Kerentanan Meningkat, Mitigasi Jalan di Tempat
Bencana yang berturut-turut di Indonesia dan menyisakan duka perlu menjadi pembelajaran berharga untuk memperkuat mitigasi. Perlindungan alam, penurunan emisi gas rumah kaca, serta pengaturan tata ruang di antaranya.
Tahun 2021 diawali banjir terbesar dalam sejarah Kalimantan Selatan dan ditutup dengan dua bulan banjir yang merendam Kabupaten Sintang, Kalimantam Barat. Erupsi Gunung Semeru tanpa peringatan dini menewaskan puluhan orang dan gempa M 7,4 di utara Flores yang diikuti gelombang kemacetan di jalanan menyingkap lemahnya mitigasi bencana.
Tak ada bencana yang benar-benar karena alam. ”Bencana selalu berdimensi sosial dan ekonomi politik,” tulis Chester Hartman dan Gregory D Squires dalam buku There Is No Such Thing as a Natural Disaster: Race, Class, and Hurricane Katrina (2006).
Seperti juga ditegaskan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR), alam memang penuh marabahaya. Kebanyakan sumber bahaya ini tidak bisa dihilangkan, semisal kita tidak bisa menghentikan letusan gunung api atau gempa bumi.
Meski demikian, risiko bencana bisa dihindari. Tata kelola lingkungan, tata ruang, dan tata bangunan, serta meningkatkan kapasitas peringatan dini dan evakuasi merupakan bagian dari upaya mitigasi yang bisa mengurangi jatuhnya korban jiwa atau kerugian ekonomi.
Angka kematian akibat bencana hidrometeorologi di negara berkembang cenderung sama, bahkan sebagian meningkat,
Jadi, jika kemudian bahaya alam ini menelan korban, jangan lagi menyalahkan hujan atau gunung apinya. Misalnya, banjir yang melanda 11 dari 13 kabupaten di Kalsel dan menewaskan 24 orang dan 3 orang hilang pada Januari 2021. Kejadian itu diawali hujan ekstrem, yaitu mencapai 249 mm per hari yang merupakan rekor tertinggi dalam catatan sejarah kawasan ini.
Lima tahun terakhir, kita makin kerap menyaksikan pecahnya rekor hujan ekstrem di sejumlah daerah. Perubahan iklim bisa memicu perubahan pola hujan, antara lain ditandai peningkatan frekuensi dan curah hujan harian. Namun, banjir adalah soal tata kelola.
Meski curah hujan tinggi, banjir tidak akan separah itu jika tutupan hutan masih bagus dan daerah aliran sungai tidak rusak. Sebab, salah satu fungsi hutan adalah sebagai pengatur tata air sehingga sebagian air hujan yang turun akan terserap ke dalam tanah.
Banjir yang melanda Sintang, Kalimantan Barat, selama Oktober-November 2021, tidak bisa dilepaskan dari kerusakan lingkungan yang meluas. Deretan banjir yang juga terjadi di beberapa wilayah Kalimantan, termasuk di daerah yang sebelumnya aman dari banjir, seperti Kapuas Hulu, merupakan alarm memburuknya daya dukung lingkungan di pulau ini.
Jika di setiap musim hujan kebanjiran, pada musim kemarau Kalimantan diselimuti kabut asap. Daya dukung lingkungan yang merosot karena eksploitasi alam berlebih jelas merupakan faktor utama bencana dan cuaca hanya memantiknya. Apalagi, hujan dan kekeringan yang semakin ekstrem juga karena ulah manusia sebagian disumbang oleh pelepasan emisi gas rumah kaca dari pembukaan hutan dan gambut Kalimantan.
Dengan pemanasan global yang melaju, ancaman bencana terkait cuaca ekstrem akan meningkat. Seperti dilaporkan Organisasi Meterologi Dunia (WMO) pada Agustus lalu, bencana terkait cuaca dan iklim telah meningkat lima kali lipat selama periode 50 tahun terakhir.
Baca juga : Setelah ”Blah Blah Blah”
Menurut WMO Atlas of Mortality and Economic Losses from Weather, Climate and Water Extremes (1970-2019), ada lebih dari 11.000 bencana yang dilaporkan terkait dengan bahaya cuaca dan iklim secara global, dengan lebih dari 2 juta kematian dan kerugian 3,64 triliun dollar AS. Dari tahun 1970 hingga 2019, bahaya cuaca, iklim, dan air menyumbang 50 persen dari semua bencana, 45 persen dari semua kematian yang dilaporkan dan 74 persen dari semua kerugian ekonomi yang dilaporkan.
Lebih dari 91 persen dari kematian ini terjadi di negara berkembang. Sementara itu, dari 10 bencana teratas, bahaya yang menyebabkan kerugian manusia terbesar selama periode tersebut adalah kekeringan (650.000 kematian), badai (577.232 kematian), banjir (58.700 kematian), dan suhu ekstrem (55.736 kematian).
Sementara itu, kerugian ekonomi akibat bencana ini juga meningkat tujuh kali lipat dari tahun 1970-an hingga 2010-an. Kabar baiknya, kematian akibat bencana terkait cuaca ini menurun hampir tiga kali lipat dari tahun 1970 hingga 2019.
Jumlah kematian turun dari lebih dari 50.000 kematian pada 1970-an menjadi kurang dari 20.000 pada 2010-an. Tahun 1970-an dan 1980-an melaporkan rata-rata 170 kematian terkait per hari. Pada 1990-an, rata-rata itu turun sepertiga menjadi 90 kematian terkait per hari, kemudian terus turun pada 2010-an menjadi 40 kematian terkait per hari.
Peringatan dini
Penurunan tingkat kematian ini disebabkan oleh kemajuan dalam hal peringatan dini, yang umumnya terjadi di negara maju. Sementara angka kematian akibat bencana hidrometeorologi di negara berkembang cenderung sama, bahkan sebagian meningkat, yang menunjukkan bahwa meningkatnya ancaman belum diikuti penguatan kapasitas dalam mitigasi.
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang 1 Januari hingga 9 Desember 2021 tercatat 2.796 kejadian bencana alam di Indonesia. Sebanyak 35 persen, di antaranya, adalah banjir, disusul angin puting beliung dan tanah longsor. Secara total, sebanyak 80 persen kejadian bencana di Indonesia sepanjang 2021 termasuk hidrometeorologi, khususnya hidrometeorologi basah.
Sementara itu, total korban meninggal sudah 642 jiwa dan korban terdampak 8.121.980 jiwa. Di tengah peningkatan bencana hidrometeorologi ini, erupsi Gunung Semeru pada 4 Desember 2021 dan gempa bumi yang mengguncang Laut Flores pada 14 Desember 2021 juga patut jadi perhatian.
Erupsi Semeru yang menewaskan 50 orang ini tidak didahului peringatan dini yang memadai. Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi secara rutin mengeluarkan data gunung api di Indonesia, termasuk Semeru, pada awal bulan, tetapi tidak ada arahan spesifik untuk mengosongkan desa-desa yang kemudian dilanda awan panas guguran dan banjir lahar Semeru.
Baca juga : Erupsi Semeru, Kegagapan, dan Tuhan yang ”Dipersalahkan”
Status bahaya Gunung Semeru baru dinaikkan menjadi Siaga (Level III) dari Waspada (Level II) pada 16 Desember 2021, atau lebih dua pekan setelah tragedi. Dengan status ini, zona bahaya Semeru yang harus dihindari diperluas menjadi 13 kilometer dari kawah dan 500 meter dari tepi sungai di sepanjang Besuk Kobokan.
Jatuhnya korban jiwa dalam erupsi Gunung Semeru ini tidak lepas dari kegagalan memitigasi bahaya kolateral yang terjadi saat erupsi bersamaan hujan. Hujan lebat di sekitar gunung bisa mengamplifikasi bahaya gunung api dengan mengikis selubung material di atas kubah lava sehingga memicu awan panas guguran dan banjir lahar dahsyat.
Ke depan, penentuan status bahaya gunung api tidak boleh hanya diukur dari pergerakan magmatis, tetapi juga dengan menghitung bahaya sekunder dan faktor eksternal, dalam hal ini hujan. Setelah memperbarui peta bahaya dengan lebih komprehensif, berikutnya tata ruang berbasis risiko harus benar-benar ditegakkan.
Sementara itu, gempa berkekuatan M 7,4 di utara Pulau Flores pada Selasa (14/12) ibarat alarm dari alam. Kali ini gempa tak diikuti tsunami besar sebagaimana pernah terjadi di Flores pada 12 Desember 1992. Namun, melihat respons masyarakat setelah gempa yang mamadati jalan-jalan sejajar pantai di Kota Maumere dan beberapa kota pesisir lainnya, kita patut cemas. Tragedi 1992 yang menelan 2.500 korban jiwa di Flores bisa saja berulang jika gempa kali ini diikuti tsunami.
Berada di negara yang dikelilingi deretan gunung api, jalur patahan gempa, dan kepulauan yang rentan terdampak krisis iklim, kesiapsiagaan menghadapi bencana seharusnya telah menjadi bagian dari pola hidup, di antaranya dengan menginternalisasikannya ke dalam pendidikan sejak dini.
Kesiapsiagaan itu juga harus tecermin dalam dalam tata ruang berbasis risiko. Bukan sebaliknya, pembangunan yang abai dan bahkan meningkatkan risiko bencana. Jika hal ini gagal dilakukan, tahun 2022 mendatang kita akan kembali mencatat deretan bencana yang terus menelan banyak korban jiwa dan kerugian material.