Jambi Buktikan Perhutanan Sosial Mampu Turunkan Laju Deforestasi
Program perhutanan sosial di Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau, Jambi, mampu berkontribusi dalam menurunkan laju deforestasi dan degradasi kawasan hutan. Dari hasil monitoring, nol deforestasi terjadi pada 2015-2018.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Skema perhutanan sosial terbukti mampu berkontribusi dalam menurunkan laju deforestasi dan degradasi kawasan hutan. Salah satu contoh penurunan deforestasi ini terjadi di Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau, Jambi.
Koordinator Program Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Riche Rahma Dewita, mengemukakan, selama ini KKI Warsi telah menjalankan program jasa lingkungan berbasis data karbon di Hutan Lindung Bukit Panjang Rantau (Bujang Raba), Jambi. Program ini diinisiasi untuk membuktikan dan menjadi media kampanye tentang skema perhutanan sosial yang mampu menurunkan laju deforestasi dan degradasi kawasan hutan.
”Kami mendiskusikan dengan masyarakat di mana wilayah pemanfaatan dan perlindungan. Kemudian hasil diskusi dibuat indikator bahwa wilayah perlindungan tidak akan disentuh. Pada wilayah perlindungan ini dibuat sampel dan dihitung stok karbonnya,” ujarnya dalam diskusi daring tentang pengelolaan karbon kehutanan, Selasa (15/2/2022).
Kami bersama komunitas dampingan selalu mendiskusikan seperti apa pemanfaatan pohon tanpa harus menghilangkan populasi di hutan tersebut.
Hasil penghitungan menunjukkan, stok karbon di wilayah perlindungan seluas 5.336 hektar tersebut sebesar 287 ton per hektar. Adapun target penurunan emisi yang ditentukan sebesar 75 persen dengan luas 199 hektar sekaligus menurunkan laju deforestasi.
Guna mencapai target ini, dilakukan sejumlah intervensi proyek mulai dari tata ruang mikro, perlindungan hutan, rehabilitasi lahan, hingga peningkatan kapasitas kelembagaan. Sementara beberapa kegiatan yang dilakukan, yakni pemetaan batas dan ruang desa, patroli hutan partisipatif, perbaikan ekologi, serta pengembangan komoditi bertingkat.
”Capaian pasca-intervensi proyek dan dari hasil monitoring yang dilakukan dari 2015 hingga 2018 sebenarnya terjadi zero deforestation. Namun, pada 2019 terjadi kebakaran dan ini yang membuat capaian nol deforestasi turun, tetapi kembali melandai pada 2020,” katanya.
Selain itu, KKI Warsi bersama dengan berbagai pihak termasuk pemerintah daerah juga mengupayakan pembentukan perhutanan sosial hingga 265.259 hektar di lima provinsi yang menjadi prioritas kerja. Rincian capaian perhutanan sosial tersebut, yakni Sumatera Barat (91.594 hektar), Jambi (89.412 hektar), Kalimantan Utara (39.797 hektar), Kalimantan Timur (36.810 hektar), dan Bengkulu (7.646 hektar).
Riche menyatakan, pemanfaatan jasa lingkungan sangat penting diterapkan karena mayoritas masyarakat dampingan KKI Warsi di wilayah hulu telah melindungi dan mengelola hutan sesuai dengan nilai-nilai lokal. Di sisi lain, wilayah hulu merupakan kawasan hutan yang tersisa di Indonesia dengan keanekaragaman hayati tinggi.
”Ada banyak potensi di dalam kawasan hutan yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Oleh karena itu, kami bersama komunitas dampingan selalu mendiskusikan seperti apa pemanfaatan pohon tanpa harus menghilangkan populasi di hutan tersebut,” katanya.
Salah satu kegiatan kolaborasi yang dilakukan untuk menyelamatkan hutan alam adalah dengan program pohon asuh. Program ini menerapkan skema donasi yang bersifat sukarela. Sebanyak 70 persen alokasi donasi digunakan untuk pembangunan desa dan dana sosial lainnya. Adapun 30 persen lainnya untuk perlindungan hutan dan penanda pohon asuh.
Sejumlah wilayah untuk lokasi pohon asuh antara lain Hutan Nagari Pondok Parian Lunang (Sumbar), Hutan Nagari Sumpur Kudus (Sumbar), Hutan Adat Guguk (Jambi), Hutan Adat Rantau Kermas (Jambi), dan Hutan Kemasyarakatan Air Tenam (Bengkulu). Melalui program sejak 2014-2021 ini, sebanyak 1.876 pohon asuh telah diadopsi dengan total dana terkumpul mencapai Rp 375 juta.
”Pengembangan inisiatif pohon asuh ini sangat potensial untuk areal perhutanan sosial. Pihak yang sudah langsung berinisiatif untuk mengembangkan pohon asuh pada areal perhutanan sosial ini ada KPHL (Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung) Sijunjung di Sumatera Barat,” tuturnya.
Dukungan daerah
Kepala Dinas Kehutanan Sumatera Barat Yozarwardi menyatakan, Pemerintah Provinsi Sumbar telah memberikan dukungan dan fokus terhadap upaya penurunan emisi dari sektor kehutanan. Hal ini ditunjukkan dengan keluarnya Peraturan Gubernur Sumbar Nomor 45 Tahun 2013 tentang Strategi dan Rencana Aksi Provinsi untuk Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan Plus (SRAP-REDD+).
Selain itu, inisiasi yang telah dilakukan Sumbar ialah membangun peta ukur permanen dan pemanfaatan karbon di areal perhutanan sosial sekaligus bekerja sama dengan organisasi nonpemerintah. Pemanfaatan karbon ini dilakukan melalui imbal jasa lingkungan dan skema pembiayaan pembangunan rendah karbon.
Peneliti Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Joko Tri Haryanto mengatakan, BKF mendorong setiap daerah untuk membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup Daerah (BPDLHD) guna mengatasi kendala anggaran perubahan iklim maupun agenda penurunan emisi lainnya. Sebab, BPDLHD memiliki fungsi untuk mengumpulkan, memupuk, dan menyalurkan dana.
”BPDLHD tugasnya adalah membesarkan dana terkait dengan konservasi dan bisa dibuat divisi. Anggaran yang terkumpul nantinya dibuat dana abadi dan pengelolaan operasional. Harapannya, kegiatan konservasi bisa mengarah pada revenue generating(proyek yang menghasilkan penerimaan),” ucapnya.