Tuduhan Trump Belum Terbukti, Demokrat Belum Amankan Senat
Presiden AS Donald Trump tidak dapat menunjukkan bukti atas kecurangan dalam pemilu AS 2020 yang dituduhkannya. Ia dikalahkan Joe Biden dari Demokrat. Namun, Demokrat belum mengamankan mayoritas kursi di Senat AS.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
WASHINGTON, MINGGU — Hanya dalam beberapa menit setelah berbagai media massa Amerika Serikat menyatakan Joe Biden, kandidat presiden Partai Demokrat, akhirnya menang, Presiden AS Donald Trump langsung protes dan menolak. Bahkan, ia akan maju ke pengadilan demi membuktikan dialah pemenang pemilihan presiden AS 2020. Bagi Trump, pemilu ini masih belum selesai.
”Suara hukum yang menentukan siapa yang jadi presiden. Bukan media,” kata Trump dalam pernyataan tertulisnya, Sabtu (7/11/2020).
Namun, sayang, peluang Trump untuk membatalkan kemenangan Biden kecil. Pasalnya, belum ada bukti kecurangan dalam pilpres kali ini seperti yang dituduhkan pihak Trump. Pakar hukum di University of California, Richard Hasen, menilai, strategi proses pengadilan Trump tidak akan ada gunanya. ”Upaya itu tidak akan mengubah hasil perolehan suara,” ujarnya.
Tim kampanye Trump berencana membawa hasil pilpres ini ke pengadilan, Senin, untuk memastikan peraturan pemilu ditegakkan dan pemenang yang sah diputuskan. Trump meminta surat suara dihitung lagi di negara-negara bagian di mana Biden unggul hanya beberapa ribu suara. Ia mencontohkan wilayah Pennsylvania. Partai Republik menuduh ada kecurangan di sana karena ada ribuan surat suara melalui pos yang datang belakangan dan dihitung secara ilegal.
”Media tidak berhak menentukan pemilu. Pengadilan yang berhak,” kata pengacara Trump, Rudy Giuliani.
Belum berakhir
Trump ada benarnya. Pemilu memang belum benar-benar berakhir sampai setiap negara bagian secara formal mengesahkan hasil perolehan suara. Kemungkinan ini baru akan dilakukan beberapa pekan ke depan. Namun, tetap saja dengan sekitar 150 juta surat suara yang sudah dihitung, suara yang diperoleh Trump tetap tidak cukup untuk electoral college yang secara formal akan memilih presiden.
Membawa hasil perolehan suara ke pengadilan ini bukan kali ini terjadi. Pada tahun 2000 atau saat pemilihan presiden George W Bush dan Al Gore, Al Gore mengajukan permintaan hitung ulang ke Mahkamah Agung khusus untuk wilayah Florida. Bush memimpin dengan 500 suara. Pada waktu itu, pengadilan tinggi menolak permintaan hitung ulang dan menyatakan Bush yang menang.
Bedanya, pada kasus Trump, ia tidak hanya kehilangan 40.000 suara di Pennsylvania, tetapi juga ribuan suara di Nevada, Georgia, Arizona, dan Wisconsin. Kecil kemungkinan MA akan meluluskan permintaan pihak Trump. Jika pun akan ada hitung ulang, kemungkinan akan dilakukan untuk Wisconsin dan Georgia. Namun, hitung ulang jarang sekali akan mengubah hasil akhir. Seperti saat hitung ulang di Wisconsin tahun 2016, ketika Trump unggul 131 suara dari calon presiden Hillary Clinton.
”Dalam pemilu modern AS, hitung ulang hampir tidak pernah mengubah hasil yang sudah ada. Paling hanya menambah 100-200 suara,” kata pakar hukum di Ohio State University, Steven Huefner.
Harapan tim kampanye Trump yang terbesar sebenarnya membatalkan keputusan Pennsylvania beberapa bulan lalu untuk menerima surat suara yang dikirim tiga hari menjelang hari pemilihan. Republik mengajukan banding ke MA atas keputusan itu, Oktober lalu. Pihak Trump yakin bisa menang, apalagi karena Trump menunjuk hakim baru yang konservatif, Amy Coney Barrett. Namun, para pengamat menilai jumlah surat suara yang terlambat di Pennsylvania yang berisiko didiskualifikasi hanya berjumlah ribuan. Jauh lebih sedikit dari yang dibutuhkan untuk melampaui suara Biden.
Giuliani menjelaskan, kecurigaan akan kecurangan di Pennsylvania, kota terbesar di Philadelphia, itu beralasan karena selama ini kerap diketahui ada kecurangan. Misalnya, ada nama-nama orang yang sudah meninggal dalam daftar pemilih. ”Itu saja sudah bisa jadi bukti ada kecurangan,” ujarnya.
Namun, tuduhan kecurangan dari Republik itu, menurut Huefner, masih belum jelas. Tuduhan itu tetap harus disertai bukti. Jika pun ada buktinya, Republik masih harus memastikan surat suara hasil hitung ulang itu akan cukup untuk memenangkan Trump.
Putaran kedua
Penentuan kendali atas Senat AS dan prospek pemerintahan yang bersatu di kongres untuk Biden akan bermuara pada dua pemilihan putaran kedua di Georgia. Kini, Georgia—dalam pemilu AS 2020—menjadi medan pertempuran antara Republik dan Demokrat. Jika kongres berhasil dikuasai, Biden akan bisa mewujudkan reformasi sesuai rencana Demokrat. Demokrat berharap setidaknya akan bisa menyingkirkan tiga kandidat dari Republik. Jika berhasil, Senat dan DPR akan bisa di dalam genggaman Demokrat.
Namun, jika Trump menang, Demokrat harus meraih empat kursi di Senat. Saat ini, Republik menguasai 53 kursi dan Demokrat 47 kursi. Meski Biden menang, beberapa kandidat Senat dari Demokrat tidak berhasil menyingkirkan petahana mapan, seperti Mitch McConnell, Lindsey Graham, dan Susan Collins yang moderat. Sejauh ini, Demokrat baru bisa merebut satu kursi. ”Masa depan kami bergantung pada kemenangan di Georgia,” kata kandidat Demokrat, Jon Ossoff.
Mantan Gubernur South Caroline Nikki Haley, dari Republik, mengingatkan nasib kendali di Senat bergantung pada Georgia. Selama ini, Georgia berhasil dikuasai Republik dan ini tantangan terberat bagi Demokrat.
Meski demikian, Demokrat paling tidak berhasil menggalang suara dari para pemilih pemula dan pemilih baru di Georgia. Suara Biden unggul tipis di Georgia dengan 7.500 suara. Selisih suara yang kecil untuk bisa menjadi alasan untuk dilakukan penghitungan ulang. (REUTERS/AFP/AP)