dalam konflik Libya, tak ingin kehilangan peran di wilayah ini.
Pernyataan dukungan ini disampaikan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan ketika bertemu dengan PM Sarraj di Ankara, Minggu (4/10/2020).
”Presiden Erdogan menyatakan bahwa Turki akan terus mendukung Libya dengan solidaritas penuh dan memperkuat hubungan dengan Pemerintah Kesepakatan Nasional, satu-satunya perwakilan sah Libya,” demikian pernyataan Istana Kepresidenan Turki.
Turki adalah sekutu terdekat Sarraj saat ini. Untuk memperkuat kemampuan militer GNA menghadapi serangan pasukan Tentara Nasional Libya (LNA) pimpinan Jenderal Khalifa Haftar, Sarraj menandatangani kesepakatan kerja sama militer dengan Pemerintah Turki. Kesepakatan itu memberikan tambahan amunisi dan kekuatan bagi pasukan GNA dalam mempertahankan Tripoli dari serangan LNA, dan sebaliknya mampu mendesak pasukan Haftar.
Kesepakatan militer itu juga membuat kedua negara menandatangani kesepakatan demarkasi maritim yang memberikan Turki keleluasaan melakukan eksplorasi hidrokarbon di Laut Tengah. Namun, pada saat bersamaan, perjanjian dan eksplorasi tersebut memicu konflik baru dengan Yunani dan Siprus serta Mesir.
Masalah internal pada pemerintahan GNA yang dipimpin Sarraj, termasuk konflik dengan Wakil Presiden Ahmad Maiteeq dan Menteri Dalam Negeri Fathi Bashagna, ditambah lagi ketidakmampuan pemerintah memberikan layanan dasar kepada rakyat Libya, membuat Sarraj berencana mengundurkan diri. Hal ini membuat Pemerintah Turki, khususnya Erdogan, menyesalkan keputusan tersebut karena mereka kehilangan ”kawan” di Libya.
Namun, setelah gencatan senjata pada awal September lalu diumumkan para pihak bertikai dan berlanjut dengan perundingan maraton yang difasilitasi Pemerintah Maroko dan Swiss, Sarraj mengatakan, dirinya bersedia mundur saat pemerintahan baru bersatu terbentuk.
Beberapa laman media, seperti TRTWOrld, kantor berita Panapress, dan The Libya Herald melaporkan bahwa PM Sarraj, berdasarkan kesepakatan di Maroko, mengumumkan akan melaksanakan pemilihan umum paling cepat pada Maret 2021.
Dalam pidato singkatnya yang disiarkan televisi pada pertengahan September lalu, Sarraj menyatakan bersedia meninggalkan jabatannya apabila dalam perundingan di Maroko itu bisa menunjuk seorang pemimpin baru bagi Libya.
”Saya mengumumkan kepada semua keinginan saya yang tulus untuk menyerahkan fungsi saya ke pemerintahan berikutnya paling lambat akhir Oktober,” katanya.
Meski perundingan itu sepakat membagi kekuasaan di antara para pihak bertikai, persoalan kepemimpinan negara tidak disentuh. Pemilu menjadi jawaban bagi Libya apabila menginginkan pemimpin yang baru menggantikan Sarraj.
Namun, pelaksanaan pemilu Libya tidak akan mudah. Ketua Komisi Tinggi Pelaksana Pemilu Libya Emad Al-Sayeh, seperti dikutip dari laman The Libya Herald, mengatakan, selama pemerintah tidak menyuntikkan dana yang cukup bagi lembaganya untuk bergerak, Libya tidak akan bisa melaksanakan pemilu seperti yang diinginkan pemerintah. Apalagi, kata dia, untuk biaya minimum operasional yang dibutuhkan hingga saat ini belum bisa disediakan pemerintahan GNA.
Strategi Erdogan
Pengamat politik Timur Tengah dari Universitas Melbourne, Iain Macgillivray, sebagaimana dikutip laman The Lowy Institute, mengatakan bahwa Erdogan perlu memenangi pertarungannya di Libya karena petualangan politiknya di negara yang terletak di kawasan Afrika Utara sudah terlalu dalam. Strategi politik Erdogan di Libya adalah memenangi legitimasi domestik, terutama untuk mendapatkan dukungan dari kelompok Muslim garis keras dan konservatif serta proyeksi regional sebagai pemimpin kawasan, terutama di Timur Tengah hingga Afrika Utara.
Mehmet Ozkan, peneliti pada Center for Global Policy yang berbasis di Washington, Amerika Serikat, yang dikutip laman Middleeasteye, mengatakan bahwa Turki membutuhkan Libya karena negara ini bisa menjadi penyangga persaingan pengaruh politiknya dengan Perancis dan juga Mesir di Timur Tengah dan Afrika, terutama wilayah Afrika utara dan barat. Itu sebabnya, lanjut Ozkan, sejak tahun 2013 Turki getol membuka perwakilan diplomatik dengan negara-negara Afrika dan memberikan bantuan, baik ekonomi, politik-militer, maupun pendidikan, kepada negara-negara di kawasan itu sebagai cara memuluskannya menjadi pemimpin negara-negara di kawasan.
Secara terpisah, Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Jerman akan memimpin pertemuan tingkat menteri negara-negara yang berkepentingan dalam konflik Libya untuk mempromosikan gencatan senjata antara GNA dan LNA. Pertemuan ini merupakan tindak lanjut pertemuan Berlin pada Januari lalu sekaligus menyikapi perkembangan yang menggembirakan dalam perundingan dua pihak di Maroko dan Swiss pada bulan lalu.
Wakil Duta Besar Jerman untuk PBB, Günter Sautter, Jumat akhir pekan lalu, mengatakan, pertemuan virtual yang akan berlangsung itu nanti akan mencoba menegaskan kembali aturan-aturan yang telah disepakati bersama, termasuk di antaranya embargo senjata, masalah dukungan militer terhadap salah satu pihak bertikai, dan mendorong kedua pihak mencapai gencatan senjata secara penuh.
Sautter menilai pertemuan hari Senin ini, yang akan diketuai bersama dengan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan Menlu Jerman Heiko Maas, karena para pihak berkonflik diharapkan memperbarui komitmen mereka terhadap peta jalan Berlin dan implementasinya.
”Kami berharap mereka akan meminta para pihak mempercepat upaya mencapai gencatan senjata. Kami berharap pelanggaran terang-terangan atas embargo senjata akan berakhir,” kata Sautter. Dia juga berharap pertemuan hari Senin akan memperkuat Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai fasilitator utama dialog politik di Libya. (AP/AFP/REUTERS)