Liku-liku Uji Klinis Calon Vaksin Covid-19 hingga Ditemukan Angka Efektivitasnya
Proses perusahaan farmasi yang mengembangkan calon vaksin Covid-19 mencapai kesimpulan efektivitas calon vaksin itu tidak mudah. Butuh uji klinis yang melibatkan puluhan ribu relawan dengan metode dan analisis ketat.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Untuk mengetahui apakah calon vaksin Covid-19 aman dan efektif atau tidak, para peneliti melakukan uji klinis yang melibatkan ribuan relawan. Para relawan itu dibagi menjadi dua kelompok, yakni kelompok penerima kandidat vaksin dan kelompok penerima plasebo atau ”obat kosong”.
Dari data hasil uji klinis seperti itu, dua vaksin yang dikembangkan perusahaan farmasi Amerika Serikat, Pfizer, bersama BioNtech serta vaksin yang dikembangkan Moderna bersama Institut Kesehatan Nasional AS menunjukkan tingkat efektivitas atau kemanjuran hingga 95 persen.
Proses untuk mencapai kesimpulan itu tidak mudah. Untuk memastikan kemanjuran vaksinnya, Pfizer melakukan uji klinis kepada hampir 44.000 relawan di AS, Jerman, Turki, Afrika Selatan, Brasil, dan Argentina.
Relawan yang dinilai memenuhi syarat memperoleh dua dosis vaksin yang disuntikkan dua kali dengan jarak setiap suntikan 21 hari. Setelah divaksin, relawan rutin dipantau kondisi kesehatannya.
Adapun vaksin Moderna-NIH diberikan kepada 30.000 relawan di AS dengan dua kali penyuntikan berjarak 28 hari. Dalam uji klinis yang sebagian didanai dari pajak rakyat AS itu, relawan ataupun penyedia layanan kesehatan tidak akan tahu siapa yang mendapatkan vaksin dan siapa yang mendapatkan plasebo berupa larutan garam.
Dalam uji klinis itu, relawan divaksin atau diberi plasebo sekaligus di dalam tubuhnya. Uji klinis seperti ini sebenarnya terlalu berisiko karena belum ada pengobatan Covid-19 yang terbukti sangat manjur, tetapi ini adalah satu-satunya cara.
Relawan lalu diminta menjalani hidup mereka seperti biasa. Mereka juga tetap diminta mengenakan masker, menjaga jarak fisik, dan sering mencuci tangan seperti orang lain.
Seiring berjalannya waktu, ada relawan dalam jumlah tertentu yang secara alami terinfeksi Covid-19. Karena mereka selalu dipantau secara teratur, para peneliti uji klinis itu bisa dengan cepat mengetahui kondisi kesehatan para relawan. Jika vaksinnya efektif atau manjur, jumlah relawan yang sakit dalam kelompok penerima vaksin seharusnya lebih rendah ketimbang relawan yang sakit di kelompok penerima plasebo.
Tujuan
Tujuan uji klinis ini adalah untuk menemukan perbedaan yang cukup besar guna bisa mengesampingkan kemungkinan ”terinfeksi Covid-19” secara kebetulan. Metode statistik digunakan untuk menghitung apakah tingkat kepastian yang sudah ditentukan sebelumnya tercapai atau tidak.
Perlu dicatat, tujuan utamanya adalah mencegah orang jatuh sakit dan dengan vaksin yang manjur akan bisa melindungi orang agar tidak sakit parah. Mencegah orang agar tidak terinfeksi Covid-19 sama sekali dan tidak menularkan virus ke orang lain menjadi tujuan kedua Moderna.
Kepala Operasi Warp Speed yang dijalankan Pemerintah AS Moncef Slaoui, Rabu (18/11/2020), mengharapkan vaksin akan bisa mencapai tujuan itu. Satu-satunya cara untuk mengetahui apakah suatu vaksin itu bekerja adalah dengan memberikan faktor ”kontrol”, yang akan menunjukkan apa yang akan terjadi jika tidak ada ”kontrol” itu.
Yang juga menjadi catatan adalah setiap orang memiliki profil risiko yang berbeda pula karena faktor usia, kondisi kesehatan, dan seberapa besar perilaku berisiko yang mereka jalani. Itulah mengapa uji klinis perlu dilakukan sampai puluhan ribu orang untuk menghilangkan faktor perancu. Untuk memastikan ketelitian ilmiah ditegakkan, datanya dilindungi perusahaan dan dianalisis para ahli yang terhimpun dalam ”dewan pemantau data dan keamanan”. Anggota dewan ini dirahasiakan untuk mencegah tekanan politik.
Selama uji klinis, dewan ini akan mengungkapkan data yang telah dikumpulkan sejauh ini dan melihat relawan mana yang termasuk dalam kelompok mana. Mereka akan menginformasikan ke perusahaan farmasi jika ada hasil yang meyakinkan, lalu perusahaan itu kemudian bisa menggunakan data itu untuk mengajukan izin pemasaran.
Manjur
Dewan itu juga memantau keamanan secara ketat, melihat frekuensi, dan tingkat keparahan efek samping yang menjadi faktor kunci dalam menentukan persetujuan regulasi. Analis kemanjuran Pfizer menunjukkan ada 70 orang yang sakit Covid-19 dalam tujuh hari setelah menerima dosis kedua. Jumlah ini relatif kecil dibandingkan dengan total relawan (44.000 orang).
Namun, dengan jumlah itu saja sudah bisa disimpulkan bahwa hasilnya signifikan secara statistik dengan tingkat kepastian yang tinggi. Itu karena ada 162 relawan yang sakit setelah menerima plasebo dan hanya ada 8 relawan yang sakit dari kelompok vaksin. Ini perbedaan besar sehingga sangat tidak mungkin terjadi secara kebetulan.
Tingkat kemanjuran 95 persen menunjukkan risiko tertular Covid-19 berkurang 95 persen pada kelompok yang divaksin dibandingkan dengan kelompok plasebo. ”Mereka semua akan dipindahkan ke unit vaksin, tetapi masih belum diputuskan kapan,” kata Slaoui.
Jika dipindahkan ke unit vaksin, uji klinis Pfizer dan Moderna akan kehilangan kelompok ”kontrol” mereka. Namun, para relawan masih akan dipantau terus selama dua tahun lagi untuk menentukan berapa lama kekebalan tubuh mereka bisa bertahan. Juga, apakah ada efek perlindungan jangka panjang. Ini akan mempersulit perekrutan relawan baru untuk uji klinis vaksin yang sekarang sedang berlangsung yang belum mencapai hasil memuaskan hingga bisa sampai di tahap pengajuan persetujuan. (AFP)