Bagi Myanmar, peran Indonesia saat negara itu menjadi Ketua ASEAN 2015 tak mungkin terlupakan. Kudeta militer Myanmar pekan lalu seharusnya mendorong Indonesia memainkan diplomasi berikutnya memberi solusi di negara itu.
Oleh
MH SAMSUL HADI
·3 menit baca
Sepanjang sepekan terakhir, perhatian dunia tersedot ke Myanmar. Unjuk rasa antikudeta militer terjadi setiap hari di Yangon dan kota-kota lain di negara itu. Kudeta militer pimpinan Jenderal Senior Min Aung Hlaing, yang meruntuhkan sendi-sendi bangunan transisi demokrasi di negara itu, terjadi kurang dari sebulan setelah penyerbuan pendukung Presiden Donald Trump di Gedung Capitol di Washington DC, simbol jantung demokrasi AS.
Dua peristiwa tersebut jelas tidak terkait satu sama lain, tetapi disatukan benang merah berupa penolakan terhadap hasil pemilu. Bedanya, di Myanmar demokrasi tumbang, sedangkan di AS kekuatan antidemokrasi berhasil ditendang.
Bagi kita di Tanah Air, perhatian terhadap kasus Myanmar tentu jauh lebih relevan ketimbang peristiwa gontok-gontokan politik di seberang Amerika sana. Tidak hanya terkait kedekatan geografis, tetapi juga karena posisi Myanmar di ASEAN. ”Stabilitas politik di negara-negara anggota ASEAN sangat penting untuk mewujudkan Masyarakat ASEAN yang damai, stabil, dan sejahtera,” demikian satu dari empat poin Pernyataan Ketua ASEAN, yang tahun ini dipegang Brunei Darussalam, tak lama setelah terjadi kudeta.
Myanmar berada di kelompok negara yang bergabung dengan ASEAN pada 1990-an—bersama Kamboja, Laos, dan Vietnam—atau tepatnya tahun 1997. Menteri Luar Negeri Ali Alatas pernah ditanya soal alasan ASEAN menerima Myanmar, yang kala itu diperintah junta militer, menjadi anggotanya. Dengan bergabung ke ASEAN, kata Ali, Myanmar terlindung dari upaya China dan India menarik negara itu dalam lingkaran pengaruhnya.
Setelah bergabung dengan ASEAN, Myanmar pernah menjadi Ketua ASEAN dan menggelar pertemuan puncak (KTT) tahun 2014. Indonesia menjadi bagian penting dalam pemberian kepercayaan pada Myanmar untuk memimpin ASEAN. Penunjukan Myanmar itu diambil saat Indonesia menjadi Ketua ASEAN tahun 2011. Seperti diungkapkan Menlu Marty Natalegawa, penunjukan Myanmar itu diharapkan mengakhiri apa yang kerap disebut sebagai ”isu Myanmar” dalam berbagai forum ASEAN.
Marty dalam bukunya, Does ASEAN Matter? A View from Within, menguraikan detail liku-liku dan diplomasi Indonesia dalam meyakinkan berbagai pihak di dalam negeri Myanmar, termasuk kepada—saat itu masih oposisi—Aung San Suu Kyi, para pihak di kawasan, dan juga di tingkat internasional tentang kepercayaan yang diberikan ASEAN pada Myanmar tersebut. Setahun setelah penetapan itu, Presiden AS Barack Obama berkunjung ke Myanmar, lawatan pertama Presiden AS ke negeri tersebut, diikuti dengan pencabutan sanksi internasional terhadap Myanmar.
Bagi Myanmar, peran Indonesia seperti itu tak mungkin terlupakan. Tiga tahun setelah menjadi tuan rumah KTT ASEAN, Myanmar dilanda konflik bersenjata di Rakhine, wilayah yang didiami warga Rohingya. Militer Myanmar menggelar operasi bersenjata besar-besaran, membuat lebih dari 700.000 warga Rohingya mengungsi ke Bangladesh.
Kali ini Indonesia berperan lewat diplomasi kemanusiaan. Menlu Retno LP Marsudi mondar-mandir Jakarta, Yangon, Naypyidaw, Dhaka, dan kota-kota lain. Berkat diplomasi itu, Indonesia dipercaya Pemerintah Myanmar. Negara-negara lain yang ingin menghubungi Myanmar mengajak Indonesia agar lebih mudah berkomunikasi dengan Naypyidaw.
Kini, gejolak politik kembali terjadi di Myanmar dalam bentuk kudeta militer. Dunia kembali menanti peran ASEAN dan—mungkin juga—Indonesia. Saat menjamu PM Malaysia Muhyiddin Yassin di Jakarta, Jumat (5/2/2021), Presiden Joko Widodo melontarkan keinginan untuk menggelar pertemuan khusus tingkat menlu guna membahas krisis di Myanmar. Ini seharusnya menjadi titik awal diplomasi berikutnya Indonesia dalam isu Myanmar. Butuh kepiawaian diplomasi yang tak kalah rumitnya dibandingkan situasi-situasi sebelumnya di negara itu. (MH SAMSUL HADI)