Tim peneliti UGM melakukan penelitian untuk mendeteksi virus SARS-CoV-2 di dalam air limbah. Penelitian yang baru pertama dilakukan di Indonesia itu diharapkan bisa menjadi sistem peringatan dini penularan Covid-19.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Tiga lelaki menuruni anak tangga di kompleks Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (6/4/2022) pagi. Mereka menuju ke tempat masuknya air limbah yang akan diolah di IPAL Sewon. Di tempat itu, mereka mengambil alat passive sampler yang berisi sampel air limbah.
Alat passive sampler itu kemudian dibungkus kantong plastik dan dimasukkan ke dalam boks pendingin. Setelah itu, alat tersebut dibawa ke laboratorium di Universitas Gadjah Mada (UGM). Dari sampel air limbah itu, para peneliti akan melakukan pemeriksaan untuk mengetahui keberadaan virus SARS-CoV-2 di dalamnya.
Proses itu merupakan bagian dari penelitian ”Surveilans SARS-CoV-2 dan Patogen Enterik Menggunakan Sampel Air Limbah dan Lingkungan di Indonesia (SARS-CoV-2 and Enteric Pathogen Surveillance using Wastewater and Environmental Sampling in Indonesia/SWESP)” yang dilakukan sejumlah peneliti di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) UGM.
Dalam penelitian SWESP, para peneliti FKKMK UGM bekerja sama dengan Murdoch Children’s Research Institute (MCRI), University of Melbourne, dan Monash University. Penelitian itu juga mendapat bantuan dana dari Global Innovation Fund (GIF) dan Program for Appropriate Technology in Health (PATH).
Peneliti Utama SWESP, Indah Kartika Murni, menjelaskan, penelitian itu bertujuan untuk melakukan uji coba deteksi kasus Covid-19 dengan menggunakan sampel air limbah. Dia menyebut, selama ini sudah banyak penelitian di sejumlah negara yang menggunakan air limbah untuk mendeteksi penyakit tertentu.
”Deteksi virus atau zat-zat tertentu di air limbah itu sudah dilakukan sejak dulu, misalnya untuk mendeteksi penyakit polio, tipes, penggunaan antibiotik yang tidak baik, dan penggunaan obat terlarang. Ini sudah diketahui dari dulu,” ujar Indah yang juga merupakan dosen Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKKMK UGM, Selasa (5/4/2022).
Tidak menunjuk siapa individu yang positif, tapi memetakan di lokasi mana transmisi atau penularan itu. (Vicka Octaria)
Saat pandemi Covid-19, peneliti dari beberapa negara juga mulai melakukan riset untuk mendeteksi kasus Covid-19 dari air limbah. Menurut Indah, saat orang terinfeksi virus SARS-CoV-2 yang menyebabkan Covid-19, virus itu akan ikut dikeluarkan ketika buang air besar dan buang air kecil. Oleh karena itu, virus tersebut bisa dideteksi dari air limbah yang berisi kotoran hasil buang air besar dan buang air kecil.
Indah menyatakan, deteksi Covid-19 dengan air limbah itu penting untuk memperkuat surveilans atau pemantauan kasus Covid-19 di suatu komunitas. Penguatan surveilans itu penting karena proses tracing atau pelacakan kasus Covid-19 masih kerap menghadapi kendala. Hal ini karena banyak orang terinfeksi Covid-19 yang tidak mengalami gejala apa-apa atau hanya mengalami gejala ringan.
Sebagian orang tanpa gejala atau dengan gejala ringan itu tidak memeriksakan diri dan tidak menjalani tes, baik tes reaksi berantai polimerase (PCR) maupun tes antigen, sehingga tidak menyadari telah terinfeksi Covid-19. Oleh karena itu, mereka tetap beraktivitas seperti biasa sehingga berpotensi menularkan Covid-19 ke orang-orang lain.
”Kalau kita menunggu orang-orang melakukan tes PCR, mungkin tidak bisa menggambarkan kejadian Covid-19 yang sesungguhnya di komunitas. Kalau menggunakan metode surveilans air limbah ini, orang-orang yang terinfeksi walau tidak bergejala bisa terdeteksi,” ujar Indah.
Indah menyebut, penelitian untuk mendeteksi Covid-19 dari air limbah itu sudah dilakukan di sejumlah negara, misalnya Amerika Serikat, Australia, Belanda, India, dan Jepang. Dia menuturkan, deteksi Covid-19 dari air limbah itu juga telah direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terutama di negara-negara dengan pendapatan menengah dan rendah.
”Kalau di Indonesia, penelitian semacam ini baru pertama kali dilakukan,” ujar Indah. Dia memaparkan, timnya melakukan penelitian SWESP di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sejak Juli 2021 dan direncanakan hingga Juni 2022. Pengambilan sampel air limbah untuk penelitian itu dilakukan di tiga kabupaten/kota di DIY, yakni Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kota Yogyakarta.
Salah satu lokasi pengambilan sampel itu adalah IPAL Sewon yang merupakan instalasi pengolahan terpusat untuk air limbah rumah tangga yang berasal dari wilayah Bantul, Sleman, dan Kota Yogyakarta. Para peneliti juga mengambil sampel dari gorong-gorong serta IPAL komunal yang dikelola warga.
”Kami juga mengambil sampel dari tempat-tempat yang kami perkirakan banyak orang berkumpul, misalnya masjid, sekolah, apartemen, kantor, pasar, dan beberapa tempat lain,” ujar Indah. Lokasi pengambilan sampel itu tersebar di 6 kecamatan di Kota Yogyakarta, 2 kecamatan di Sleman, dan 2 kecamatan di Bantul.
Peneliti Utama SWESP, Vicka Oktaria, menuturkan, sampel air limbah yang telah diambil itu kemudian dilakukan penyaringan. Setelah itu, sampel tersebut dilakukan pemeriksaan PCR di laboratorium. Dari hasil pemeriksaan itu, bisa diketahui apakah sampel tersebut positif mengandung virus SARS-CoV-2 atau tidak.
Apabila pemeriksaan sampel itu menunjukkan hasil positif, berarti ada penularan Covid-19 di wilayah tempat sampel tersebut diambil. Namun, pemeriksaan sampel dari air limbah itu tidak bisa mengidentifikasi orang tertentu yang terinfeksi Covid-19.
”Ini lebih ke pemetaan. Jadi, tidak menunjuk siapa individu yang positif, tapi memetakan di lokasi mana transmisi atau penularan itu,” ujar Vicka yang merupakan dosen Departemen Biostatistik, Epidemiologi, dan Kesehatan Populasi FKKMK UGM.
Korelasi
Menurut Indah, hasil penelitian SWESP di DIY menunjukkan korelasi positif dengan jumlah kasus Covid-19 yang diumumkan pemerintah. Dia mencontohkan, saat jumlah kasus Covid-19 melonjak akibat varian Delta, positivity rate dari pemeriksaan sampel air limbah juga menunjukkan angka yang tinggi. Positivity rate merupakan persentase jumlah sampel yang dinyatakan positif dari total sampel diperiksa.
Setelah puncak gelombang Delta berlalu dan kasus Covid-19 yang diumumkan pemerintah menurun, positivity rate sampel air limbah yang diperiksa tim SWESP juga rendah. Namun, saat kasus Covid-19 kembali naik akibat varian Omicron, positivity rate pemeriksaan sampel air limbah juga menunjukkan kenaikan.
Dari hasil penelitian itu, Indah menyebut, metode deteksi Covid-19 dari air limbah itu diharapkan bisa menjadi alternatif peringatan dini munculnya kasus Covid-19 di suatu wilayah atau komunitas. Sebab, dengan metode tersebut, kasus Covid-19 di wilayah tertentu bisa lebih cepat diketahui dibandingkan dengan harus menunggu tes individual.
Penasihat Riset SWESP, Ida Safitri Laksanawati, mengatakan, ke depan, penelitian itu diharapkan bisa dilakukan juga di wilayah lain. Selain itu, hasil penelitian tersebut juga diharapkan bisa menjadi salah satu bahan untuk mengambil kebijakan terkait penanganan pandemi. Oleh karena itu, tim SWESP telah menjalin komunikasi dengan pemerintah, baik di level pusat maupun daerah.
”Mudah-mudahan bisa diaplikasikan di tempat lain, seperti di Jakarta yang sistem IPAL-nya sudah lebih bagus,” ujar Ida yang juga Ketua Pusat Kajian Kesehatan Anak FKKMK UGM.