Mayoritas Negara Gagap, Kematian di Indonesia Tertinggi di ASEAN
Asia Tenggara termasuk kawasan di luar China yang paling awal melaporkan kasus Covid-19. Meski demikian, beberapa negara di kawasan ini mendapat kritik tajam dari warganya karena dinilai lambat merespons pandemi ini.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Tak ada satu pun negara yang aman dari ancaman pandemi Covid-19 yang disebabkan oleh virus korona baru atau SARS-CoV-2. Kini, penyakit yang berawal dari kota Wuhan, Provinsi Hubei, China, ini sudah menjangkiti sekitar 200 negara.
Asia Tenggara yang memiliki hubungan erat dengan China pun menjadi kawasan yang terbilang awal mendapat kasus Covid-19 impor dari China. Thailand, contohnya, melaporkan kasus pertamanya pada 12 Januari 2020 disusul Singapura pada 22 Januari 2020, dan Malaysia 24 Januari 2020.
Jika melihat data pada Indeks Ketahanan Kesehatan Global (Global Health Security Index) 2019, sebenarnya hanya dua negara ASEAN, yaitu Kamboja dan Brunei Darussalam, yang berada di bawah rata-rata indeks yang sebesar 40,2 dari total skor 100.
Artinya, kemampuan untuk sistem kesehatan setiap negara dalam mencegah, mendeteksi dan melaporkan, merespons dengan cepat, serta memenuhi kapasitas inti dalam Regulasi Kesehatan Internasional 2005 dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sudah lumayan baik meski masih banyak yang perlu diperbaiki.
Akan tetapi, realitasnya di lapangan begitu Covid-19 menyerang tidak sebagus data yang ada. Hingga Sabtu (28/3/2020), Malaysia melaporkan 2.320 kasus, Thailand 1.245 kasus, Indonesia 1.155 kasus, dan Filipina 1.075 kasus. Sistem kesehatan negara-negara di ASEAN juga kewalahan.
Indonesia, misalnya, memiliki angka kematian yang tertinggi di ASEAN, 102 kasus meninggal dari 1.155 kasus yang dilaporkan pada 28 Maret 2020. Sebagai perbandingan, Malaysia dengan 2.320 kasus memiliki 27 kasus meninggal atau Filipina dengan 1.075 kasus memiliki 68 kasus meninggal. Ini belum termasuk persoalan keterbatasan alat pelindung diri yang terus diteriakkan oleh tenaga kesehatan.
Mayoritas negara di dunia gagap dalam merespons wabah Covid-19 yang menyebar dengan cepat. Beberapa negara di ASEAN juga menghadapi kritik dari publik karena dinilai lambat dalam mengantisipasi dan menangani Covid-19. Bahkan, di Thailand kebebasan berpendapat terancam ketika Perdana Menteri Prayut Chan-ocha mendeklarasikan status darurat pada 24 Maret lalu.
Di Filipina, Presiden Filipina Rodrigo Duterte juga menghadapi kritik keras dari warganya. Pada Selasa (18/2/2020), Al Jazeera malah melaporkan bahwa Filipina juga menghadapi persoalan pemotongan anggaran kesehatan. Padahal, selain Covid-19, negara itu sebelumnya menghadapi wabah demam dengue, campak, juga kasus polio.
Untuk memperlambat laju penyebaran virus korona baru, PM Malaysia Muhyiddin Yassin, Senin (16/3/2020), mengumumkan penutupan layanan lembaga keagamaan, sekolah, bisnis, dan kantor pemerintah mulai Rabu (18/3/2020) hingga Selasa (31/3/2020). Bank, SPBU, apotek, dan pasar swalayan tetap buka.
Selain itu, Malaysia juga akan menutup sebagian besar perjalanan ke luar atau masuk ke negara itu. Warga Malaysia yang kembali dari lawatan di luar negeri harus menjalani karantina mandiri selama 14 hari.
Pemerintah Singapura sejak 16 Maret pukul 23.59 waktu Singapura memberlakukan kebijakan wajib karantina bagi siapa pun—yang masuk ke negara itu—dengan riwayat perjalanan ke negara-negara ASEAN, Jepang, Swiss, dan Inggris dalam kurun waktu 14 hari terakhir. Mereka diwajibkan untuk memberikan bukti tempat tinggal, seperti alamat hotel atau rumah kerabat tempat mereka tinggal, selama masa karantina mandiri itu.
Jika tidak mematuhi kebijakan itu, sebagaimana diatur dalam ketentuan setempat mengenai penyakit menular, pelaku akan didenda 10.000 dollar Singapura atau dipenjara selama 6 bulan. Pengunjung transit tidak dikenai kebijakan itu.
Langkah tegas juga diambil Pemerintah Filipina. Presiden Duterte memperluas penutupan wilayah. Jika sebelumnya hanya Metro Manila yang ditutup, Duterte menilai, sudah saatnya untuk menutup Luzon, pulau utama di Filipina tempat Manila berada.
Melalui televisi, Duterte mengumumkan langkah-langkah karantina mandiri yang ketat di rumah dan menutup jaringan transportasi. Perusahaan-perusahaan juga diminta tutup atau beroperasi dari secara remote. Menurut dia, pembatasan perjalanan tidak cukup menahan penyebaran virus korona tipe baru penyebab Covid-19.
Duterte juga meminta kepada wali kota-wali kota untuk bertindak tegas menegakkan karantina. Siapa pun yang melanggar akan ditangkap dan dihukum penjara.
Pada akhirnya semua pemimpin negara perlu mengambil tindakan tegas untuk menekan kasus Covid-19. Ketika sistem kesehatan kewalahan menghadapi penyakit ini, harapannya ada pada kepemimpinan negara untuk mengambil kebijakan yang berbasis bukti.