Terbitkan Aturan Pelaksana Baru Sektor Agraria, Pemerintah Dinilai Langgar Putusan MK
Pemerintah menerbitkan peraturan dan keputusan presiden baru turunan UU Cipta Kerja. Padahal, Mahkamah Konstitusi memutuskan pemerintah dilarang menerbitkan aturan pelaksana baru selama proses perbaikan UU Cipta Kerja.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dipandang masih terus melanggar amar putusan Mahkamakah Konstitusi tentang Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan inkonstitusional bersyarat. Salah satu sikap pelanggaran ketentuan ini ditunjukkan melalui penerbitan aturan pelaksana baru di sektor agraria.
Guru Besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada Maria SW Sumardjono dalam diskusi daring, Rabu (23/2/2022), menyampaikan, saat ini pemerintah masih menganggap dan bertindak seolah-olah UU Cipta Kerja masih berlaku. Sebab, tidak ada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan untuk membatalkan pasal dalam UU Cipta Kerja.
Selama ini, pemerintah selalu melihat bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggat selama dua tahun. Padahal, frasa ”masih berlaku” dalam putusan MK tersebut merujuk pada pemberlakuan secara formal sebagai suatu UU yang disahkan dan diundangkan dalam lembaran negara.
”Putusan berbunyi seperti ini karena MK memang tidak berwenang membatalkan undang-undang. MK hanya menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Pemerintah seharusnya tidak membaca amar putusan secara parsial, tetapi dipahami secara keseluruhan, termasuk pertimbangan dan semua uraian,” paparnya.
Pemerintah harus bersabar untuk memperbaiki UU Cipta Kerja karena menunggu UU PPP. Ini bertujuan agar setiap faktor strategis atau kluster dalam UU Cipta Kerja lebih jelas landasan hukumnya.
Maria merangkum sejumlah sikap pemerintah yang memandang bahwa UU Cipta Kerja masih tetap berlaku setelah MK memutuskan inkonstitusional bersyarat. Salah satu sikap tersebut ditunjukkan dari terbitnya Surat Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja tanggal 29 November 2021 yang menyebut bahwa UU tersebut beserta aturan turunannya tetap berlaku dan memastikan investasi tetap aman serta terjamin.
Dari sektor agraria, pemerintah juga tetap menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 113 Tahun 2021 tentang Struktur dan Penyelenggaraan Badan Bank Tanah pada 27 Desember 2021. Bahkan, pada 20 Januari 2022 diterbitkan juga Keputusan Presiden (Keppres) No 1/2022 tentang Satgas Penataan Penggunaan Lahan dan Penataan Investasi.
Perpres dan keppres yang diterbitkan setelah adanya putusan MK ini sangat jelas melanggar amar putusan butir 7. Amar putusan tersebut menyatakan agar pemerintah tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
”Perpres No 113/2021 harus diterbitkan untuk membuat struktur organisasi, lembaga, dan operasional Badan Bank Tanah. Jadi, perpres ini akan diterbitkan meski harus menabrak amar putusan MK poin 7. Kalau penerbitan perpres ini tidak diketahui publik, mungkin sekarang juga sudah ada lembaga Badan Bank Tanah,” kata Maria.
Menurut Maria, selama ini MK juga sudah menunjukkan sikap yang menunjukkan bahwa UU Cipta Kerja tidak berlaku selama masa perbaikan. Sikap ini ditunjukkan saat MK menolak permohonan uji materil UU Cipta Kerja pada 15 Desember 2021 terkait peleburan lembaga ilmu pengetahuan dan teknologi ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). MK menolak permohonan tersebut dengan alasan obyek pengujian dalam hal ini UU Cipta Kerja sudah hilang atau tidak ada.
Selain itu, pada 31 Januari 2022 MK juga menolak permohonan uji materil oleh Perhimpunan Dokter Hewan Indonesia (PDHI) terhadap Pasal 34 angka 16 Ayat (2) UU Cipta Kerja. MK kembali menegaskan bahwa selama masa perbaikan UU Cipta Kerja secara formil tidak sah berlaku. Sebab, dalam masa perbaikan itu tidak menutup kemungkinan ada perubahan atau perbaikan substansi dalam UU Cipta Kerja.
Hakim Mahkamah Konstitusi 2008-2013 Achmad Sodiki menegaskan bahwa secara umum UU dinyatakan tidak berlaku apabila sudah dinyatakan inkonstitusional bersyarat ataupun permanen oleh MK. Sebab, UU tersebut sudah tidak memiliki daya mengikat terhadap ketentuan lainnya. Hal ini juga membuat aturan turunan dari UU tersebut tidak berlaku.
Meski demikian, Achmad memandang perbaikan UU Cipta Kerja harus menunggu pengesahan revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Hal ini karena UU PPP menjadi landasan hukum yang memuat tata cara perbaikan perundang-undangan.
”Jadi, pemerintah harus bersabar untuk memperbaiki UU Cipta Kerja karena menunggu UU PPP. Ini bertujuan agar setiap faktor strategis atau kluster dalam UU Cipta Kerja lebih jelas landasan hukumnya,” tuturnya.
Partisipasi publik
Maria kembali menekankan bahwa pemerintah harus memperbaiki UU Cipta Kerja, baik secara formil maupun substansi, dengan benar-benar melibatkan partisipasi publik. Partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan yang bermakna merupakan keharusan mutlak sesuai pertimbangan MK.
”Pelibatan publik juga harus jelas, yakni pihak terdampak atau mereka yang fokus terhadap kebijakan yang sedang dirancang. Partisipasi publik yang bermakna itu harus memenuhi hak untuk didengarkan pendapatkan, dipertimbangkan, dan diberikan jawaban terhadap pandangannya,” paparnya.
Sebelumnya, dalam acara Kompas Collaboration Forum awal Februari lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa UU Cipta Kerja akan segera diperbaiki dan ditargetkan selesai sebelum puncak acara Konferensi Tingkat Tinggi G-20 pada November 2022. Proses perbaikan ini akan merujuk pada tata cara yang baru sesuai pengesahan revisi UU PPP.
Saat ini, pemerintah menyiapkan naskah akademik UU Cipta Kerja yang baru. Terkait arah revisi UU ini, Airlangga menjelaskan, ada empat isu yang sedang dikaji melalui kerja sama dengan beberapa universitas, yakni ketenagakerjaan, kehutanan, lingkungan, dan pertanahan atau agraria. (Kompas, 7/2/2022).