Pilihan Politik Membuyarkan Hubungan Persaudaraan
Banyak keluarga terbelit perpecahan terkait kepemimpinan Donald Trump yang dinilai kacau dan sulit untuk diperbaiki.
Mayra Gomez kehilangan putranya lima bulan lalu setelah ia memberi tahu akan memilih Donald Trump tahun ini. Padahal, sepanjang hidupnya, Gomez setia pada Partai Demokrat. ”Anak saya bilang begini, ibu bukan ibu saya lagi karena pilih Trump,” kata Gomez (41), karyawan salon perawatan diri di Milwaukee, Amerika Serikat.
Obrolan terakhir ibu dan anak itu sangat tidak enak sampai Gomez tidak tahu apakah mereka akan bisa berbaikan kembali, bahkan jika Trump kalah sekalipun.
”Sudah kadung rusak. Dalam pikiran orang, Trump itu berbahaya. Itu menyedihkan. Banyak yang sudah tidak mau bicara dengan saya lagi. Saya tidak yakin itu bisa berubah,” kata Gomez yang suka dengan tindakan tegas Trump menangani imigran ilegal dan kebijakan ekonominya.
Bukan hanya Gomez yang terbelit perpecahan dalam keluarga dan teman-teman terkait kepemimpinan Trump yang kacau dan sulit untuk diperbaiki, bahkan setelah ia tak lagi menjadi presiden.
Baca juga: Trump atau Biden yang Menang? Pahami Dulu Cara Penghitungan Suara Pilpres AS
Dari wawancara dengan 10 pemilih, 5 orang memilih Trump dan 5 memilih Biden. Hanya sedikit yang melihat hubungan personal yang rusak gara-gara kepemimpinan Trump akan bisa pulih sepenuhnya. Banyak yang yakin hubungan itu hancur selamanya.
Sepanjang hampir empat tahun masa kepemimpinannya, Trump mengaduk-aduk emosi pendukung dan penentangnya. Banyak pendukung mengagumi langkahnya merombak imigrasi, keputusan menunjuk hakim-hakim konservatif, mengabaikan konvensi, dan retorika yang keras atau yang mereka anggap terus terang.
Baca juga: Hasil Pemilihan Presiden AS Berpengaruh bagi Indonesia
Demokrat dan pengkritik lain menganggap Trump ancaman demokrasi AS, orang yang sering bohong, dan rasis yang salah menangani pandemi Covid-19 yang menewaskan lebih dari 230.000 orang di AS. Trump menganggap semua itu ”kabar bohong”.
Kini, dengan kondisi Trump yang tertinggal dari kandidat Joe Biden dalam jajak pendapat, orang mulai mempertanyakan apakah perpecahan akibat presiden yang paling terpolarisasi sepanjang sejarah AS itu bisa disembuhkan jika Trump kalah dalam pemilihan.
”Saya tidak yakin memulihkan perpecahan itu akan semudah mengganti presiden. Butuh waktu dan kedua pihak harus berusaha keras ikhlas dan terus melanjutkan hidup,” kata psikoterapis di Pusat Pengobatan Perilaku Rochester di Michigan, Jaime Saal.
Saal mengatakan, ketegangan dalam hubungan personal seseorang meningkat akibat dinamika politik, kesehatan, dan sosial di AS. Ia sering melihat kliennya memiliki perselisihan politik dengan saudara kandung, orangtua atau mertua, dan pasangan.
Terpecah
Pemilihan presiden tahun 2016 telah memecah-belah keluarga, pertemanan, dan antartetangga. Sama seperti yang terjadi di Indonesia, banyak orang yang memilih media sosial Facebook dan Twitter untuk mengunggah komentar-komentar menyerang Trump.
Unggahan-unggahan Trump di Twitter juga malah memperparah ketegangan.
Laporan Pusat Penelitian Pew yang nonpartisan, September lalu, menemukan sekitar 80 persen pendukung Trump dan Biden mengaku tidak punya teman atau punya sedikit teman yang memiliki pilihan kandidat berbeda.
Studi organisasi jajak pendapat Gallup, Januari lalu, menemukan pada tahun ketiga Trump tercatat rekor baru polarisasi partai. Sekitar 89 persen dari Partai Republik menyetujui kinerja Trump pada 2019. Hanya 7 persen dari Demokrat yang mengakui kinerja Trump baik.
Baca juga: Trump-Biden Bertarung Keras Hingga Garis Akhir
Gayle McCormick (77) yang bercerai dari suaminya, William (81), setelah William memilih Trump pada 2016, mengatakan, warisan Trump yang memecah-belah rakyat AS ini akan butuh waktu lama pemulihannya.
McCormick masih kerap ketemu suaminya, tetapi dua cucunya tidak mau lagi bicara dengannya karena dia mendukung Hillary Clinton dari Demokrat pada pemilu 2016. Ia juga dikucilkan dari saudara dan teman yang mendukung Trump. Ia tidak yakin perpecahan dengan teman dan saudara itu akan bisa diperbaiki.
Baca juga: Kebijakan Pandemi Covid-19 Menjadi Kunci
Pendukung Demokrat, Rosanna Guadagno (49), juga mengaku adiknya tidak mengakui dirinya sebagai saudara lagi setelah ia tidak mau memilih Trump.
Tahun lalu, saat ibunya sakit stroke pun, adiknya melarang Guadagno menengok ibunya, padahal mereka tinggal di kota yang sama. Ketika ibunya meninggal enam bulan lalu pun, ia tidak diberi tahu. Ia baru tahu kabarnya setelah tiga hari. Itu pun melalui e-mail dari adik iparnya.
”Sedih sekali, saya tidak diberi tahu apa-apa,” kata Guadagno, psikologi sosial yang bekerja di Stanford University, California.
Tak bahas politik
Sarah Guth (39), penerjemah Spanyol dari Denver, Colorado, mengaku harus memutuskan hubungan dengan beberapa teman yang mendukung Trump. Ia tidak bisa mendukung berbagai kebijakan Trump.
Guth dan ayahnya, yang mendukung Trump, pun tidak saling bicara selama beberapa bulan setelah pemilu 2016.
Kini mereka sudah saling bicara, tetapi tidak membahas politik. Guth mengatakan, beberapa temannya tidak bisa menerima dukungannya kepada Joe Biden yang memiliki sikap pro-choice dalam isu aborsi.
”Perbedaan pendapatnya fundamental. Kedua partai jelas tidak punya kesamaan. Pasti akan tetap begini meski era Trump sudah berakhir,” kata Guth.
Namun, pendukung kuat Trump, Dave Wallace (65), pensiunan manager penjualan industri minyak di West Chester, Pennsylvania, lebih optimistis dengan hubungan keluarga pasca-Trump.
”Kebencian Demokrat kepada Trump sungguh tidak masuk akal. Saya kira ini masalahnya hanya pada Trump. Banyak orang tak suka. Saya kira semua akan kembali normal kalau kita punya politisi normal yang tidak membuat orang marah,” ujarnya.
Baca juga: Pemilih Generasi Z di AS Bukan Lagi ”Katak Dalam Tempurung”
Guru Besar Psikologi dan Ilmu Saraf di New York University Jay J Van Bavel mengatakan, sektarianisme politik tidak hanya menjadi kesukuan, tetapi juga moral.
”Trump menjadi salah satu tokoh paling terpolarisasi dalam sejarah AS terkait nilai dan orang mau kompromi. Itu bukan sesuatu yang mudah dihilangkan,” ujarnya.
Jacquelyn Hammond (47), bartender di Asheville, North Carolina, tidak bicara lagi dengan ibunya, Carol, yang mendukung Trump. Ia juga melarang anaknya bicara dengan neneknya tentang politik. ”Saya tidak mau ibu saya memengaruhi anak saya dengan politik,” ujarnya.
Trump, kata Hammond, bagaikan katalisator gempa bumi yang membelah dua benua pemikiran. Setelah terbelah, tidak bisa menyatu kembali. Ia mengaku kerap berselisih paham dengan ibunya setelah pemilu 2016 ketika ia membela Clinton.
”Ibu saya menghentikan mobil dan bilang saya tidak menghormati pilihan politiknya dan saya disuruh keluar dari mobil,” ujarnya.
Baca juga: Referendum bagi Trump
Bonnie Coughlin (65), yang selalu memilih Republik karena dibesarkan di keluarga Republik dan kini memilih Biden, mengaku hubungannya memburuk dengan adiknya, ayahnya, dan saudara-saudara sepupunya yang semua memilih Trump.
”Kalau Biden menang, saya yakin mereka akan sulit menerima kenyataan itu,” ujarnya. (REUTERS)