Isu ketenagakerjaan, kehutanan, lingkungan, dan pertanahan dalam UU Cipta Kerja masih menjadi sorotan publik. Oleh karena itu, revisi UU sapu jagat ini diharapkan jadi momentum perbaikan yang substansial.
JAKARTA, KOMPAS – Putusan Mahkamah Konstitusi terkait Undang-Undang Cipta Kerja patut dilihat sebagai kesempatan untuk melakukan reformasi struktural ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Undang-undang ini perlu direvisi secara substansial dengan melibatkan partisipasi publik yang bermakna untuk memperbaiki konten problematik di dalamnya.
Saat ini, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (PPP) sudah masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2022. Sebelum memperbaiki UU Cipta Kerja, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akan terlebih dahulu merevisi UU PPP.
Langkah itu diambil untuk menyikapi hasil putusan Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2021 yang menyatakan UU Cipta Kerja cacat formil dan inkonstitusional bersyarat. Pembuat UU pun diberi waktu dua tahun untuk memperbaiki UU Cipta Kerja. Jika dalam dua tahun tidak ada perbaikan, UU itu akan dinyatakan inkonstitusional permanen.
Dalam acara Kompas Collaboration Forum yang digelar Harian Kompas secara daring dan dihadiri para CEO sejumlah perusahaan yang bergabung dalam forum ini, Jumat (4/2/2022), Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, setelah revisi UU PPP disahkan, UU Cipta Kerja akan direvisi dengan merujuk pada tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan yang baru.
“Kami percaya revisi bisa selesai lebih cepat dari tenggat, yaitu sebelum puncak KTT G20 (pada November 2022),” ujar Airlangga.
Saat ini, pemerintah sedang menyiapkan naskah akademik UU Cipta Kerja yang baru. Terkait arah revisi UU Cipta Kerja, Airlangga mengatakan, ada empat isu yang sedang dikaji melalui kerja sama dengan beberapa universitas, yakni ketenagakerjaan, kehutanan, lingkungan, dan pertanahan (agraria). “Itu empat hal yang paling disoroti oleh publik,” katanya.
Kendati demikian, di sisi lain, Airlangga mengatakan, ada aspirasi dari pelaku usaha, khususnya investor asing, agar substansi UU Cipta Kerja tidak diubah. “Mereka dilebihkan tidak mau, dikurangi tidak mau, yang penting sama saja dan bisa dilaksanakan. Ini jadi catatan pemerintah untuk menangani UU tersebut,” katanya.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, penyelesaian revisi UU PPP akan dilakukan secepat mungkin. Revisi UU PPP dilakukan terbatas untuk memasukkan definisi, teori, dan penjelasan mengenai mekanisme pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law (sapu jagat).
Revisi UU PPP juga akan mengatur mengenai meaningful participation (partisipasi bermakna) seperti disoroti dalam putusan MK. Partisipasi bermakna itu harus mencakup tiga syarat, yaitu publik memiliki hak untuk didengarkan pendapatnya, dipertimbangkan pendapatnya, dan diberikan penjelasan sejauh mana pendapatnya diakomodir oleh pembentuk UU.
Terkait masih simpang siurnya kepastian arah revisi UU Cipta Kerja, Wakil Ketua Baleg DPR Ahmad Baidowi menambahkan, sejauh mana substansi UU Cipta Kerja akan diubah sepenuhnya tergantung pada hasil pembahasan oleh DPR dan pemerintah kelak. “Nanti itu tergantung pembahasan, apakah akan ada perubahan substansi atau tidak,” kata Baidowi.
Ketua Departemen Ekonomi Center for Strategic and International Studies (CSIS) Yose Rizal Damuri menilai, putusan MK dapat dijadikan kesempatan untuk membenahi reformasi struktural ekonomi. Perbaikan substansial dibutuhkan untuk menyesuaikan langkah transformasi ekonomi Indonesia agar lebih sesuai dengan prinsip pembangunan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berperspektif global (outward-looking).
Saat ini, sejumlah substansi di UU Cipta Kerja masih problematik karena justru dapat berdampak buruk pada kelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengidentifikasi berbagai elemen publik dan lembaga independen untuk menjaring pendapat dan memetakan arah revisi. “Stakeholder yang diajak pun harus berimbang, tidak bisa hanya satu pihak saja yang di-entertain,” katanya.
Spanduk penolakan kaum buruh terhadap rancangan UU Cipta Kerja menghiasi Jalan Irian, Jatiwangi, Cikarang Barat, Bekasi, Jawa Barat, Senin (25/5/2020).
Guru Besar Fakultas Hukum UGM Maria SW Sumardjono menyatakan, proses perbaikan substansi UU Cipta Kerja tidak bisa lagi dilakukan diam-diam. Pembuat UU wajib memberikan hak kepada publik untuk mengawal penyusunan ulang regulasi tersebut. Tidak sekadar formalitas, tetapi harus menjunjung partisipasi publik yang murni. “Ini pekerjaan rumah besar yang harus dikawal, tidak bisa hanya asal mengubah,” ujarnya.
Ini pekerjaan rumah besar yang harus dikawal, tidak bisa hanya asal mengubah.
Lebih khusus, revisi harus dilakukan untuk memperbaiki sejumlah substansi terkait sektor agraria, kehutanan, dan lingkungan yang masih jauh dari aspirasi publik. Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) harus mengoreksi substansi pertanahan di UU Cipta Kerja yang melanggar konsep dan asas-asas UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria (UUPA) yang masih berlaku sepenuhnya.
UU Cipta Kerja juga harus menegaskan aspek penjaminan hak asasi manusia (HAM), seperti pengakuan terhadap masyarakat hukum adat melalui surat keputusan kepala daerah. Rincian jenis ganti kerugian atas hak ulayat yang diperlukan untuk kepentingan umum serta besaran dan bentuk ganti kerugiannya juga perlu dituangkan dalam UU Cipta Kerja.
Senada, Sekretaris Jenderal Organisasi Pekerja Seluruh Indonesia Timboel Siregar menilai, untuk melakukan pemulihan ekonomi yang inklusif sebagaimana kini lantang disuarakan Indonesia lewat presidensi forum G-20, perbaikan substansi UU Cipta Kerja adalah keniscayaan. Sebab, alih-alih mendorong pemulihan inklusif, berbagai pasal ketenagakerjaan di UU tersebut justru dapat menekan kesejahteraan masyarakat pekerja.
Salah satu dampak yang kini dirasakan pekerja adalah kenaikan upah minimum tahun 2022 yang tertahan akibat sistem pengupahan baru di UU Cipta Kerja. Kebijakan upah yang rata-rata kenaikannya ada di bawah tingkat inflasi tahunan itu semakin menekan daya beli pekerja di tengah himpitan pandemi.
“Kita butuh investasi, tetapi jangan sampai dalam prosesnya itu justru menekan pekerja, yang sebenarnya termasuk stakeholder utama dalam dunia usaha,” katanya.
Tak terhindarkan
Dekan Fakultas Hukum Universitas Jember Bayu Dwi Anggono mengingatkan, sekalipun tidak gamblang menyebut revisi substansi UU Cipta Kerja, dalam putusannya, MK menekankan tentang pentingnya partisipasi bermakna dalam penyusunan UU Cipta Kerja.
Artinya, penyusunan UU tersebut harus dimulai lagi dari awal, sejak tahap penyusunan, penyerapan aspirasi publik, hingga pembahasan di DPR bersama pemerintah. Semua tahapan pembuatan UU itu harus memenuhi syarat partisipasi yang bermakna.
“Ini sama halnya menyusun UU baru dengan tahapan yang mengakomodir partisipasi yang bermakna. Soal substansinya berubah atau tidak, itu tergantung proses pembahasan. Namun, jika betul-betul menerapkan partisipasi bermakna, pasti akan ada masukan dari publik yang harus didengar dan dipertimbangkan, sehingga dapat pula mengubah substansi UU Cipta Kerja,” kata Bayu.