Dampak Lingkungan dan Kriminalisasi Mengancam Masyarakat
Nasib masyarakat yang memperjuangkan lingkungannya di berbagai daerah kian miris. Selain adanya potensi kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas penambangan, mereka juga dihadapkan pada upaya kriminalisasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nasib masyarakat yang memperjuangkan lingkungannya di berbagai daerah kian miris. Secara bersamaan, masyarakat mendapatkan ancaman ganda. Selain adanya potensi kerusakan lingkungan akibat dari aktivitas penambangan, mereka juga dihadapkan pada upaya kriminalisasi.
Beberapa contoh kasus kriminalisasi masyarakat yang memperjuangkan lingkungannya terjadi di wilayah Jomboran, Sleman, dan Wadas, Purworejo. Mereka mendapat upaya kriminalisasi dari sejumlah pihak karena menolak kegiatan penambangan di wilayahnya.
Kepala Divisi Advokasi dan Kawasan Walhi Yogyakarta Himawan Adi mengemukakan, upaya kriminalisasi masyarakat Jomboran sudah berlangsung sejak Januari 2021. Sejak saat itu, sudah terdapat 18 masyarakat yang dipanggil penegak hukum karena mereka dianggap menghalangi proses penambangan.
”Padahal, mereka hanya membentangkan spanduk di wilayahnya sendiri. Ini dilakukan karena mereka merasa terancam dengan aktivitas penambangan di sana. Banyak sumur-sumur warga yang saat ini sudah mulai kekeringan dan tanah warga juga terancam,” ujarnya dalam diskusi daring, Jumat (15/10/2021).
Menurut Himawan, arah pembangunan saat ini yang hanya berfokus pada peningkatan ekonomi tanpa memikirkan dampak lingkungan akan terjadi di berbagai wilayah. Beberapa tahun yang lalu, masyarakat di Wadas juga tidak perah berpikir akan dikriminalisasi dan tergusur dari wilayahnya. Ancaman bagi masyarakat juga dinilai semakin tinggi menyusul adanya Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara serta UU Cipta Kerja.
”Adanya regulasi ini akan semakin menutup aspirasi warga. Advokasi ini harus dilakukan bersama bila warga ingin tetap konsisten dalam memperjuangkan lingkungannya,” katanya.
Berdasarkan laporan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional, selama 2020 ada 45 konflik pertambangan yang melibatkan lahan seluas 714.692 hektar. Jumlah ini meningkat empat kali lipat dibandingkan 2019 yang tercatat 11 konflik. Konflik itu terbagi menjadi 22 kasus pencemaran lingkungan, 13 kasus perambahan lahan, 8 kasus kriminalisasi warga penolak tambang, dan 2 kasus pemutusan hubungan kerja.
Deputi Direktur Public Virtue Research Institute (PVRI) Anita Wahid memandang bahwa kondisi saat ini sangat sulit menyampaikan aspirasi tentang kebijakan yang tidak selaras dengan keinginan masyarakat. Sebaliknya, ketika warga menyampaikan aspirasi, serangan baik fisik, psikis, maupun kriminalisasi justru banyak diterima mereka.
Anita juga menilai bahwa kebijakan yang dibuat saat ini khususnya terkait lingkungan tidak benar-benar melibatkan masyarakat sebagai elemen yang paling dirugikan. Kebijakan juga tidak memperhatikan dampak lingkungan yang ditimbulkan, seperti hilangnya sumber mata air, hutan, maupun sumber daya alam lainnya.
”Masyarakat yang berbicara berbeda saat ini langsung ditekan dan dikriminalisasi. Kita tidak melihat adanya proteksi untuk masyarakat khususnya kelompok yang rentan dan termarjinalkan seperti pejuang lingkungan di berbagai daerah,” katanya.
Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) 2012-2017 Dianto Bachriadi mengatakan, kriminalisasi warga juga kerap terjadi dalam setiap konflik agraria. Akar konflik agraria di Indonesia terjadi karena adanya kemudahan pemberian izin bagi sejumlah konsesi skala besar, seperti perkebunan, kehutanan, hingga kegiatan pertambangan.
Meski demikian, tanah yang dilepas untuk kegiatan perkebunan atau pertambangan tersebut pada dasarnya sudah dikuasai dan menjadi ruang hidup masyarakat setempat. Pelanggaran HAM pun dapat terjadi bila kegiatan pembukaan lahan justru mengabaikan hak-hak masyarakat atau bahkan melakukan tindakan represif maupun kriminalisasi.
”Dalam banyak kasus, memang masyarakat yang sudah menguasai tanah tersebut belum sempat mendaftarkan tanahnya sehingga kepemilikannya belum kuat secara hukum. Inilah sebenarnya fungsi negara untuk memfasilitas masyarakat mendapat kekuatan hukum atas tanah-tanah yang telah mereka kuasai,” ucapnya.