Pemilihan Dewan Kepresidenan Libya Menuju Putaran Kedua
Para wakil kelompok politik di Libya sedang memilih dewan kepresidenan. Dewan itu akan menjalankan pemerintahan transisi Libya hingga pemilu digelar pada Desember mendatang.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
GENEVA, RABU — Delegasi Libya yang hadir dalam pembicaraan damai yang didukung Perserikatan Bangsa-Bangsa memilih tiga anggota dewan kepresidenan, bagian dari pemerintah transisi, yang akan memerintah Libya hingga pemilu pada Desember 2021.
Pemilihan memasuki putaran kedua setelah pada putaran pertama tidak ada satu pun dari 24 kandidat yang meraih 70 persen suara sebagaimana aturan yang ditetapkan sebelumnya.
Sebanyak 75 partisipan dalam Forum Dialog Politik Libya yang digelar di Geneva, Swiss, itu dipilih PBB untuk mewakili sebagian besar lapisan masyarakat Libya. Dalam siaran langsung oleh PBB, mereka terlihat menghadapi tiga kotak suara yang masing-masing mewakili wilayah di Libya, yaitu Tropilitania di wilayah barat, Cyrenaica di wilayah timur, dan Fezzan di selatan.
Pada Senin (1/1/2021), ke-24 kandidat dewan kepresidenan menyampaikan pidato kampanyenya melalui konferensi video. Mayoritas menyerukan rekonsiliasi dan penarikan sekitar 20.000 personel militer asing yang masih berada di wilayah Libya.
Ketua Parlemen sekutu Khalifa Haftar yang berbasis di Tobruk, Aguila Saleh, mendapat sembilan suara pada pemilihan Selasa (2/2) dan memimpin perolehan suara para kandidat dari wilayah timur.
Kandidat yang unggul dari wilayah barat adalah Khaled el-Mechri yang mengetuai Dewan Tinggi Negara yang bersekutu dengan Pemerintahan Kesepakatan Nasional (GNA) dengan delapan suara.
Dari wilayah selatan, Abdel Majid Ghaith Seif el-Nasser yang merupakan Duta Besar Libya untuk Maroko, memiliki garis keturunan dari pemimpin suku paling berpengaruh di Fezzan, meraih enam suara.
Karena dari tiga kandidat peraih suara paling banyak di setiap wilayah belum memenuhi syarat minimal, putaran kedua pemilihan akan dilakukan. ”Ini akan rumit,” ujar Claudi Gazzini dari International Crisis Group (ICG), sebuah lembaga kajian melalui Twitter.
”Banyak hal yang bisa salah, tetapi sungguh menggembirakan melihat para kandidat menyampaikan pidato politiknya, bukan deklarasi perang penuh kebencian,” tulis Gazzini.
Para delegasi juga memiliki waktu hingga Jumat (5/2) untuk memilih perdana menteri dari 21 kandidat yang ada. Menteri Dalam Negeri GNA Fathi Bashagha, seorang tokoh politik lokal, menjadi favorit untuk posisi itu.
PBB memuji proses pembicaraan damai dan pemilihan dewan kepresidenan mengalami kemajuan, tetapi banyak warga Libya tetap skeptis setelah upaya diplomasi sebelumnya gagal. Beberapa pihak takut mereka yang kalah dalam proses pemilihan ini akan menolak dengan keras hasil pemilihan, pemimpin transisi akan menolak menyerahkan kekuasaan yang dimilikinya, atau kekuatan asing akan menyabotase proses transisi untuk mempertahankan kepentingannya.
Pemilihan ini merupakan bagian dari proses yang kompleks untuk memandu Libya menuju perdamaian dan membangun gencatan senjata yang kini masih rapuh. Upaya itu diambil untuk mengakhiri konflik di Libya yang telah berlangsung lebih dari satu dekade.
Libya yang kaya akan minyak terkoyak oleh perang saudara setelah pemberontakan yang didukung Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) menyebabkan tergulingnya Moamar Kadhafi pada 2011. Negara ini juga telah menjadi koridor utama bagi migran yang melarikan diri dari perang dan kemiskinan menuju Eropa.
Menurut PBB, dewan transisional nantinya akan ditugasi untuk ”menyatukan kembali lembaga-lembaga negara dan memastikan keamanan” sampai pemilu digelar pada Desember mendatang.
Kendali negara kini terbagi antara Pemerintahan Kesepakatan Nasional yang berbasis di Tripoli dan saingannya, Dewan Perwakilan Rakyat, yang didukung oleh pemimpin LNA Jenderal Khalifa Haftar. (AFP/REUTERS)