Semangat bekerja sama di antara negara anggota ASEAN menjadi kunci untuk menanggapi aneka isu di kawasan, termasuk pandemi ataupun isu Laut China Selatan. Indonesia ingin ASEAN solid.
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pandemi Covid-19 masih merajalela. Makin besarnya tantangan kesehatan, ekonomi, dan sosial yang muncul seiring dengan hadirnya pandemi Covid-19 memperlihatkan upaya-upaya yang diambil oleh banyak pihak masih jauh kata selesai. Untuk itu, perlu penguatan kerja sama agar beban yang dipicu munculnya pandemi dapat ditangani dengan lebih optimal.
Semangat kerja sama itulah yang ditegaskan Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi, Rabu (9/9/2020), dalam pertemuan Menteri Luar Negeri Negara-negara ASEAN Ke-53 atau 53rd ASEAN Foreign Ministers Meeting (AMM). Pertemuan yang dipimpin Menteri Luar Negeri Vietnam Pham Binh Minh itu digelar secara daring. Vietnam, yang tahun ini menjadi Ketua ASEAN, menjadi tuan rumah pertemuan itu.
Dalam pernyataannya terkait upaya penanganan pandemi, Retno mengajukan ”tantangan” kepada mitranya di ASEAN. Tantangan itu adalah apakah persoalan itu akan ditangani sendiri oleh setiap negara, dan mengedepankan kepentingan masing-masing atau sebaliknya, bersama-sama sebagai bagian dari ASEAN? Dengan tegas, kepada mitranya, Retno mengatakan, Indonesia memilih melakukannya bersama-sama.
”Mandat para pemimpin kita adalah (merujuk pada KTT pada Juni lalu), berpikir dan bertindak sebagai satu kesatuan komunitas oleh karena itu tugas para menteri luar negeri adalah mengimplementasikan semangat itu,” kata Retno.
Upaya itu dapat diwujudkan bersama melalui kerja sama pengembangan, produksi, dan distribusi vaksin. Langkah itu mendukung kampanye global untuk menyediakan akses setara pada vaksin. Selain itu, kerja sama juga sangat dibutuhkan untuk merevitalisasi dampak pandemi, terutama pada ekonomi dan sosial.
Terkait vaksin, Retno kembali mengemukakan tentang kerja sama yang telah dijalin dengan sejumlah mitra, termasuk kapasitas industri kesehatan dan obat-obatan, seperti Biofarma untuk memproduksi vaksin. Terkait isu revitalisasi ekonomi, Indonesia mengajukan gagasan ASEAN Travel Corridor. Inisiatif ini akan membantu proses pembukaan kembali aktivis ekonomi ASEAN, dengan tetap mematuhi protokol kesehatan secara ketat. ”Kita tidak ingin reopening ini kemudian akan membuat naiknya kasus baru,” kata Retno.
Draf awal yang diajukan Indonesia terkait ASEAN Travel Corridor mendapat sambutan positif dari para menteri luar negeri negara anggota ASEAN. Sebelumnya, Sekretaris Jenderal ASEAN Lim Jock Hoi dalam laporannya juga mengapresiasi inisiatif Indonesia itu.
Menurut Lim, inisiatif itu penting, terutama saat ASEAN mulai membahas fase atau tahap pembukaan kembali pembatasan terutama dalam konteks ekonomi.
Kawasan
Selain mengikuti AMM, para menteri luar negeri negara-negara anggota ASEAN juga mengikuti pertemuan ASEAN Plus Three, yaitu pertemuan antara ASEAN dan Jepang, China, serta Korea Selatan. Selain itu, digelar pula pertemuan antara ASEAN dan China serta ASEAN dan Korea Selatan.
Kembali dalam pertemuan itu, isu kerja sama tetap menjadi garis tegas yang dikedepankan Indonesia dan ASEAN. Dalam pertemuan dengan Korea Selatan, Indonesia mengapresiasi penguatan konektivitas melalui mekanisme integrasi kawasan yang telah dimulai pada 29 Agustus lalu.
Sementara itu, dalam pertemuan ASEAN-China, Indonesia kembali menegaskan tentang akses setara pada vaksin dan kerja sama untuk membangun kembali ekonomi. Momentum peningkatan kerja sama ekonomi senilai lebih dari 300 miliar dollar pada kuartal kedua tahun ini antara ASEAN dan China, menurut Retno perlu dipertahankan.
Laut China Selatan
Akan tetapi, di tengah upaya bersama untuk menangani pandemi dan menggerakkan kembali ekonomi kawasan, ASEAN tetap memberikan perhatian pada isu perdamaian, stabilitas, dan keamanan di kawasan. Hal itu terkait dengan meningkatnya rivalitas kekuatan-kekuatan utama dunia, terutama di kawasan Luat China Selatan.
Perdana Menteri Vietnam Nguyen Xuan Phuc dalam pidato pembukaan mengatakan, lanskap geopolitik dan ekonomi regional tengah—termasuk Laut China Selatan—dibayangi meningkatnya volatilitas yang berpotensi merusak perdamaian dan stabilitas.
Sebagai catatan, dalam beberapa waktu terakhir, China dan Amerika Serikat saling kecam terkait isu Laut China Selatan. Ketegangan mereka, termasuk pengiriman pesawat pengintai oleh AS dan latihan penembakan rudal oleh China, menjadi bagian dari rivalitas mereka di bidang lain, seperti teknologi dan ekonomi.
Ketegangan itu, menurut Menteri Luar Negeri Vietnam, menjadi tantangan bagi peran hukum internasional dan lembaga-lembaga multilateral.
Menyikapi situasi itu, Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi kembali mengajak ASEAN solid dan mengedepankan kesatuan. Dalam pertemuan EAS, Retno mengajak agar para pihak menggunakan EAS sebagai media untuk menyelesaikan persoalan secara damai. ”Rivalitas tidak menguntungkan siapa pun,” kata Retno.
Selain itu ia menegaskan, agar kekuatan-kekuatan utama dunia tidak melibatkan negara-negara ASEAN dalam ketegangan geopolitik mereka. Retno menegaskan, ASEAN tidak mau memihak atau terjebak dalam rivalitas itu.
Menurut dia, semua pihak harus kembali mengedepankan penghormatan pada hukum-hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982.
Pakar keamanan pada Pusat Studi Internasional S Rajaratman mengatakan, Singapura melihat situasi yang sama. Ia menilai ASEAN tidak memiliki niat untuk memihak atau terlibat.
Menurut dia, ASEAN akan kembali menempatkan itu bersama China melalui pembahasan kode tata perilaku atau code of conduct (COC) di Laut China Selatan. (AP/AFP/Reuters)