1,7 Juta Anak Belum Mendapat Imunisasi Dasar Lengkap
Kejadian luar biasa atau KLB penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi mulai terjadi. Berbagai upaya strategis harus segera dilakukan agar kasus KLB tersebut tidak meluas.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sebanyak 1,7 juta anak di Indonesia belum mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Hal ini memicu terjadinya kejadian luar biasa penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di sejumlah wilayah. Intervensi melalui imunisasi kejar diperlukan untuk segera melengkapi imunisasi dasar pada anak.
Kementerian Kesehatan mencatat, terdapat 1.714.471 anak di Indonesia yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap pada 2019-2021. Cakupan imunisasi dasar lengkap selama pandemi Covid-19 juga mengalami penurunan. Pada 2019 dilaporkan, cakupan imunisasi dasar lengkap mencapai 93,7 persen. Cakupan tersebut menurun pada 2021 menjadi 84,2 persen.
Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine dalam acara Pekan Imunisasi Sedunia di Jakarta, Senin (11/4/2022), mengatakan, jumlah anak yang tidak mendapat imunisasi dasar lengkap amat besar. Hal itu berisiko tinggi menyebabkan kejadian luar biasa (KLB) penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi (PD3I).
”KLB PD3I sudah terjadi di beberapa tempat akibat cakupan imunisasi yang menurun. Laporan KLB sudah ada di Kalimantan Barat untuk kasus difteri, Aceh untuk campak, Sulawesi Selatan untuk difteri juga campak dan rubella, serta Papua untuk difteri,” katanya.
Kondisi ini perlu segera diatasi agar tidak meluas. Perlu biaya yang besar untuk merespons terjadinya wabah akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.
Prima memaparkan, imunisasi dasar lengkap perlu diberikan pada anak mulai dari anak baru lahir sampai anak usia sekolah. Pada usia 0-11 bulan, imunisasi yang perlu diberikan, antara lain, hepatitis B, BCG (Bacillus Calmette–Guérin), polio tetes, dan campak rubela.
Sementara pada anak usia 18-24 bulan, imunisasi yang diberikan ialah DPT-HB-Hib untuk mencegah penyakit difteri, pertusis, tetanus, hepatitis, dan pneumonia, serta imunisasi campak rubela. Untuk melengkapi imunisasi itu, pemberian vaksin campak rubela dan DT perlu diberikan kepada anak kelas 1 sekolah dasar dan vaksin Td pada anak kelas 2 dan kelas 5 sekolah dasar.
KLB PD3I sudah terjadi di beberapa tempat akibat cakupan imunisasi yang menurun. Laporan KLB sudah ada di Kalimantan Barat untuk kasus difteri, Aceh untuk campak, Sulawesi Selatan untuk difteri juga campak dan rubela, serta Papua untuk difteri.
Medical Officer Expanded Program on Immunisation (EPI) Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Paba Palihawadana menyampaikan, persoalan cakupan imunisasi yang menurun selama pandemi juga terjadi pada sebagian besar negara di regional Asia Tenggara (SEARO). Cakupan imunisasi menurun dari 91 persen pada tahun 2019 menjadi 85 persen pada 2020.
”Selain peningkatan kesadaran akan manfaat vaksinasi, intervensi lain diperlukan melalui integrasi, kolaborasi lintas sektor, dan kebijakan yang mendukung pelaksanaan imunisasi. Semua pihak dapat berkontribusi untuk mencegah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi,” ujarnya.
Imunisasi kejar
Dokter spesialis anak konsultan saraf anak RSUD Pasar Rebo Arifianto mengatakan, imunisasi kejar diperlukan di tengah cakupan imunisasi yang rendah. Imunisasi kejar diberikan kepada individu yang mengalami ketertinggalan vaksin. Imunisasi ini biasanya dilakukan bersamaan dengan imunisasi rutin atau imunisasi khusus.
”Imunisasi sangat diperlukan untuk melindungi anak dari penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Wabah dari penyakit difteri dan campak sudah ada di beberapa daerah. Ini perlu dicegah jangan sampai meluas sehingga pastikan anak-anak lengkap imunisasinya,” tuturnya.
Ia mengatakan, pandemi Covid-19 telah berdampak terhadap terganggunya layanan kesehatan esensial seperti imunisasi. Akibatnya, sejumlah layanan tidak beroperasi sehingga jadwal imunisasi anak pun menjadi terlewat.
Oleh sebab itu, imunisasi yang tertinggal perlu segera dilengkapi. Pemberian imunisasi ini tidak perlu diulang dari awal. Selain itu, imunisasi yang tertinggal pun dapat diberikan dengan pemberian vaksin ganda. Pemberian vaksin ganda ini aman untuk anak.
Meski demikian, Arifianto menambahkan, imunisasi kejar bisa diberikan sesuai dengan rentang usia dari jenis vaksin yang diberikan, misalnya pada pemberian vaksin pneumokokus (PCV). Vaksin ini tidak bisa diberikan apabila anak sudah berusia lebih dari enam tahun.
”Perhatikan pula jarak interval minimal dari pemberian dua vaksin. Umumnya jarak minimal sekitar 24 hari dari pemberian vaksin sebelumnya. Lain hal jika vaksin diberikan dalam waktu yang bersamaan, itu justru tidak masalah,” katanya.
Menurut dia, anak yang belum pernah diimunisasi artinya belum memiliki kekebalan sehingga rentan terinfeksi. Di tengah masa pandemi yang sudah mulai membaik saat ini, orangtua sebaiknya tidak lagi ragu untuk segera melengkapi imunisasi anak. Jika ada yang terlewat, bisa melakukan imunisasi kejar.
Strategi
Prima mengatakan, pemerintah telah menyiapkan sejumlah strategi untuk meningkatkan dan memperkuat cakupan imunisasi lengkap rutin pada anak Indonesia. Pelacakan serentak akan dilakukan pada bayi dan anak usia bawah dua tahun dengan status imunisasi yang belum lengkap.
Anak usia di bawah 36 bulan yang mengalami keterlambatan jadwal imunisasi juga akan diidentifikasi sehingga imunisasinya bisa segera dilengkapi. Imunisasi pun dapat dilakukan di tingkat komunitas masyarakat ataupun posyandu, terutama di lingkungan dengan banyak anak yang belum diimunisasi.
Pelaksanaan imunisasi di sekolah akan kembali berjalan pada sekolah yang sudah memulai pembelajaran tatap muka. Puskesmas keliling dapat digerakkan ke daerah yang sulit dijangkau sekolah ataupun puskesmas.
”Mulai Mei 2022 pada bulan imunisasi anak nasional, imunisasi kejar akan dilakukan dengan tujuan melengkapi status imunisasi anak balita yang terlambat diimunisasi sesuai jadwal. Imunisasi tambahan campak rubela pun dilakukan dengan tujuan memberikan dosis tambahan,” kata Prima.