Menambal ”Lubang” Imunisasi Dasar
Layanan imunisasi yang terganggu membuat banyak anak tidak diimunisasi. Padahal, anak yang tidak diimunisasi lengkap berisiko tertular penyakit berbahaya yang bisa mengakibatkan sakit berat, cacat, hingga kematian.
Bak banjir bandang yang datang tiba-tiba, pandemi Covid-19 dengan cepat memorakporandakan fondasi kesehatan masyarakat yang sudah dibangun bertahun-tahun. Cakupan imunisasi dasar lengkap yang selama ini sudah berhasil dicapai ke tingkat yang cukup tinggi turun secara signifikan.
Layanan kesehatan yang terganggu selama dua tahun pandemi membuat masyarakat sulit mengakses pelayanan imunisasi pada anak. Sebagian besar tenaga kesehatan pun dialihkan untuk penanganan Covid-19.
Akibatnya, cakupan imunisasi menurun dari 93,7 persen pada 2019 menjadi 84,2 persen pada 2021. Penurunan yang signifikan juga terjadi pada cakupan imunisasi campak rubela (MR). Imunisasi MR pada bayi menurun dari 95,2 persen pada 2019 menjadi 81,1 persen pada 2021.
Penurunan juga terjadi pada cakupan imunisasi campak rubela pada anak di bawah usia dua tahun yang sebelumnya mencapai 72,7 persen pada 2019 menjadi 57,8 persen pada 2021. Secara nasional, cakupan rubela untuk anak usia sekolah dasar kelas I juga amat rendah, yakni 60,9 persen dari target yang seharusnya dicapai sebesar 95 persen.
Data tersebut jangan hanya dipandang sekadar angka. Ada sangat banyak anak di Indonesia tidak mendapatkan imunisasi sehingga rentan tertular dan menularkan penyakit berbahaya yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi tersebut.
Data surveilans Kementerian Kesehatan pada 2021 menunjukkan, 84 persen kasus rubela terjadi pada kelompok usia di bawah 15 tahun. Anak yang terinfeksi rubela ini tidak hanya berisiko bagi dirinya sendiri, tetapi juga orang lain di lingkungannya, terutama jika sampai menular ke ibu hamil.
Baca Juga: Memastikan Semua Anak Mendapatkan Imunisasi Lengkap
Pengalaman tertular rubela dikisahkan oleh Mei Lin (36), warga domisili Tangerang, Banten, Sabtu (14/5/2022). Ia terdiagnosis rubela saat kehamilan anak keduanya, Finn (6).
Awalnya, Mei mengalami gejala seperti demam, muncul ruam, dan sakit sendi. Ketika memeriksakan diri ke dokter, ia terdiagnosis mengalami rubela. Namun, saat itu, Mei tidak tahu bahwa dirinya sedang hamil sehingga tidak terlalu khawatir.
”Saya sempat cari tahu bahwa rubela ini akan bahaya jika menyerang ibu hamil. Karena saat itu saya tidak tahu sedang hamil, jadi tidak terlalu khawatir. Baru dua minggu setelah gejala rubela hilang, saya justru mengalami mual berat dan setelah diperiksa ternyata saya hamil,” tuturnya.
Rasa sedih dan panik langsung berkecamuk di diri Mei. Apalagi, Mei memang belum mendapatkan imunisasi rubela. Berbagai pemeriksaan pun dilakukannya untuk mengetahui kondisi janin yang dikandungnya.
Setelah minggu ke-12, dokter menyatakan ia sudah negatif rubela. Dari pemeriksaan pun dinyatakan bayi yang dikandungnya dalam kondisi sehat.
Mei sedikit lega. Barulah ketika Finn lahir, kecurigaan mulai muncul kembali. Bayi Finn lahir dengan kelainan bawaan. Ia lahir dengan kebocoran pada dua ruang atas jantung. Fungsi pendengarannya pun terganggu.
Saat usia tiga bulan, Finn juga diketahui mengalami katarak. Pada usia sembilan bulan baru diketahui bahwa anak kedua Mei ini tidak memiliki saluran air mata.
”Saya tentu sangat sedih. Berbagai ketakutan yang saya cemaskan dulu ternyata terjadi pada anak saya. Mulai saat itu, berbagai upaya pun saya usahakan untuk Finn. Mulai dari operasi jantung, operasi tanam lensa, sampai pemberian alat bantu dengar,” ujarnya.
Tidak hanya berdampak secara fisik, virus rubela juga mengganggu fungsi motorik dari anaknya. Tumbuh kembang Finn pun terlambat. Menurut Mei, meski kini secara biologis Finn berusia enam tahun, secara kemampuan motorik dan sosial ia masih sama dengan anak usia empat tahun.
Itu sebabnya, banyak terapi yang harus diberikan kepada Finn, seperti terapi untuk melatih wicara, pendengaran, motorik, dan emosi. Terapi tersebut masih diberikan hingga saat ini.
Saya tentu sangat sedih. Berbagai ketakutan yang saya cemaskan dulu ternyata terjadi pada anak saya.
Pengalaman serupa dialami Yunelia (50). Anak keduanya, Nadhif (15), mengalami sindrom rubela bawaan (congenital rubella syndrome/CRS). Di bulan pertama kelahirannya, Nadhif diketahui mengalami katarak pada mata kiri, tuli berat, serta gangguan pada fungsi jantung.
Selain itu, Nadhif mengalami gangguan pada fungsi otak yang membuat keterlambatan dalam perkembangan motorik. Dari pemeriksaan ditemukan pula adanya gangguan pada hati.
”Saya berharap kasus rubela bawaan, seperti Nadhif, tidak ada lagi di Indonesia. Semakin banyak kelainan bawaan yang disandang akibat infeksi rubela ini, semakin besar pengaruhnya pada proses tumbuh kembang anak,” ujarnya.
Kejadian luar biasa
Cakupan imunisasi yang menurun selama pandemi juga telah berdampak pada munculnya kejadian luar biasa (KLB) pada penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi atau PD3I. Kementerian Kesehatan mencatat sampai minggu ke-18 pada 2022 terdapat 435 kasus campak dan 351 kasus yang terkonfirmasi positif rubela di Indonesia.
Sejumlah daerah pun telah melaporkan adanya KLB campak dan rubela. KLB campak dilaporkan terjadi di 10 kabupaten/kota di tiga provinsi dan KLB rubela terjadi di 10 kabupaten/kota yang tersebar di delapan provinsi. Sementara itu, pada periode yang sama dilaporkan adanya KLB campak-rubela di Kota Batu, Jawa Timur.
Baca Juga: 1,7 Juta Anak Belum Mendapat Imunisasi Dasar Lengkap
Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine menyampaikan, cakupan imunisasi yang menurun selama pandemi menjadi penyebab utama dari munculnya KLB PD3I di sejumlah daerah.
Cakupan yang rendah ini terjadi karena pada awal pandemi banyak fasilitas layanan imunisasi yang tidak beroperasi. Tidak sedikit pula tenaga kesehatan yang harus dialihkan untuk melayani pasien Covid-19 ataupun vaksinasi Covid-19.
Dari survei cepat yang dilakukan Unicef dan Kementerian Kesehatan pada 2020, sebanyak 84 persen dari semua fasilitas kesehatan di Indonesia melaporkan adanya gangguan pada layanan imunisasi, terutama di puskesmas dan posyandu.
Selain layanan yang terganggu, cakupan imunisasi yang menurun terjadi karena keraguan orangtua untuk membawa anaknya ke fasilitas kesehatan. Kekhawatiran akan penularan Covid-19 membuat orangtua memilih untuk menunda jadwal imunisasi anaknya.
Kondisi ini membuat banyak anak yang akhirnya tidak mendapatkan imunisasi. Kementerian Kesehatan mencatat, ada lebih dari 1,7 juta anak di Indonesia yang tidak mendapat imunisasi dasar lengkap pada 2019-2021.
Dokter spesialis anak konsultan saraf anak di Rumah Sakit Umum Daerah Pasar Rebo, Arifianto, pada pertengahan April 2022 mengatakan, imunisasi kejar diperlukan untuk mengatasi cakupan imunisasi yang rendah. Imunisasi kejar diberikan pada anak yang terlambat mendapatkan imunisasi.
”Imunisasi diperlukan untuk melindungi anak dari penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Wabah sudah terjadi di sejumlah daerah sehingga perlu dicegah agar tidak meluas. Orangtua sebaiknya tidak lagi ragu membawa anaknya untuk diimunisasi di tengah situasi pandemi yang mulai membaik,” katanya.
Secara terpisah, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu dalam pembukaan Bulan Imunisasi Anak Nasional di Kepulauan Riau, Rabu (18/5/2022), mengatakan, pemerintah sudah menyiapkan strategi untuk kembali menggalakkan imunisasi rutin pada anak. Upaya ini sekaligus untuk mendukung capaian target eliminasi campak-rubela pada 2023 dan mencegah terjadinya KLB PD3I lainnya.
Untuk mencegah perluasan KLB campak-rubela, pada Bulan Imunisasi Anak Nasional akan dilakukan pemberian satu dosis tambahan imunisasi MR pada anak tanpa memandang status imunisasi sebelumnya. Imunisasi kejar juga dilakukan untuk melengkapi status imunisasi yang terlambat diberikan.
Baca Juga: Pemerintah Kejar Cakupan Imunisasi Dasar Lengkap yang Rendah
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Bidang Ilmu Kesehatan Anak, yang juga anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Soedjatmiko, menyatakan, imunisasi amat penting untuk memastikan setiap anak terhindar dari berbagai penyakit berbahaya.
”Anak yang belum lengkap diimunisasi akan mudah diserang penyakit berbahaya yang dapat berakibat pada sakit berat, cacat, bahkan bisa mengancam jiwa,” tuturnya.
Karena itu, ”lubang-lubang” cakupan imunisasi yang muncul akibat pandemi Covid-19 harus segera ditambal. Apa pun kondisinya, layanan kesehatan esensial, termasuk layanan imunisasi, jangan lagi terganggu.