Keberadaan Tentara Asing dan Bayaran di Libya Dinilai Langgar Kedaulatan
Negara yang kaya minyak itu berkecamuk setelah penggulingan dan pembunuhan diktator Moammar Khadafy pada 2011. Libya saat ini terbagi dari timur ke barat di antara dua pemerintahan yang berkonflik.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
KAIRO, RABU — Pejabat tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Libya, Rabu (2/12/2020), mengungkapkan, saat ini setidaknya terdapat 20.000 tentara asing dan tentara bayaran di negara yang tengah dilanda perang itu. Kondisi itu dinilai PBB sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan Libya sebagai sebuah negara.
Utusan Khusus PBB untuk Libya, Stephanie Williams, memperingatkan keberadaan tentara asing dan bayaran itu menjadi krisis serius di Libya. Persenjataan terus mengalir ke negara Afrika Utara itu sehingga dikhawatirkan konflik di Libya semakin tak berujung. ”(Keberadaan tentara asing dan bayaran) Itu adalah pelanggaran yang mengejutkan terhadap kedaulatan Libya, sebuah pelanggaran terang-terangan atas embargo senjata,” kata Williams dalam pertemuan daring bertajuk ”Forum Dialog Politik Libya”.
Pertemuan tersebut merupakan bagian dari upaya PBB untuk mengakhiri kekacauan yang melanda Libya. Forum yang beranggotakan 75 orang itu berusaha membuat pihak yang bertikai di Libya menyetujui mekanisme menuju pembentukan pemerintahan transisi di negara itu. Mekanisme itu dilakukan melalui pemilihan presiden dan parlemen yang rencananya digelar pada Desember 2021.
Negara yang kaya minyak itu berkecamuk setelah penggulingan dan pembunuhan diktator Moammar Khadafy pada 2011. Libya saat ini terbagi dalam ”dua kekuatan” yang bersaing ketat. Kedua kekuatan itu adalah LNA dan GNA, masing-masing didukung oleh berbagai milisi dan kekuatan asing. Pemimpin LNA, Jenderal Khalifa Haftar, menguasai bagian timur dan selatan, sementara GNA–pemerintah yang didukung PBB–mengusai wilayah barat dan berbasis di ibu kota Libya, Tripoli.
”Sekarang ada 10 pangkalan militer di negara Anda yang saat ini diduduki penuh atau sebagian oleh pasukan asing,” kata Williams. ”Mereka sekarang menduduki rumah Anda. Ini merupakan pelanggaran terang-terangan terhadap embargo senjata. Mereka memasukkan senjata ke negara Anda, negara yang tidak membutuhkan lebih banyak senjata,” ujarnya.
Pernyataan Williams mencerminkan kekesalannya atas kurangnya kemajuan dalam mendorong penghapusan keberadaan tentara asing dan bayaran dari Libya.
Pernyataan Williams mencerminkan kekesalannya atas kurangnya kemajuan dalam mendorong penghapusan keberadaan tentara asing dan bayaran dari Libya. Penghapusan tentara bayaran di Libya merupakan bagian dari kesepakatan gencatan senjata yang ditandatangani pada Oktober lalu. Kesepakatan gencatan senjata itu telah menetapkan tenggat tiga bulan bagi pasukan asing dan bayaran untuk meninggalkan Libya.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan, sebenarnya direncanakan membuat rekomendasi kepada Dewan Keamanan PBB pada akhir November lalu. Isinya adalah proposal pemantauan gencatan senjata di Libya. Namun, dia telah menunda ini hingga akhir Desember karena pihak yang bertikai masih membahas ”elemen kritis” untuk memantau gencatan senjata. Hal itu terungkap dalam surat yang dikirim Guterres ke DK PBB.
Williams juga mengecam pemerintah asing karena ”berperilaku dengan impunitas penuh” dan memperdalam konflik Libya dengan tentara bayaran dan senjata. Namun, Williams tidak menyebutkan nama negara yang dimaksudkannya. Menurut para ahli PBB, ribuan tentara asing dan bayaran itu berasal dari sejumlah negara, termasuk Rusia, Suriah, Sudan, dan Chad.
Ketegangan di Libya meningkat ketika pasukan Haftar tahun lalu melancarkan serangan untuk merebut Tripoli. Serangan mereka digagalkan oleh pasukan pemerintah yang didukung milisi-milisi. Dengan dukungan Pemerintah Turki, pasukan itu berhasil mendorong mundur pasukan Haftar dari pinggiran ibu kota dan beberapa kota di Libya barat.
Williams juga memperingatkan tentang ”runtuhnya jaringan listrik” di Libya karena korupsi dan salah urus di negara itu. Ia menambahkan bahwa investasi 1 miliar dollar AS untuk infrastruktur kelistrikan dibutuhkan di Libya. Diungkapkan bahwa dari 27 pembangkit listrik di negara itu, sebanyak 14 di antaranya sama sekali tidak berfungsi atau rusak. Dia mengatakan 1,3 juta warga dari lebih dari 6,8 juta warga Libya diperkirakan membutuhkan bantuan kemanusiaan pada Januari tahun depan.
Para pihak yang bertikai di Libya memulai babak baru pembicaraan di Maroko pada Senin (30/11/2020) sebagai bagian dari upaya untuk mengakhiri konflik yang telah berlangsung selama satu dekade. Pembicaraan dua hari di kota pelabuhan utara Tangier itu mempertemukan 13 perwakilan masing-masing dari Dewan Perwakilan Rakyat (HoR) Libya dan Dewan Tertinggi Negara.
Mohammed Raied, seorang anggota HoR yang berbasis di kota barat Misrata, mengatakan, pembicaraan Tangier bertujuan untuk ”menangani pertanyaan-pertanyaan yang tertunda, seperti penunjukan kedaulatan” untuk jabatan-jabatan penting.
Pekan lalu, juga di Tangier, lebih dari 120 wakil Libya berjanji untuk ”mengakhiri perpecahan” di negara mereka. Upaya itu dimulai dengan mengadakan parlemen terpilih segera setelah mereka kembali ke rumah. Pertemuan itu terjadi setelah forum dialog politik yang disponsori PBB di Tunis pada pertengahan November setuju untuk mengadakan pemilihan pada 24 Desember 2021. Namun, kala itu belum ada kesepakatan perihal siapa yang akan memimpin transisi. (AFP/AP)