”Efikasi” dan ”Efektivitas” Calon Vaksin, Apa Artinya dalam Menangkal Covid-19?
Informasi efikasi calon vaksin Covid-19 terus mengisi ruang publik. Namun, banyak istilah dan pengertian teknis perlu diketahui guna memahami informasi itu dengan benar, seperti soal ”efikasi” dan ”efektivitas” vaksin.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Kabar menggembirakan menyapa dunia pada minggu ini, yaitu uji klinis fase III dua calon vaksin Covid-19 menunjukkan hasil sementara yang melampaui harapan banyak pihak. Ini mengembuskan harapan sekaligus, setidaknya, kejelasan bahwa pandemi ini ada akhirnya.
Kabar pertama adalah ketika raksasa farmasi Amerika Serikat, Pfizer, dan mitranya dari Jerman, BioNTech, mengumumkan hasil uji klinis calon vaksin Covid-19 mereka memiliki efikasi 90 persen. Kabar kedua datang dari Moderna, perusahaan bioteknologi AS, yang menyampaikan bahwa efikasi calon vaksin Covid-19 mereka menurut analisis sementara uji klinis fase III sebesar 94,5 persen.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan efikasi? Apakah efikasi berbeda dengan efektivitas?
Dalam laman The Conversation, 10 November 2020, dosen senior virus imunologi University of Birmingham, Inggris, Zania Stamataki, menjelaskan secara singkat bahwa efikasi adalah performa terapi—dalam hal ini adalah vaksin—di bawah situasi ideal dan terkontrol. Adapun efektivitas adalah performa terapi dalam kondisi nyata.
Uji klinis dilakukan dengan rapi dan terkontrol dengan tujuan untuk menjawab pertanyaan: apakah vaksin yang diuji aman dan bekerja dengan baik. Untuk mendapatkan jawaban ini, partisipan uji klinis umumnya dalam kondisi sehat. Bahkan, pada uji klinis fase awal, partisipan yang direkrut bisa jadi bukan kelompok sasaran yang akan mendapat manfaat dari vaksin yang sedang diuji.
Ketika vaksin sudah diberikan, bukan berarti uji klinis selesai. Pemantauan terus dilakukan untuk mendapatkan sekumpulan data dari partisipan yang divaksin selama beberapa waktu. Parameter penting yang dilihat termasuk performa vaksin pada kelompok usia yang berbeda, latar belakang etnis berbeda, lamanya kekebalan yang terbentuk, efektivitas vaksin terhadap virus yang bermutasi, dan manfaat yang didapat dibandingkan dengan efek sampingnya. Analisis biaya juga diperhitungkan untuk menetapkan harga.
Efikasi bisa turun
Jadi, ketika Pfizer/BioNTech melaporkan efikasi calon vaksin Covid-19 mereka sebesar 90 persen, itu artinya vaksin itu mampu mencegah infeksi Covid-19 pada 90 persen partisipan yang mendapat vaksin tersebut. Efikasi 90 persen termasuk sangat tinggi.
Akan tetapi, perlu diingat bahwa efikasi yang tinggi itu bisa saja turun ketika sudah diberikan lebih luas di lapangan hingga menghasilkan angka efektivitas.
Efikasi vaksin Pfizer 90 persen dan efikasi vaksin Moderna hampir 95 persen. Akan tetapi, menurut ahli imunologi Harvard University, Michael Mina, beberapa pertanyaan penting masih belum terjawab. Hal itu termasuk apakah sistem kekebalan kita masih memiliki ”memori” untuk kembali memproduksi antibodi ketika infeksi virus terjadi lagi. Juga, apakah vaksin mampu menghentikan penularan dari orang yang terinfeksi.
Walaupun demikian, hasil awal yang positif dari dua calon vaksin tersebut memberikan sinyalemen bahwa keduanya mampu mencegah infeksi jika diberikan kepada masyarakat. Otoritas kesehatan AS mensyaratkan efektivitas calon vaksin minimal 50 persen untuk mendapat persetujuan penggunaannya.
Teknik mRNA
Meski dikembangkan oleh dua perusahaan yang berbeda, calon vaksin Covid-19 Pfizer dan Moderna sama-sama memakai metode ”messenger mRNA”. Teknik ini bekerja dengan meretas sel tubuh manusia dan mengubahnya menjadi semacam pabrik vaksin.
Pada dasarnya, vaksin bekerja dengan ”melatih” tubuh untuk mengenali protein tertentu—disebut dengan antigen—yang dihasilkan oleh patogen sehingga tubuh mampu melawannya.
Untuk melakukan hal itu, vaksin tradisional, seperti vaksin campak atau flu, berisi bagian kecil dari virus, seluruh protein virus, atau virus yang ”dilemahkan”. Akan tetapi, menurut Drew Weissman, ahli imunologi di University of Pennsylvania, ”teknik tradisional itu butuh waktu lama untuk dikembangkan dan dioptimalkan”.
Para ilmuwan akan butuh waktu berbulan-bulan untuk mengultur virusnya, kemudian melemahkannya atau melemahkan seluruh proteinnya dengan cara tertentu.
Adapun mRNA adalah materi genetik yang terdiri atas asam nukleat, seperti materi DNA kita, yang bergerak ke seluruh sel tubuh dan memberikan perintah untuk menumbuhkan protein tertentu dalam arsitektur kekebalan tubuh kita.
Adapun mRNA sintetis pada vaksin Pfizer/BioNTech dan Moderna membawa perintah agar tubuh memproduksi protein yang sama dengan protein di permukaan virus SARS-CoV-2 yang dipakai virus untuk menembus sel tubuh manusia.
Protein serupa yang dihasilkan tubuh itu pada gilirannya akan memicu produksi antibodi yang akan menempel pada virus yang sesungguhnya dan menghentikannya.
Menurut Weissman, ”satu-satunya yang diperlukan untuk mengembangkan vaksin mRNA adalah urutan” antigen yang hanya butuh waktu beberapa minggu untuk didapat.
Teknologi mRNA ini pertama kali dikembangkan tahun 1990, tetapi tidak begitu popular. Hingga akhirnya tahun 2000-an, Weissman dan Katalin Kariko (sekarang Wakil Presiden Senior di BioNTech) menemukan cara memodifikasi RNA sintetis agar tidak memicu respons peradangan yang berbahaya.
Vaksin dari Pfizer dengan efikasi 90 persen harus disimpan di suhu 70 derajat celsius, sedangkan vaksin buatan Moderna bisa disimpan dalam suhu 2-8 derajat celsius selama 30 hari dan memiliki efikasi 94,5 persen.
Sisi negatifnya, menurut Zoltan Kis, peneliti di Future Vaccine Manufacturing Hub Imperial College, vaksin Moderna memiliki sekitar tiga kali lipat lebih banyak materi genetik per dosis dibandingkan vaksin Pfizer. Konsekuensinya biaya produksi lebih tinggi dan lebih sulit untuk diproduksi massal.
Di luar itu, teknik mRNA kini merupakan salah satu teknik pengembangan vaksin yang potensial dan kini mulai digunakan dalam pengembangan vaksin herpes, flu, dan HIV. (AP/AFP)