Dukungan Pemerintah Daerah Sukseskan Perhutanan Sosial
Perhutanan sosial diharapkan menjadi solusi untuk mengimbangi kebutuhan ekonomi masyarakat dengan kepentingan dalam keberlanjutan lingkungan. Komitmen bersama diperlukan agar manfaat yang didapatkan bisa lebih optimal.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Keterlibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sosial tidak hanya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga meningkatkan upaya pelestarian hutan. Dukungan regulasi dari pemerintah daerah pun diperlukan agar tujuan perhutanan sosial bisa lebih optimal.
Peneliti Article 33 Indonesia, Syofia Agustini, menyampaikan, program perhutanan sosial yang sudah berjalan di sejumlah daerah berhasil menekan potensi kerusakan hutan. Kesejahteraan masyarakat setempat juga semakin meningkat dari adanya program ini.
”Pemberian akses secara legal kepada masyarakat untuk mengelola hutan telah meningkatkan sumber penghasilan serta sumber alternatif penghidupan bagi masyarakat. Ini juga menjadi solusi untuk mengimbangi kebutuhan ekonomi dengan kebutuhan ekologis agar hutan tetap terpelihara dan terjaga baik,” katanya dalam diskusi terkait pemaparan buku hasil kerja peneliti Article 33 Indonesia berjudul Melestarikan Hutan, Menyejahterakan Masyarakat, di Jakarta, Kamis (9/9/2021).
Buku tersebut berisi hasil penelitian mengenai pelaksanaan perhutanan sosial di tiga kabupaten, yakni Hutan Desa Campaga dan Hutan Desa Labbo di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan; Hutan Adat Marena dan Hutan Adat Orong, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan; serta Komunitas Adat Saga di Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur.
Syofia menyampaikan, bentuk pengembangan ekonomi lokal berbasis hutan sosial yang dilakukan antara lain dengan membuka ekowisata, seperti tempat permandian dari sumber mata air serta wisata air terjun. Pembukaan ekowisata ini juga menumbuhkan usaha ekonomi masyarakat setempat melalui penjualan oleh-oleh, air kemasan, dan kopi. Selain itu, masyarakat juga bisa memanfaatkan hasil hutan nonkayu, seperti budidaya lebah madu dan pengambilan buah kemiri.
”Kerberhasilan warga dalam mengelola hutan sosial tidak terlepas dari dukungan regulasi pemerintah daerah. Di daerah Bantaeng, misalnya, peraturan bupati tentang bumdes (badan usaha milik desa) diterbitkan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat melalui jalur kelembagaan masyarakat,” tuturnya.
Dukungan regulasi lain, lanjut Syofia, juga terkait fasilitas anggaran dana desa serta monitor dan evaluasi yang mendukung program perhutanan sosial. Kepastian hukum dari pemerintah juga turut menciptakan rasa aman dan kepastian warga dalam mengelola hutan.
Kerberhasilan warga dalam mengelola hutan sosial tidak terlepas dari dukungan regulasi pemerintah daerah. Di daerah Bantaeng, misalnya, peraturan bupati tentang bumdes diterbitkan untuk mengembangkan perekonomian masyarakat melalui jalur kelembagaan masyarakat.
Asisten I Sekretaris Daerah Kabupaten Enrekang Hamsir menyampaikan, penerbitan peraturan daerah semakin memperkuat peran serta masyarakat dalam pengelolaan hutan. Sebelum ada aturan, masyarakat adat yang tinggal di sekitar kawasan hutan belum menjadi perhatian pemerintah.
Namun, setelah aturan diterbitkan, terutama melalui peraturan daerah dan surat keputusan bupati, masyarakat lebih diakui dalam pengelolaan hutan. Pendampingan dan pembinaan juga diberikan secara berkala untuk meningkatkan kapasitas dan keadilan bagi masyarakat hukum adat.
”Sosialisasi juga terus dilakukan mengenai bagaimana cara mengelola dan memanfaatkan hutan. Jadi hutan tetap lestari di saat kesejahteraan masyarakat juga meningkat dari keberadaan hutan tersebut,” kata Hamsir.
Peneliti Article 33 Indonesia, Agus Pratiwi, menambahkan, regulasi terkait perhutanan sosial juga sebaiknya turut meningkatkan peran perempuan dalam pelestarian dan pemanfaatan hutan. Regulasi yang ada saat ini belum memberikan kebijakan afirmatif agar perempuan dapat berpartisipasi dalam pengelolaan hutan.
Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Nomor 9 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial telah memberikan kebijakan afirmatif melalui kriteria dan indikator pelaksanaan pengelolaan perhutanan sosial. Indikator tersebut, antara lain, mengatur keterwakilan perempuan dalam kelompok perhutanan sosial (KPS) dan kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS).
”Perlu kegiatan lanjutan untuk memperkuat KPS dan KUPS, khususnya dalam mengimplementasikan pengarusutamaan jender dan merespons isu-isu dasar perempuan komunitas hutan sosial, termasuk melalui penyusunan RKPS (rencana kelola perhutanan sosial),” tutur Pratiwi.