Hasil Pemilihan Presiden Amerika Berpengaruh bagi Indonesia
Kondisi politik dan pola koalisi dalam negeri Indonesia sangat menentukan kemampuan negara ini merespons hasil Pemilu AS.
Hasil Pemilihan Presiden AS akan turut memengaruhi dan menentukan geopolitik di Indo-Pasifik, di mana Indonesia berada.
JAKARTA, KOMPAS — Hasil pemilihan presiden Amerika Serikat, Selasa (3/11/2020) ini, akan turut menentukan kondisi geopolitik di kawasan Indo-Pasifik, termasuk Asia Tenggara, di mana Indonesia berada, dengan pengaruh China telah berkembang luas. Indonesia perlu tetap menjalin hubungan baik dengan AS dan China.
”Berkawan sesuai kepentingan bersama dan tidak ditujukan untuk mempersulit lawan masing-masing,” kata Teuku Rezasyah, dosen hubungan internasional Universitas Padjadjaran Bandung, dalam diskusi virtual di Jakarta, Senin.
Menurut Teuku, Indonesia harus bisa menyaring mana hubungan bilateral yang
tetap menghormati integritas dan kedaulatan negara dan mana yang tidak. Kata dia, Indonesia perlu tetap menjalin hubungan baik dengan AS dan China.
Baca juga : Trump dan Biden Habis-habisan di Hari Terakhir Kampanye
Teuku berpandangan, siapa pun yang terpilih menjadi presiden AS kelak, kondisinya tidak akan jauh berbeda dari apa yang terjadi saat ini (business as usual). Hanya saja, ia mengakui bahwa ada perbedaan gaya pemerintahan antara Republik dan Demokrat.
”Kalau Donald Trump yang kembali terpilih, lingkungan Indo-Pasifik ada yang tetap mengawasi,” ujarnya.
Terkait HAM
Sementara Demokrat, menurut Teuku, biasanya bersikap nyinyir dalam isu penegakan hak asasi manusia (HAM). ”Sekecil apa pun masalah penegakan HAM, akan masuk dalam radar mereka. Sementara Trump, sepanjang kepentingannya terwadahi, ia akan happy saja,” ujar Teuku.
Bisa jadi, dengan alasan adanya desakan dari dalam negeri AS, presiden dari Demokrat akan meninjau kembali kontrak atau kesepakatan yang sudah mengikat dengan memasukkan klausul penegakan HAM di dalamnya.
Menurut Teuku, Indonesia sebenarnya sudah terbiasa dengan pergantian kepemimpinan AS antara Demokrat dan Republik. Ada tidaknya tekanan AS soal HAM sudah sepatutnya Indonesia membuktikan komitmennya soal HAM kepada dunia, termasuk isu HAM di Papua yang sering kali jadi bola panas di forum internasional dan melakukan pembangunan yang terukur.
Salah satu yang penting dalam upaya menunjukkan komitmen itu adalah dengan menggunakan indikator-indikator terukur yang dimengerti oleh pemerintahan Demokrat.
Baca juga : Klaim Donald Trump dan Joe Biden yang Tidak Akurat Jelang Pemungutan Suara
Misalnya, memakai indeks korupsi, indeks pembangunan manusia, tata kelola pemerintahan yang baik, tata kelola korporasi yang baik, dan pertumbuhan pembangunan yang berkelanjutan.
”Indonesia perlu percaya diri dengan kekuatannya dan menutup celah yang bisa dimanfaatkan oleh anasir-anasir anti-RI. Peran diplomasi publik menjadi krusial agar negara lain melihat Indonesia dari perspektif Indonesia, bukan dari perspektif negara lain,” tutur Teuku.
Pengamat politik internasional Universitas Indonesia, Suzie S Sudarman, mengatakan, siapa pun Presiden AS terpilih, akan mengundang marabahaya.
”Secara nature negara adidaya akan selalu memberikan pengaruh pada negara lain. Sekarang tinggal kita bisa mengatasinya dengan baik atau tidak” katanya.
Menurut Suzie, apabila Biden menang, Indonesia yang masih memiliki persoalan dalam memperlakukan kelompok minoritas dan penegakan HAM harus berhati-hati. Sebab, pemikir Demokrat akan melihat titik ini kelemahan negara kita dan peluang untuk melakukan intervensi.
Sementara jika Trump yang menang, ia akan memanfaatkan peluang perpecahan dalam negeri suatu negara dengan menjual senjata. ”Beda signifikan antara Demokrat dan Republik tapi dua-duanya bahaya,” kata Suzie.
Kondisi politik dan pola koalisi dalam negeri Indonesia sangat menentukan kemampuan negara ini merespons hasil Pilpres AS. Ketika situasi domestik terpecah, maka akan menjadi peluang negara kuat seperti AS untuk masuk.
Rangkul ASEAN
Dihubungi dari Jakarta, kemarin, analis politik independen yang berbasis di Singapura, Ericssen, mengatakan, siapa pun yang menjadi presiden AS nantinya kemungkinan akan merangkul negara-negara ASEAN, tidak terkecuali Indonesia, untuk berebut pengaruh. Ketidakhadiran AS di kawasan ini membuat pengaruh China yang membesar di Asia Tenggara.
”Trump tidak terlalu tertarik dengan politik luar negeri, apalagi dengan Asia Tenggara. Contoh sederhana, selama Trump jadi presiden, posisi Duta Besar AS di Singapura kosong. Ketertarikan dia pada kawasan ini semata karena sikap anti-China-nya,” kata alumnus National University of Singapore itu.
Baca juga : Ketegasan Indonesia Membuat ASEAN Lebih Bergigi Soal Laut China Selatan
Itu sebabnya, Ericssen tidak akan kaget apabila terpilih kembali, Trump akan mendekati negara-negara ASEAN agar lebih agresif membendung pengaruh China. Lawatan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Jakarta beberapa waktu lalu menjadi salah satu sinyal itu.
Ketika pengaruh China di Laut China Selatan dan beberapa negara ASEAN semakin kuat, barulah AS turun, bukan mendekati ASEAN yang dinilai tidak satu suara, tapi mendekati negara tertentu di kawasan ini.
Berbeda dengan Demokrat yang mengusung Joe Biden. Jika Biden yang terpilih, kemungkinan besar akan kembali memprioritaskan Asia Tenggara dan Asia Timur, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Barack Obama.
Bagaimana caranya agar tetap mesra dengan AS, tapi juga mesra dengan China.
Oleh karena itu, siapa pun yang menjadi presiden AS, keutuhan ASEAN adalah sesuatu yang seharusnya dijaga. Peran negara-negara ASEAN yang selama ini tidak berpihak pada satu kekuatan, baik AS maupun China, menjadi penting untuk tetap menjaga stabilitas di kawasan. ”Bagaimana caranya agar tetap mesra dengan AS tapi juga mesra dengan China,” kata Ericssen.
Sayangnya, ujar Ericssen, posisi tawar ASEAN selama ini lemah dan sering kali tidak satu suara dalam isu-isu tertentu. Itu sebabnya, selama ini AS tidak melakukan pendekatan pada ASEAN sebagai blok, tetapi langsung pada negara-negara anggotanya.
Selama ini negara yang tidak berpihak, seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia, masih bisa menolak tekanan AS. Tetapi, jika AS datang dengan iming-iming yang menggiurkan, pendirian itu bisa saja goyah.*