Paradigma pengelolaan perhutanan sosial perlu dikembangkan hingga hilir sehingga memperoleh nilai tambah. Selama ini, petani hanya mengelola hutan dengan cara konvensional.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Paradigma kelompok usaha perhutanan sosial yang masih menggunakan pola-pola konvensional menyebabkan mereka kurang mendapatkan nilai tambah dalam kegiatan usahanya. Pengelolaan usaha ini perlu dikembangkan dengan meningkatkan pendampingan dan pendanaan modal.
Direktur Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Jo Kumala Dewi mengemukakan, implementasi kebijakan perhutanan sosial yang telah berjalan selama lima tahun memiliki banyak tantangan dan dinamika. Salah satu dinamika tersebut adalah mengubah paradigma kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS), khususnya para petani, dalam mengelola usahanya.
”Paradigma para petani perlu sekali didorong untuk berkembang dan berubah. Perubahan ini tidak hanya sekadar kegiatan konvensional, seperti menanam bibit, memanen, dan menjual. Akan tetapi, petani harus bisa mendapatkan nilai tambah,” ujarnya dalam acara seminar perhutanan sosial di Jakarta, Selasa (25/1/2022).
Pengelolaan perhutanan sosial dapat menjadi salah arah apabila tidak mendapatkan pendampingan dari lembaga atau organisasi lokal.
Menurut Jo, pemerintah harus benar-benar mengubah pola pikir petani untuk mengembangkan bisnis perhutanan sosial yang lebih profesional. Sementara selama ini, petani hanya mengelola hutan dengan pola tanam, panen, dan jual. Hal inilah yang dipandang membuat petani kurang mendapat nilai tambah di setiap kegiatan usahanya.
Salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi dinamika ini adalah dengan memberikan pendampingan terhadap KUPS. Proses pendampingan bertujuan untuk meningkatkan kapasitas dan keahlian sumber daya manusia.
Walakin, Jo mengakui bahwa pendamping yang disediakan pemerintah belum memenuhi target. Oleh karena itu, pendamping juga harus bisa mencari mitra agar KUPS bisa mengelola hutan secara baik dan mencapai hutan lestari serta kesejahteraan masyarakat.
Selain itu, aspek pendanaan atau modal juga dinilai Jo memegang peran penting dalam mengembangkan kelompok perhutanan sosial. Di sisi lain, para petani juga harus memiliki kemampuan mengakses pasar, khususnya pada era teknologi digital saat ini. Petani yang mayoritas berusia di atas 40 tahun harus bisa menggunakan dan memanfaatkan teknologi untuk memasarkan produknya hingga ke luar negeri.
”Apabila dilihat dari contohnya, keberhasilan perhutanan sosial itu terjadi jika sudah ada mitra. Mitra ini perlu dibangun dan dibantu oleh semua pihak, tidak hanya pendamping,” katanya.
Ketua Lembaga Pengelola Hutan Desa (LPHD) Bantaeng, Sulawesi Selatan, Hasri mengatakan, proses pengelolaan perhutanan sosial dapat menjadi salah arah apabila tidak mendapatkan pendampingan dari lembaga atau organisasi lokal. Melalui pendampingan, saat ini para petani sudah mampu memanfaatkan teknologi dalam menjalankan kegiatan perhutanan sosial.
”Para petani sudah belajar menggunakan GPS (sistem pemosisi global). Jadi, petani ini melakukan pemetaan partisipatif untuk memetakan lahannya masing-masing sehingga proses pelacakannya menjadi lebih mudah untuk setiap keluarga,” tuturnya.
Sekretaris Eksekutif Nasional Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) Andri Santoso menambahkan, dalam implementasinya, pendampingan masyarakat perhutanan sosial juga memiliki kendala, seperti konflik tenurial dan akses serta aset yang terbatas. Sementara adanya berbagai visi yang berbeda-beda di masyarakat juga kerap menjadi tantangan tersendiri.
Meski demikian, kegiatan pendampingan perhutanan sosial diakui dapat menjadi salah satu resolusi konflik tenurial. Sebab, perhutanan sosial memberikan akses legal terhadap kawasan hutan. Areal perhutanan sosial tersebut juga menjadi aset masyarakat.
Festival kopi
Seminar perhutanan sosial tersebut merupakan bagian dari rangkaian acara Festival Pesona Kopi Agroforestry 2022. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya saat membuka acara tersebut menyampaikan, Festival Pesona Kopi Agroforestry dapat mendorong usaha perhutanan sosial ke hilir dalam ruang publik untuk hutan agroforestri sekaligus ruang pertemuan penjual dan pembeli.
Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan yang menempatkan Indonesia di peringkat keempat produsen kopi terbesar di dunia. Oleh karena itu, pengembangan kopi lestari dan berkelanjutan merupakan tuntutan untuk menyukseskan komoditas ini. Indonesia juga tercatat sebagai satu-satunya negara di dunia yang menerapkan pengembangan kopi di kawasan hutan dengan pola agroforestri.
”Agenda seperti ini sangat berarti bagi pengembangan perhutanan sosial kita. Sebab, dengan pendekatan pengelolaan hutan lanskap yang mencakup dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi, maka konsep hulu-hilir kelola hutan harus benar-benar teraktualisasi,” ucapnya.
Siti menyatakan, perlu upaya yang lebih besar agar luas areal perhutanan sosial dapat mencapai target 12,7 juta hektar. Ia pun berharap hingga 2024 diproyeksikan areal perhutanan sosial dapat mencapai lebih dari 8 juta hektar.
Program perhutanan sosial bertujuan untuk mengurangi kesenjangan dan memberikan keadilan kepada masyarakat setempat yang berada di sekitar atau di dalam kawasan hutan. Sampai saat ini, perhutanan sosial telah mencapai 4,9 juta hektar dan terbentuk 8.154 kelompok usaha yang sebagian besar mengelola kawasan hutan dengan pola agroforestri.