Memastikan Semua Anak Mendapatkan Imunisasi Lengkap
Imunisasi telah terbukti dapat melindungi anak dari berbagai penyakit berbahaya. Diperlukan kerja keras dan kerja bersama untuk memastikan setiap anak di seluruh dunia terlindungi.
Selama dua tahun pandemi Covid-19 tercatat ada lebih dari 1,7 juta anak di Indonesia yang tidak mendapatkan imunisasi dasar lengkap. Pandemi secara nyata telah menghambat pelayanan imunisasi anak.
Jumlah ini amat besar. Anak-anak yang belum diimunisasi berisiko tinggi terinfeksi penyakit yang seharusnya bisa dicegah dengan imunisasi. Apabila banyak anak yang terinfeksi, itu dapat memicu terjadinya kejadian luar biasa. Kondisi ini juga menyebabkan kekebalan komunitas di masyarakat menjadi lemah.
Imunisasi diyakini mampu mencegah berbagai penyakit, kecacatan, dan kematian akibat penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Sebut saja kanker serviks, difteri, hepatitis B, campak, pertusis atau batuk rejan, pneumonia, polio, diare rotavirus, rubela, dan tetanus.
Baca juga : 1,7 Juta Anak Belum Mendapat Imunisasi Dasar Lengkap
Lewat imunisasi, Indonesia telah mencatatkan keberhasilan dalam eradikasi penyakit cacar pada 1980. Tahun 2014, Indonesia juga telah mendapatkan sertifikat bebas polio. Kemudian pada 2016, Indonesia dinyatakan telah mengeliminasi tetanus, terutama pada ibu hamil dan bayi baru lahir.
Meski begitu, pada Desember 2017, kejadian luar biasa (KLB) difteri sempat terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Itu terjadi karena cakupan imunisasi yang tidak merata. Padahal, pada skala nasional, cakupan imunisasi difteri, pertusis, dan tetanus/difteri-tetanus (DPT/DT) saat itu cukup tinggi, yakni 90 persen.
Gerakan antivaksin menjadi salah satu penyebabnya. Dari data yang dilaporkan, sekitar 60 persen pasien yang terkena difteri setahun terakhir saat KLB difteri terjadi tidak pernah diimunisasi (Kompas, 4/12/2017).
Guru Besar Fakultas Kedokteran Indonesia (FKUI) Bidang Ilmu Kesehatan Anak yang juga anggota Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia, Soedjatmiko, menyampaikan, edukasi mengenai manfaat dan pentingnya imunisasi pada anak harus terus digaungkan. Berbagai berita bohong atau hoaks terkait imunisasi membuat sebagian orangtua ragu membawa anaknya untuk diimunisasi.
Ia menambahkan, pandemi Covid-19 ini semakin menambah beban capaian cakupan imunisasi pada anak. Pada 2019 dilaporkan, cakupan imunisasi dasar lengkap mencapai 93,7 persen. Cakupan tersebut menurun pada 2021 menjadi 84,2 persen.
Imunisasi diyakini mampu mencegah berbagai penyakit, kecacatan, dan kematian akibat penyakit yang bisa dicegah dengan imunisasi. Sebut saja kanker serviks, difteri, hepatitis B, campak, pertusis atau batuk rejan, pneumonia, polio, diare rotavirus, rubela, dan tetanus.
”Alasan utama orangtua menunda atau tidak memberikan imunisasi pada anak yaitu khawatir anaknya terpapar Covid-19 serta fasilitas kesehatan yang tidak beroperasi. Kita harus segera mengatasi kondisi ini. Status imunisasi anak harus segera dilengkapi,” ujarnya di Jakarta, Selasa (12/4/2022).
Soedjatmiko mengatakan, anak dengan imunisasi yang belum lengkap akan mudah terserang berbagai penyakit berbahaya yang dapat menyebabkan sakit berat, cacat, hingga meninggal. Anak yang tertular campak dapat mengalami kejang yang bisa berdampak pada radang otak.
Selain itu, anak yang tidak mendapatkan imunisasi PCV (pneumococcus conjugated vaccine) rentan tertular penyakit pneumonia atau radang paru. Radang paru ini dapat berakibat fatal hingga meninggal.
Pada anak yang tertular rubela, risikonya juga sangat besar. Anak dapat mengalami kelainan jantung, buta akibat katarak, keterbelakangan mental, serta perkembangan otak yang terhambat. ”Sejak 2012-2018 sudah tercatat ada 1.660 bayi yang cacat karena rubela,” ucap Soedjatmiko.
Baca juga : Cakupan Imunisasi Dasar Turun, Wabah Penyakit Lain Mulai Mengancam
Hal tersebut perlu menjadi perhatian bersama. Pasalnya, selama masa pandemi, cakupan imunisasi, termasuk imunisasi campak rubela, terus menurun. Cakupan imunisasi campak rubela pada bayi menurun dari 95,2 persen pada 2019 menjadi 86,9 persen (2020) dan terus menurun menjadi 81,1 persen pada 2021. Begitu pula dengan cakupan imunisasi campak rubela pada anak usia di bawah dua tahun. Cakupan pada 2019 sebesar 72,7 persen, pada 2020 menurun menjadi 65,3 persen, dan pada 2021 menjadi 57,8 persen.
Kekebalan komunitas
Pelaksana Tugas Direktur Pengelolaan Imunisasi Kementerian Kesehatan Prima Yosephine menyatakan, menurunnya cakupan imunisasi rutin lengkap dapat menurunkan tingkat kekebalan komunitas terhadap penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Kekebalan komunitas hanya bisa dicapai dengan cakupan imunisasi yang tinggi dan merata.
Menurut dia, imunisasi dasar lengkap yang diberikan kepada anak itu juga tidak cukup untuk memberikan perlindungan dari PD3I. Imunisasi dasar lengkap harus dilanjutkan sampai pada imunisasi rutin lengkap.
Beberapa antigen memerlukan dosis lanjutan untuk mencapai kekebalan yang optimal. Pemberian dosis lanjutan ini akan dilakukan pada anak usia 18 bulan, anak usia sekolah, dan usia dewasa. Pada usia 0-11 bulan, imunisasi yang perlu diberikan antara lain hepatitis B, BCG (Bacillus Calmette-Guérin), polio tetes, dan campak rubela.
Pemberian imunisasi dasar lengkap itu dilanjutkan pada anak usia 18-24 bulan dengan vaksin yang diberikan ialah DPT-HB-Hib demi mencegah difteri, pertusis, tetanus, hepatitis, dan pneumonia serta imunisasi campak rubela. Untuk melengkapi imunisasi itu, vaksin campak, rubela, dan DT perlu diberikan pada anak kelas I sekolah dasar (SD), sedangkan vaksin Td pada anak kelas II dan kelas V SD.
Prima menuturkan, pemerintah telah menyiapkan strategi untuk meningkatkan dan memperkuat cakupan imunisasi rutin lengkap. Strategi tersebut antara lain dengan melakukan penguatan surveilans PD3I serta mendorong cakupan imunisasi rutin melalui umpan balik kepada Kementerian Dalam Negeri dan pemerintah daerah.
Strategi lain, mengupayakan ketersediaan vaksin dan logistik yang cukup dan tepat waktu, meningkatkan kerja sama dan integrasi lintas program dan lintas sektor untuk mendukung akselerasi capaian imunisasi rutin, serta memperkuat advokasi dengan pihak lembaga keagamaan dan lembaga masyarakat.
”Pelacakan serentak pada bayi dan baduta (anak di bawah usia dua tahun) yang belum lengkap status imunisasinya akan dilakukan beserta dengan identifikasi anak usia kurang dari 36 bulan yang terlambat diimunisasi. Imunisasi akan dilakukan di komunitas ataupun posyandu. Bagi yang terlambat (diimunisasi) bisa segera dilengkapi,” ujar Prima.
Ketua Komisi Nasional Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas KIPI) yang juga dokter spesialis anak konsultan penyakit infeksi dan penyakit tropis anak, Hindra Irawan Satari, menuturkan, masyarakat terutama orangtua diharapkan tidak lagi ragu membawa anaknya untuk diimunisasi. Vaksin yang diberikan dalam program imunisasi nasional aman dan berkualitas. Vaksin tersebut sudah diuji secara klinis dan bertahap sesuai pedoman yang disepakati secara global.
Kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI) bisa saja terjadi. Itu merupakan reaksi alamiah akibat reaksi tubuh dalam membentuk antibodi. Umumnya gejala itu bersifat ringan dan singkat serta sembuh dengan atau tanpa pengobatan.
”Jika mengalami KIPI bisa segera melaporkannya ke fasilitas kesehatan. Tata laksana segera dapat mencegah terjadinya kejadian fatal. Manfaat dari imunisasi jauh lebih besar daripada efek yang muncul dari imunisasi,” kata Hindra.
Baca juga : Jangan Abaikan Imunisasi Anak
Ajakan untuk segera melengkapi imunisasi pada anak perlu disampaikan secara terus-menerus. Setiap anak berhak atas kesehatan. Imunisasi telah terbukti dapat melindungi anak dari berbagai penyakit berbahaya.
Bersamaan dengan Pekan Imunisasi Sedunia 2022 ini, kesadaran akan pentingnya imunisasi diharapkan dapat meningkat. Tema global pada tahun ini adalah ”Long Life for All”, sementara tema yang diangkat di tingkat nasional ”Sehatkan Keluarga, Lewati Pandemi dengan Imunisasi Lengkap”. Diperlukan kerja keras dan kerja bersama untuk memastikan setiap anak di Indonesia dan anak di seluruh dunia terlindungi.