Realisasi penetapan hutan adat hingga kini dinilai lamban. Ruang hidup ini penting bagi masyarakat adat untuk mengelola lingkungan dan menghindari konflik.
Oleh
PRADIPTA PANDU MUSTIKA, IRMA TAMBUNAN, FABIO MARIA LOPES COSTA, ABDULLAH FIKRI ASHRI, SUCIPTO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS- Meski masyarakat adat diakui dalam konstitusi, keberadaan mereka masih belum diakui oleh sejumlah pemerintah daerah. Ini di antaranya berdampak pada minimnya penetapan wilayah adat, termasuk hutan adat yang menjadi ruang hidup bagi warga adat.
Hutan bagi masyarakat adat diibaratkan sebagai sosok ibu yang memenuhi setiap kebutuhan hidup baik ekonomi, kesehatan, sosial, maupun menjaga tradisi budaya, serta pengetahuan lokal akan alamnya. Di tengah masifnya kebutuhan ruang investasi berbasis lahan maupun infrastruktur, perlindungan pada masyarakat adat dan hutan adat diperlukan.
Ketua Dewan Adat Kabupaten Keerom, Papua, Servo Tuames, Kamis (2/6/2022) mengungkapkan, tak ada lagi hutan adat dalam jumlah yang sangat luas di Distrik Arso, Waris, dan Yaffi. Hutan-hutan adat terganti dengan pembangunan jalan Trans Papua, pembukaan perkebunan sawit, serta tambang emas ilegal.
Dalam pengakuan itu ada proses politik, seperti peraturan daerah. Proses penetapannya ini dipengaruhi oleh politik. Ini tidak menguntungkan masyarakat adat. (Yando Zakaria)
“Salah satu dampak terbesar pembukaan hutan adat secara masif di Keerom adalah terjadinya bencana banjir sejak tahun 2005. Kondisi Keerom kini tak seperti dulu lagi yang jarang terjadi banjir meskipun turun hujan deras selama berjam-jam,” tutur dia.
Ketua Lembaga Adat Depati Muaro Langkap di penyangga Taman Nasional Kerinci Seblat, Kabupaten Kerinci, Jambi, Helmi Muid mempertanyakan usulan Peraturan Daerah Wilayah Masyarakat Hukum Adat yang hingga kini belum terwujud. Padahal, jika perda ini segera terbit, warga punya kekuatan hukum mengamankan hutan dari ancaman perusakan lingkungan.
Ketiadaan perda pun membuat penetapan hutan adat berlarut. Ia menuturkan pengajuan hutan adat di wilayah itu sudah menunggu empat tahun tanpa progres yang pasti. “Sudah berulang kali diadakan pertemuan para pihak tetapi sampai sekarang tak jelas kabarnya,” kata Helmi.
Masyarakat setempat khawatir karena aktivitas tambang liar sudah merambah ke dalam TN Kerinci Seblat. Kegiatan ilegal itu bahkan kian mendekat ke area usulan hutan adat yang seluas 3.100 hektar.
Wakil Direktur Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Adi Junedi, juga melihat lambatnya hak hutan adat. Padahal, dari sisi persyaratan sudah lengkap. Yang memakan waktu di proses verifikasi.
Sebab, verifikasi dilakukan langsung tim dari pusat untuk turun ke lapangan. Antrean jadi panjang karena banyaknya usulan dari berbagai daerah.
Harusnya, lanjut Adi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bisa mendistribusikan pekerjaan verifikasi teknis ini ke unit kerja KLHK di tingkat regional, misalnya melalui Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL).
Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Jambi Bambang Irawan mempertanyakan proses penetapan hutan adat yang dinilai lebih rumit jika dibandingkan perizinan pada skema perhutanan sosial lain. Untuk mendapatkan penetapan hutan adat harus melalui peraturan daerah. Ia menyarankan agar proses itu disederhanakan.
“Selama ada masyarakat tradisionalnya, ada hutannya, dan masyarakatnya masih setia mengelola, pemerintah dapat langsung keluarkan saja,” kata dia, Sabtu (4/6).
Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Bambang Yulisman, mengakui masih kecilnya realisasi penetapan hutan adat. Hal itu disebabkan alur proses perizinan yang panjang. Alur itu sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penetapan hutan adat langsung ditangani KLHK.
Perlu dukungan
Sementara itu, Kepala Sub Direktorat Pengakuan Hutan Adat dan Perlindungan Kearifan Lokal KLHK Yuli Prasetyo Nugroho menambahkan, upaya percepatan penetapan hutan adat perlu dukungan dari berbagai pihak termasuk pemerintah daerah. Sebab, banyak hutan adat yang secara administrasi saling tumpang tindih dengan wilayah lain.
Yuli menyebut peta terkait wilayah adat mayoritas sudah tersedia. Namun, peta spasial tersebut masih banyak yang belum dipahami oleh pemda, karena masyarakat adat menetapkan wilayah adat dengan kearifan lokal atau menggunakan batas alam.
“Peta ini terkadang belum diinternalisasi oleh para pihak baik daerah maupun pemangku seperti kesatuan pengelolaan hutan dan pihak taman nasional. Jadi perlu perencanaan bersama karena penetapan hutan adat ini merupakan salah satu upaya dalam penyelesaian konflik,” tutur dia.
Minimnya keberpihakan pada masyarakat adat acapkali menimbulkan konflik. Terutama, saat warga adat berupaya mempertahankan ruang hidupnya dari berbagai pihak yang merongrong.
Menurut catatan akhir tahun 2021 dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), sepanjang 2021 ada 13 kasus perampasan wilayah adat seluas 251.000 hektar dan berdampak pada 103.717 jiwa. Terbaru, ada 11 kasus konflik masyarakat adat pada Januari-Mei 2022.
Meski Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan hutan adat dari kawasan hutan (hutan negara) pada tahun 2013 atau dikenal dengan Putusan MK 35, menurut data Direktorat Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, baru ada 76.155,67 hektar hutan adat yang ditetapkan. Dari luasan ini, tidak ada hutan adat yang ditetapkan di Papua dan Papua Barat.
Namun KLHK telah memiliki wilayah indikatif hutan adat seluas lebih dari 1 juta hektar. Ini berada di 19 provinsi, termasuk Papua dan Papua Barat.
Selain itu, Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) mencatat, sampai Maret 2022, telah dibuat 1.091 peta wilayah adat di 29 provinsi dan 141 kabupaten/kota dengan luas mencapai 17,6 juta hektar. Dari jumlah itu, sebanyak 176 peta seluas 2,6 juta hektar telah mendapat status penetapan dari pemerintah daerah setempat.
Proses politik
Pendiri dan peneliti Pusat Kajian Etnografi Komunitas Adat Yando Zakaria, mengingatkan, konstitusi telah mengakui masyarakat adat. Dalam Pasal 18B UUD 1945, konstitusi mengakui keberadaan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai prinsip NKRI dalam konstitusi.
“Persoalannya, dalam pengakuan itu ada proses politik, seperti peraturan daerah. Proses penetapannya ini dipengaruhi oleh politik. Ini tidak menguntungkan masyarakat adat,” ungkapnya.
Di sisi lainnya, ada kekeliruan pandangan pejabat publik tentang masyarakat adat. “Ketika membicarakan masyarakat hukum adat rancu dengan kelompok etnis. Jadi, kalau masyarakat adat Papua diakui, semua (tanah) milik adat, terus NKRI di mana? Itu sesat pikir,” ujar Yando.
Itu sebabnya, menurut dia, masyarakat adat sulit mendapatkan pengakuan meski konstitusi telah menjaminnya. Ia berharap penentuan pengakuan masyarakat adat tidak melalui proses politik. "Harusnya proses akademik,” kata dia.
Yando menambahkan, pengakuan masyarakat adat juga dapat ditempuh melalui Undang-Undang No 6 tahun 2014 tentang Desa yang mengatur desa adat. Kriteria desa adat di dalam regulasi ini lebih sedikit dibandingkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No 52/2014.
Namun, pengakuan melalui UU Desa itu masih tumpang tindih dengan regulasi lainnya. Yando mendorong Rancangan Undang-Undang Masyarakat (Hukum) Adat yang telah diinisiasi sejak lama segera dituntaskan dengan melibatkan para ahli, dan tentunya perwakilan masyarakat adat. (MTK/ITA/IKI/FLO/CIP)