Keterlibatan perempuan di politik tidak serta-merta membuat kebijakan suatu negara menjadi lebih berorientasi pada perdamaian berkelanjutan. Perempuan harus memiliki kompetensi yang baik untuk maju dan tak mudah disetir.
Oleh
ELSA EMIRIA LEBA
·4 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS -- Negara-negara terus mendorong perempuan terlibat dalam pengambilan keputusan. Partisipasi perempuan dalam politik pun membaik dibandingkan beberapa dekade lalu. Namun, perempuan diharapkan untuk lebih berperan secara substantif.
Penasihat Kebijakan Kementerian Luar Negeri India Ashok Malik dalam diskusi "General Election for Inclusivity" pada Bali Democracy Forum ke-12 di Nusa Dua, Bali, Jumat (6/12/2019), mengatakan, sebagai salah satu negara demokrasi terbesar di dunia, India berupaya meningkatkan partisipasi perempuan dalam pemilihan umum. Perempuan didorong untuk memilih ataupun mencalonkan diri.
"Selisih tingkat partisipasi dalam pemilu antara laki-laki dan perempuan hanya 0,4 persen pada Pemilu 2019 dibandingkan 9 persen pada 2009. Saya perkirakan, jumlah pemilih perempuan akan melebihi laki-laki pada 2024,” kata Malik.
Namun, Malik melanjutkan, tidak bisa dipungkiri, masih sedikit perempuan mencalonkan diri sebagai politisi. Saat ini, India memiliki 78 orang atau hanya 14 persen anggota parlemen perempuan dari 543 kursi.
“Jumlah politisi perempuan mulai naik, tetapi itu masih sedikit. Sulit untuk membuat calon perempuan memenangi suara. Padahal, keterlibatan perempuan dalam pemerintahan akan membuat kebijakan akan lebih sensitif dan meningkatkan kualitas politik suatu negara,” tutur Malik.
Duta Besar Jepang untuk Indonesia, Masafumi Ishii menambahkan, tantangan serupa juga dihadapi oleh Jepang. Mayoritas parlemen Jepang masih dikuasai oleh laki-laki. Namun, pemerintah mulai menyadari pentingnya potensi kontribusi yang dimiliki oleh perempuan.
Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Indonesia, Arief Budiman menambahkan, seperti negara-negara lainnya, hukum Indonesia turut mewajibkan kuota sebesar 30 persen untuk keterwakilan perempuan dalam partai politik dan DPR. Hal ini untuk menjamin partisipasi perempuan dalam politik. Selama ini, partai-partai selalu menaati peraturan tersebut.
“Jumlah pencalonan perempuan meningkat hingga dari 30 persen menjadi 43 persen pada tahun ini. Meskipun begitu, keterpilihan perempuan memang baru 20,86 persen di DPR pada 2019,” ujar Arief.
Pendiri Synergy Policies Dinna Wisnu mengingatkan, keterlibatan perempuan dalam politik tidak serta merta membuat kebijakan suatu negara menjadi lebih berorientasi pada perdamaian yang berkelanjutan. Dalam beberapa kasus di dalam dan luar negeri, perempuan dalam politik justru tidak turut berkontribusi dalam kebijakan yang fokus pada pembicaraan damai, seperti terlibat perang dan aksi bom bunuh diri.
Dinna melanjutkan, perempuan yang berada pada level tertinggi pun tidak luput dari ancaman tersebut. Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menjadi contoh pemimpin perempuan yang gagal memperjuangkan perdamaian dan kemanusiaan di Myanmar, terutama terkait kesejahteraan warga Rohingya di Rakhine. Padahal, Suu Kyi telah memiliki dukungan dunia internasional.
Jadi, kita harus melihat lagi asal usul kelompok politik yang mengusung perempuan untuk mengetahui sejauh mana perempuan itu akan memperjuangkan perdamaian dan kesetaraan.
“Jadi, kita harus melihat lagi asal usul kelompok politik yang mengusung perempuan untuk mengetahui sejauh mana perempuan itu akan memperjuangkan perdamaian dan kesetaraan. Hal ini karena ada juga perempuan yang dipakai kelompok tertentu untuk menciptakan citra tertentu agar diterima publik,” tutur Dinna.
Menurut Dinna, sejauh ini, Indonesia dan ASEAN belum memiliki pemimpin perempuan yang signifikan. Perempuan belum dilihat sebagai rekan setara laki-laki sehingga pemimpin laki-laki masih mendominasi politik. Oleh karena itu, perempuan kerap hanya digunakan sebagai komoditas untuk menarik suara atau pun menciptakan citra yang ramah oleh suatu negara.
Dinna menambahkan, pendidikan politik bagi perempuan penting. “Perempuan harus memiliki kompetensi yang baik untuk maju dan tidak mudah disetir. Akan ada hambatan, tetapi perempuan jangan jadi alat kekuasaan,” katanya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, kasus Pilpres 2019 di Indonesia menunjukkan ada kelompok perempuan terlibat dalam militansi politik tanpa dibarengi oleh kedewasaan politik. Perempuan ikut berkampanye, tetapi tidak jarang akhirnya ikut menyebarkan berita bohong dan berita palsu.
“Di sini terlihat partisipasi perempuan masih bersifat artifisial, bukan substansial. Perempuan banyak terlibat dalam unjuk rasa massa saja sehingga hanya masuk dalam ranah politik pinggiran bukan politik gagasan," ujar Titi.
Ketua Komisi I DPR RI Meutya Hafid, dalam penutupan BDF ke-12, menuturkan, partisipasi perempuan dalam pembuatan kebijakan dapat memengaruhi kehidupan mereka dan komunitas. Perempuan dapat mendukung ketahanan demokrasi suatu negara, terutama di tengah gejolak akibat dinamika geopolitik.