Alih Teknologi Vaksin mRNA untuk Kesetaraan Akses Vaksin Covid-19
Indonesia telah terpilih sebagai salah satu negara penerima alih teknologi vaksin berbasis mRNA. Alih teknologi ini diharapkan tidak saja meningkatkan akses terhadap vaksin Covid-19, tetapi juga penyakit lain.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Organisasi Kesehatan Dunia telah memilih Indonesia sebagai salah satu negara yang menerima alih teknologi vaksin berbasis messenger RNA (mRNA). Dengan begitu, Indonesia diharapkan dapat mendukung peningkatan produksi vaksin, khususnya di negara berpenghasilan menengah dan rendah.
Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi di Jakarta, Kamis (24/2/2022), mengatakan, alih teknologi vaksin mRNA yang diterima oleh Indonesia akan mendukung pemerataan vaksinasi di seluruh dunia. Alih teknologi ini secara khusus diterima oleh PT Bio Farma.
”Dengan alih teknologi ini tentunya Indonesia juga akan menjadi salah satu hub (pusat) untuk pemenuhan vaksinasi, terutama di level Asia-Pasifik,” ujarnya.
Untuk mendukung hal itu, Nadia mengatakan, peningkatan produksi akan dilakukan. Selain peningkatan produksi di PT Bio Farma, perluasan produksi akan dilakukan bekerja sama dengan pihak lain.
Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir dalam siaran pers mengatakan, saat ini Bio Farma merupakan produsen vaksin terbesar di Asia Tenggara yang memiliki kapasitas produksi vaksin lebih dari 3,2 miliar dosis per tahun. Bio Farma juga telah memproduksi 14 jenis vaksin yang telah diekspor ke 150 negara.
”Kepercayaan dari WHO ini hanya permulaan. Ini juga bagian dari program transformasi besar-besaran yang kami lakukan di holding BUMN farmasi. Tujuan transformasi holding farmasi salah satunya untuk menyediakan produk dan layanan kesehatan bermutu tinggi terintegrasi, terjangkau, dan fokus pada pelanggan,” katanya.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, alih teknologi ini juga menjadi salah satu jalan untuk memastikan kesetaraan akses vaksin dan obat-obatan bagi semua negara, terutama negara berpenghasilan menengah dan rendah. Selain alih teknologi, ini juga dapat mendorong kepastian ketersediaan pasokan vaksin global.
Dengan alih teknologi ini, tentunya Indonesia juga akan menjadi salah satu hub (pusat) untuk pemenuhan vaksinasi, terutama di level Asia-Pasifik.
”Transfer teknologi ini merupakan langkah awal dari berbagai langkah lain yang akan terus dilakukan pemerintah untuk membangun sistem ketahanan kesehatan yang lebih kuat,” ujarnya.
Selain Indonesia, sejumlah negara lain juga menerima alih teknologi mRNA, antara lain Mesir, Kenya, Nigeria, Tunisia, Afrika Selatan, Serbia, Argentina, Brasil, Bangladesh, Pakistan, dan Vietnam. Sementara itu, negara pendukung pusat pelatihan alih teknologi yang dipilih adalah Korea Selatan.
Retno menyampaikan, alih teknologi mRNA ini tak hanya berguna untuk meningkatkan akses terhadap vaksin Covid-19, tetapi juga penyakit lain, seperti malaria, tuberkulosis, dan kanker. Karena itu, kemampuan Indonesia dalam pengembangan teknologi mRNA diharapkan membantu kebutuhan domestik ataupun kawasan atas vaksin berbasis mRNA serta pengembangan dan pembuatan obat terapi.
”Alih teknologi ini akan berkontribusi dalam memastikan akses setara terhadap obat-obatan agar kita dapat pulih bersama dan pulih menjadi lebih kuat. Kita benar-benar berharap kerja sama ini akan dapat mempersempit kesenjangan, termasuk kesenjangan vaksin,” ucapnya.
Teknologi mRNA merupakan teknologi termutakhir untuk mengembangkan vaksin dalam waktu paling singkat. Sebagai penerima alih teknologi, Indonesia akan mendapatkan pelatihan teknis untuk skala industri, tata cara pengembangan vaksin dalam skala laboratorium/klinis, teknik pengawasan kualitas, serta lisensi yang terkait.
Cakupan vaksinasi
Secara terpisah, Juru Bicara Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito mengatakan, cakupan vaksinasi di Indonesia sudah cukup tinggi. Kementerian Kesehatan melaporkan total penduduk yang sudah divaksin dosis pertama sebanyak 190 juta orang atau 91 persen dari total sasaran vaksinasi. Sementara cakupan vaksinasi dosis kedua 142 juta orang atau 68,4 persen dari sasaran imunisasi.
”Dengan cakupan vaksinasi dosis pertama yang cukup tinggi perlu ada keberlanjutan vaksinasi dosis penuh yang dapat mengoptimalisasi perlindungan tubuh dari penularan virus ataupun risiko gejala berat dan kritis. Diharapkan, populasi berisiko, seperti lansia dapat menerima vaksinasi terlebih dulu,” ujarnya.
Ia pun mengimbau agar masyarakat yang belum mendapatkan vaksinasi lengkap bisa segera menerima vaksinasi. Sekalipun sudah pernah tertular Covid-19 yang juga dapat memunculkan respons kekebalan tubuh, vaksinasi tetap dibutuhkan karena risiko penularan masih bisa terjadi. Risiko gejala parah dan kematian masih bisa terjadi, terutama pada kelompok rentan.