Biden Menangi Pemilu Presiden Amerika Serikat
Joe Biden akhirnya memenangi pilpres AS. Ia meraih 20 suara elektoral di Negara Bagian Pennsylvania sehingga total perolehan Biden ialah 273 suara elektoral.
Dalam perkembangan terakhir yang dilaporkan media Amerika Serikat, calon presiden dari Demokrat, Joe Biden, dilaporkan berhasil memenangi pemilu. Ia terpilih sebagai presiden ke-46 negara tersebut.
WASHINGTON DC, SABTU — Berdasarkan hasil penghitungan terakhir pada Sabtu (7/11/2020) pagi waktu AS atau Sabtu malam WIB, CNN menyebut Biden meraih 20 suara elektoral di Negara Bagian Pennsylvania. Maka, total perolehan Biden saat ini ialah 273 suara elektoral atau suara perwakilan.
Jaringan NBC juga melaporkan bahwa Biden meraih 273 suara, sementara Trump mendapat 213 suara. Penambahan suara bagi Biden berasal dari 20 suara di Pennsylvania.
Dalam pemilu presiden AS, kandidat menang jika meraih 270 suara elektoral. Sementara total suara elektoral yang diperebutkan ialah 538.
Sorak-sorai terjadi di aula hotel tempat para pembantu Biden menginap di Washington DC. Kegembiraan itu juga muncul di kalangan pendukung Biden di seluruh negeri.
Dalam pernyataannya, Biden menyebut pekerjaan berat menghadang di depan, tetapi ia berjanji menjadi presiden bagi semua warga Amerika.
”Amerika, saya mendapat kehormatan karena Anda memilih saya untuk memimpin negara kita yang besar ini,” ungkapnya dalam pernyataan.
Ketua DPR AS Nancy Pelosi menyatakan, terpilihnya Biden menjadi fajar hari baru penuh harapan untuk Amerika.
Baca juga : Dunia Mengawasi Lekat Proses Pilpres AS
Sementara itu, dengan kemenangan Biden, calon wakil presiden dari Demokrat, Kamala Harris, mencetak sejarah menjadi perempuan pertama, warga Amerika berkulit hitam pertama, dan warga AS keturunan Asia pertama yang menempati jabatan tertinggi kedua di negara itu.
Di sisi lain, calon petahana Presiden Donald Trump menyebut Biden secara keliru telah bertindak seolah-olah sebagai pemenang pemilihan presiden.
Pemilu Presiden AS 2020 disebut sebagai pemilu yang paling menabrak norma dan diwarnai ancaman kekerasan.
Demonstran bersenjata
Sedikitnya 100 demonstran bersenjata berkumpul setiap malam di luar tempat tabulasi suara hasil pilpres di Phoenix, ibu kota Negara Bagian Arizona, sejak penghitungan suara dimulai empat hari lalu. Unjuk rasa serupa terlihat di Pennsylvania, Michigan, Nevada, dan negara bagian lainnya.
Sejumlah demonstran menenteng senapan dan pistol. Sebagian dari mereka membawa pula senapan semiotomatis.
Para demonstran bersenjata muncul di pusat-pusat tabulasi suara sebagai respons atas tuduhan capres dari Partai Republik, Trump, bahwa Demokrat berusaha mencuri suara.
Penyelenggara pemilu di beberapa negara bagian tempat Biden memimpin perolehan suara mengatakan, kemarahan di luar tempat tabulasi suara membuat mereka takut dan khawatir.
”Tangkap petugas pemungutan suara!” teriak massa di Phoenix.
Mereka menuntut agar Trump berkuasa empat tahun lagi. Petugas mencegah dan menahan demonstran di zona ”kebebasan berbicara”, jauh dari pintu masuk gedung.
Di Detroit, puluhan pendukung Trump kembali turun ke jalan. Mereka berkumpul di luar pusat konvensi, tempat panitia penghitungan suara berada. ”Hentikan pencurian!” teriak massa.
Di Philadelphia, di dekat tempat penghitungan suara, pada Kamis malam, dua pria dengan pistol ditangkap. Keduanya tak memiliki izin untuk membawa senjata di Pennsylvania. Menurut Komisaris Polisi Danielle Outlaw, senapan dan amunisi ditemukan di kendaraan mereka. Kaca jendela mobil ditempeli stiker QAnon, gerakan sayap kanan pendukung Trump.
Sejauh ini, belum ada laporan kekerasan bersenjata terhadap petugas penghitungan suara. Namun, demonstrasi dan intimidasi orang bersenjata telah mengganggu mereka. Gangguan meningkat seiring dengan bertambahnya perolehan suara Biden. Suara untuk Trump tertinggal di sejumlah negara bagian penentu kemenangan capres.
Berbahaya
Di AS, orang-orang semakin terbiasa menggunakan senjata dalam aksi unjuk rasa. Paling sering dilakukan demonstran sayap kanan, tetapi kadang-kadang juga pengunjuk rasa sayap kiri. Terkait pemilu kali ini, para ahli memperingatkan, senjata api menciptakan situasi berbahaya, mengintimidasi, dan bisa berujung dengan kekerasan.
”Semakin banyak orang melihatnya sebagai reaksi yang normal. Sebenarnya tidak. Tak ada yang normal terkait itu,” kata Cynthia Miller-Idriss, profesor di American University yang mempelajari ekstremisme, menambahkan, sangat berbahaya jika potensi kekerasan dianggap normal.
Baca juga : Trump atau Biden yang Menang? Pahami Dulu Cara Penghitungan Suara Pilpres AS
Ketua Departemen Ilmu Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada Nur Rachmat Yuliantoro mengonfirmasi, pilpres AS kali ini paling bergejolak dan melanggar norma yang belum pernah terjadi dalam sejarah AS. ”Ini tidak lepas dari sikap Trump yang selalu merisak Biden selama kampanye hingga setelah pemilihan,” ujarnya.
Di antaranya, kata Rachmat, Trump pernah mencuit di Twitter bahwa Biden akan melarang kepemilikan senjata jika menang. Twit ini dipandang sebagai ”serangan atas kebebasan sipil di amendemen ke-2”, yang kemudian diterima oleh kelompok garis keras kanan yang konservatif dan mendukung Trump sepenuhnya.
”Merekalah yang diduga membentuk sebagian besar dari pengunjuk rasa bersenjata tersebut,” kata Rachmat.
Persoalan yang muncul selama penghitungan suara yang sedang berlangsung itu bukan semata soal demokrasi yang terlalu liberal atau hukum yang tidak berjalan. Namun, lebih kepada keengganan Partai Republik untuk ”meluruskan” Trump. Sementara pada saat yang sama Partai Demokrat kesulitan untuk menemukan platform yang disepakati untuk melawan Trump.
Menurut Rachmat, jika presiden terpilih itu adalah Joe Biden, ”euforia” atas telah tersingkirnya Trump tidak boleh berkepanjangan. Tugas berat sudah menanti, yakni mengatasi pandemi, memperbaiki perekonomian, mengembalikan status adidaya Amerika ke tempat semestinya dalam arena internasional.
”Tetapi mungkin tugas yang paling berat adalah berusaha mengatasi Partai Republik yang semakin keras dan para pendukung garis keras yang tidak rela atas kekalahan Trump,” kata Rachmat.
Pengamat hubungan internasional Universitas Pelita Harapan, Aleks Jemadu, mengatakan, intimidasi terhadap petugas pemilu tidak lepas dari rangkaian pernyataan dari Trump bahwa penghitungan suara ini diwarnai kecurangan sistematis oleh lawannya di beberapa negara bagian di mana kedua kandidat bertarung ketat.
Lihat juga : Trump-Biden Bertarung Ketat hingga Garis Akhir
Pilpres 2020 menandakan realignment baru dalam politik AS di mana Partai Republik berjuang untuk kelas pekerja menengah ke bawah dan Partai Demokrat mewakili para pebisnis besar dan media arus utama seperti CNN, New York Times, Bloomberg, dan Washington Post.
”Retorika populis Trump telah memancing emosi massa yang sedang melakukan revolt terhadap kemapanan kapital dan dukungan media besar meskipun Partai Demokrat dikenakan label radical left,” kata Aleks.
Peran Mahkamah Agung (Supreme Court) yang netral bisa jadi penyelamat demokrasi AS dan kredibilitas penegakan hukum AS. Jika lembaga peradilan tidak netral, aksi kekerasan bisa meluas dan ketidakpastian politik bisa menggagalkan pilpres AS.
Pemerhati masalah internasional Universitas Padjadjaran Bandung, Teuku Faizasyah, mengatakan, pergerakan masyarakat sipil bersenjata, dengan maksud menekan aparatur penyelenggara pilpres, dapat dikategorikan sebagai kejahatan terstruktur yang mengancam ketertiban umum.
”Aparat penegak hukum hendaknya menggunakan kewenangan yang mereka miliki untuk menghalau para pelaku kejahatan tersebut dan memprosesnya,” katanya. ”Jika dibiarkan, dapat meruntuhkan kredibilitas bangsa Amerika,” katanya lagi.
Ketua Pusat Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia Suzie Sudarman menilai perkembangan yang terjadi terkait dengan pilpres AS saat-saat ini merupakan efek dari kapitalisme yang tidak memiliki hati dan berkembang secara global, khususnya di AS. Yang muncul ke permukaan adalah reaksi pihak atau orang yang marah, frustrasi, dan terungkap dengan berlebihan.
Hal itu dinilai terjadi sebagai efek dari sistem ekonomi AS yang terlalu terbuka dan cenderung melupakan perlindungan bagi warganya dari dalam. Gambaran kapitalisme yang berkelindan dengan upaya menghadirkan kesejahteraan tidak terjadi di AS karena hasilnya adalah ketimpangan warganya yang membesar dari waktu ke waktu.
”Donald Trump naik (terpilih jadi Presiden AS) hanya memanfaatkan kemarahan publik. Dia tidak punya sensitivitas terhadap ilmu dan semata-mata oposan,” kata Suzie. ”Dalam kondisi seperti itu, harga yang dibayar adalah ketimpangan. Kesalahan menyikapi dan menangani globalisasi yang terikat mengakibatkan kondisi-kondisi terbaru lewat kemarahan-kemarahan.”
Baca juga : Menakar Kemenangan Trump di Pilpres AS
Jika kemudian Biden terpilih secara definitif, dalam analisis Suzie, tugasnya memperbaiki kondisi AS tidak akan mudah. Biden dan tim kampanyenya ingin menarik suara sebanyak mungkin kelas pekerja. Namun, yang memilih sosok Biden ternyata beragam, termasuk warga kulit berwarna hingga kelas putih dari golongan atas.
Menurut Suzie, mereka menuntut janji-janji ekonomi baru dari pemerintahan Biden kelak. Jika pemerintahan Biden gagal mengadvokasi janji-janji kampanyenya, kondisi AS bisa semakin runyam. Tantangan ke depan sangat besar, terutama menangani pandemi Covid-19 di tengah defisit anggaran pemerintah yang selangit.
”Seperti halnya di negara lain di dunia, AS membutuhkan intelektual yang jujur dalam kapitalisme. Kalangan intelektual yang jujur akan mampu menampar kapitalisme itu dari dalam. Sayangnya, akademisi AS paling anti-menyalahkan negerinya. Mereka justru menciptakan hal-hal yang bersifat populer, menjadi selebritas semata,” kata Suzie.
Upaya hukum
Trump dan timnya melakukan berbagai manuver untuk mencegah kekalahan. Setelah permintaan penghitungan suara ditolak pengadilan Pennsylvania, tim Trump meminta fatwa ke MA. Tim Trump meminta suara yang dicoblos di luar tempat pemungutan suara (TPS) dan melalui pos dipisahkan dari suara yang dicoblos di TPS.
Sudah tiga kali tim Trump berusaha mencegah penghitungan terhadap suara yang dikirim melalui pos. Dengan upaya ke MA, tim Trump sudah melakukan enam manuver hukum untuk menghambat penghitungan suara dalam beberapa hari terakhir.
Upaya di Nevada, Michigan, dan Georgia ditolak pengadilan setempat pada Senin dan Kamis. Sementara dua upaya di Pennsylania ditolak pada Jumat.
Baca juga : Hasil Pemilihan Presiden Amerika Berpengaruh bagi Indonesia
Sementara itu, di tengah menunggu keputusan definitif atas hasil pilpres AS, tim transisi Biden telah bergerak. Mereka mulai menyusun strategi dan langkah dalam memimpin AS.
Tim transisi Biden dipimpin ajudan lamanya, Ted Kaufman. Kaufman memimpin upaya untuk memastikan mantan wakil presiden itu segera dapat mulai membangun pemerintahannya. (AP/AFP/REUTERS/BEN/CAL/RAZ/ATO)