Pembentukan Pusat Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Penyakit ”Emerging” ASEAN Disetujui
Pertemuan Menteri Kesehatan se-ASEAN ke-15 menyepakati pembentukan Pusat Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Penyakit Emerging ASEAN. Ini menjadi pusat kerja sama ASEAN dalam menghadapi potensi pandemi di masa depan.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Sejumlah menteri kesehatan dari negara di Asia Tenggara sepakat membentuk Pusat Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Penyakit Emerging di tingkat ASEAN. Pusat kedaruratan kesehatan ini diharapkan dapat memperkuat pertahanan negara-negara ASEAN terhadap potensi pandemi di masa depan.
Kesepakatan pembentukan Pusat Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Penyakit Emerging ASEAN (ACPHEED) merupakan salah satu hasil dari pertemuan ke-15 menteri kesehatan ASEAN (AHMM) yang diselenggarakan di Nusa Dua, Bali. Acara yang berlangsung 11-15 Mei 2022 ini dihadiri oleh sejumlah menteri kesehatan dan pejabat senior di sembilan negara anggota ASEAN serta perwakilan dari Kementerian Kesehatan Jepang dan Amerika Serikat.
”Salah satu yang kita setujui, yakni membentuk ASEAN Centre of Public Health Emergency and Emerging Disease. Ini akan menjadi pusat kerja sama ASEAN untuk menghadapi potensi outbreak (kejadian luar biasa) ataupun pandemi ke depannya,” kata Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers AHMM di Nusa Dua, Bali, Sabtu (14/5/2022).
Ia mengatakan, ada tiga pilar yang akan menjadi fokus dalam pusat kedaruratan kesehatan tersebut, yakni preventif, deteksi, dan respons. Itu termasuk pada upaya surveilans, pengobatan, dan manajemen risiko.
Untuk sementara, sudah ada tiga negara yang berkomitmen menjadi kantor pusat untuk mendukung hal tersebut, yaitu Indonesia, Thailand, dan Vietnam. Kantor pusat yang berada di tiga negara tersebut nantinya dapat digunakan oleh seluruh negara anggota ASEAN untuk memperkuat penanganan kedaruratan kesehatan masyarakat dan penyakit emerging di wilayah ASEAN.
”Semangat ASEAN itu kan semangat kebersamaan. Selain itu, secara wilayah ASEAN ini juga perlu dilihat sebagai satu kawasan epidemiologis yang sama sehingga penanganan yang dilakukan perlu diharmonisasikan semua,” tutur Budi.
Ia mencontohkan, harmonisasi yang dilakukan seperti aturan terkait protokol kesehatan. Dalam pengendalian pandemi Covid-19, setiap negara di ASEAN memiliki aturan protokol kesehatan yang berbeda-beda. Padahal, secara epidemiologis kondisi yang dialami cukup serupa. Mobilitasi masyarakat antarnegara pun tidak terbatas.
Salah satu yang kita setujui, yakni membentuk ASEAN Centre of Public Health Emergency and Emerging Disease. Ini akan menjadi pusat kerja sama ASEAN untuk menghadapi potensi outbreak pandemi ke depannya.
Oleh sebab itu, aturan-aturan terkait penanganan kedaruratan kesehatan masyarakat seperti itu akan disinergikan. ”Menurut rencana, penandatanganan kesepakatan pembentukan itu (ACPHEED) akan dilakukan pada September (2022). Indonesia akan mulai bersiap, seperti (penyediaan) gedung, pendanaan, juga SDM-nya,” tuturnya.
Paspor kesehatan
Budi menambahkan, selain pembentukan ACPHEED, pertemuan menteri kesehatan se-ASEAN juga akan menyepakati standar protokol kesehatan. Standar ini juga yang menjadi salah satu pembahasan dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.
”Jadi, supaya (aplikasi) Pedulilindungi yang kita punya atau Trace Together milik Singapura itu bisa terkoneksi satu sama lain. Jika secara legal proses imigrasi menggunakan paspor, di sektor kesehatan kita juga akan membuat yang sama,” katanya.
Budi menuturkan, standar protokol kesehatan tersebut, antara lain, terkait sertifikasi vaksinasi. Sertifikasi vaksinasi yang diterbitkan oleh setiap negara nantinya akan distandardisasi berbasis teknologi dengan menggunakan kode QR. Kode ini akan mengikuti standar yang sudah ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Secara terpisah, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan Kunta Wibawa Dasa Nugraha menyampaikan harapan kepada WHO untuk mendukung transformasi bidang kesehatan yang akan dilakukan oleh Kementerian Kesehatan. Setidaknya ada enam pilar transformasi kesehatan, meliputi transformasi layanan kesehatan primer, layanan kesehatan sekunder, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, SDM kesehatan, dan transformasi teknologi kesehatan.
”Kerja sama dengan WHO perlu difokuskan untuk mendukung kegiatan-kegiatan yang bersifat strategis untuk implementasi pilar transformasi bidang kesehatan dengan akuntabilitas yang baik,” kata Kunta di tengah acara penandatanganan kerja sama hibah bidang kesehatan untuk Grant Agreement Biennium 2022-2023 di Bali, Sabtu.
Grant Agreement Biennium 2022-2023 merupakan dokumen kerja sama hibah yang menjadi rujukan program pendanaan dari WHO. Kerja sama ini bertujuan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam Rencana Kerja Bersama Kemenkes dengan WHO Indonesia untuk mendukung implementasi WHO 13th General Programme of Work, RPJMN 2020–2024, dan pilar-pilar transformasi Kemenkes Indonesia.
WHO Representative untuk Indonesia Paranietharan menuturkan, pilar transformasi kesehatan yang diusung oleh Indonesia sesuai dengan tujuan utama yang ditetapkan oleh WHO. Kerja sama yang telah berlangsung pun diharapkan tetap berjalan, bahkan bisa meningkat, baik dari segi program maupun pembiayaan.
”Kami juga harap Indonesia bisa menjadi bagian dari hub global dalam pembuatan vaksin dan mudah-mudahan ini bisa dilakukan pada beberapa tahun ke depan sehingga Indonesia bisa mulai memproduksi dan memasok vaksin dan obat-obatan terkait Covid-19 ke seluruh dunia,” katanya.