Kurang Pendampingan, Program Perhutanan Sosial Mangrove di Ogan Komering Ilir Tidak Optimal
Penerapan Program Perhutanan Sosial di kawasan hutan mangrove di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, belum optimal. Kawasan hutan masih rusak dan pendapatan masyarakat belum terdongkrak.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·4 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS — Penerapan Program Perhutanan Sosial di kawasan hutan mangrove di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, belum optimal. Kawasan hutan masih rusak dan pendapatan masyarakat belum terdongkrak. Kurangnya pendampingan dan pengawasan menjadi penyebabnya.
Hal ini mengemuka dalam Lokakarya Pengembangan Pengelolaan Pesisir Terpadu dan Mempromosikan Solusi Iklim Alami yang digelar secara virtual oleh Yayasan Konservasi Alam Nusantara, Senin (8/11/2021).
Dalam lokakarya itu, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Kesatuan Pengelolaan Hutan Wilayah IV Sungai Lumpur-Riding Sigit Purwanto mengakui, sejak diberikan izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan (IUPHkm) langsung oleh Presiden Joko Widodo pada 2017, pelaksanaannya di lapangan belum signifikan.
Izin usaha pemanfaatan hutan kemasyarakatan diberikan kepada Kelompok Tani Hutan (KTH) Selekan Indah dengan luasan lahan 123 hektar. Anggotanya mencapai 22 keluarga. Mereka bermukim di Desa Simpang Tiga Abadi, Kecamatan Tulung Selapan, Kabupaten Ogan Komering Ilir. Meski sudah mengantongi izin, kapasitas masyarakat pemegang izin terkait kelembagaan belum optimal.
Ditambah lagi kurangnya pendampingan dan juga tidak adanya pengawasan lantaran kurangnya personel. ”Terus terang dengan luas kawasan hutan mencapai 614.175 hektar, jumlah personel 22 orang tidaklah seimbang,” kata Sigit.
Situasi tersebut membuat pengelolaan dan pengawasan hutan mangrove di pesisir timur seluas 36.000 hektar tidak berjalan baik, begitu pun hasil tambaknya. Ia berharap ada pendampingan lebih lanjut dan skema yang tepat agar izin perhutanan sosial dapat berdampak baik bagi masyarakat setempat.
Skema yang dimaksud, misalnya, berupa mekanisme wanamina (silvofishery), yakni sistem pertambakan teknologi tradisional yang menggabungkan antara usaha perikanan dan penanaman mangrove.
Kepala Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Musi, Sulthani Aziz, juga memberikan masukan agar pelaksanaan program perhutanan sosial di kawasan pesisir timur Sumatera diawali dengan rehabilitasi. Menurut dia, rehabilitasi mangrove bisa diterapkan di kawasan bekas tambak ataupun tambak yang masih aktif.
Mangrove memiliki kemampuan alami untuk mengurangi dampak abrasi di kawasan pesisir dan menyerap racun atau mineral berbahaya yang terkandung dalam tambak itu sendiri. ”Pola pikir inilah yang perlu ditanamkan ke petambak agar tidak lagi ragu untuk merehabilitasi lahan tambak mereka dengan tanaman mangrove,” katanya.
Selain itu, pembentukan kelompok tani diminta lebih spesifik. Misalnya, pada kelompok tani hutan bisa dispesifikkan pada kelompok tani hutan mangrove. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kelompok tani dalam membuat rencana kerja usaha (RKU) dan rencana kerja tahunan (RKT).
Berdasarkan data, luasan tambak di Ogan Komering Ilir mencapai 49.246 hektar yang tersebar di tiga kecamatan, yakni Tulung Selapan (14.221 hektar), Sungai Menang (22.243 hektar), dan Cengal (12.600 hektar). Tambak itu ada di kawasan hutan lindung (30.486 hektar), areal penggunaan lain (13.153 hektar), dan hutan produksi (5.246 hektar).
Pemerintah daerah pun bisa turut tangan mendampingi warganya sehingga mereka yang ada di kawasan pesisir bisa hidup lebih sejahtera. Pemerintah daerah juga perlu merencanakan penguatan interkoneksi di daerah Tulung Selapan. Misalnya, memperbaiki akses jalan darat sehingga kawasan ini tidak lagi terisolasi.
”Dalam kondisi terbatas saja, hasil perikanan dari kawasan ini sudah bisa mengalir ke beberapa provinsi, seperti Bangka Belitung, Bengkulu, DKI Jakarta, dan Lampung. Apalagi ada akses jalan ke sana tentu bisa memperkuat sektor perikanan Sumsel,” ujar Aziz.
Pelaksana Tugas Direktur Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial Syafda Roswandi menegaskan, program perhutanan sosial memiliki tujuan pelestarian kawasan hutan dan kesejahteraan masyarakat setempat. ”Mereka yang mendapatkan izin adalah penduduk setempat yang berpenghasilan rendah,” tegasnya. Harapannya, dengan perhutanan sosial ini, kesejahteraan masyarakat bisa terdongkrak naik.
Khusus untuk mangrove, ujar Syafda, secara nasional luasan kawasan yang sudah masuk dalam program perhutanan sosial mencapai 115.113 hektar. Dari jumlah itu, 928 hektar di antaranya berada di Sumsel yang tersebar di wilayah Banyuasin dan Ogan Komering Ilir.
Menurut dia, jika pengelolaan dilakukan dengan benar, perbaikan kawasan hutan bisa diwujudkan. Situasi ini terjadi di Hutan Kemasyarakatan Juru Seberang, Kabupaten Belitung, di mana hutan mangrove yang dulunya kawasan tambang timah disulap menjadi sarana wisata dan edukasi yang mendatangkan pendapatan sekitar Rp 1 miliar per tahun.
Sekretaris Daerah Kabupaten Ogan Komering Ilir Husin memastikan komitmen pemerintah daerah untuk melestarikan hutan mangrove di kawasan pesisir timur Sumatera sangat besar. Hanya saja, menurut dia, pekerjaan ini tidak bisa dilakukan sendiri, butuh dukungan dari semua pihak. Komitmen tersebut dibuktikan dengan adanya penerapan kurikulum muatan lokal untuk siswa tingkat sekolah dasar dan sekolah menengah pertama tentang mangrove.
Tujuannya tidak lain agar masyarakat memiliki kesadaran untuk menjaga kelestarian mangrove sejak dini. ”Karena mangrove memiliki peran yang penting untuk mencegah abrasi, termasuk melindungi kabupaten ini dari beragam bencana,” ujar Husin.