Kelompok masyarakat yang berjuang di bidang lingkungan hidup masih dibayangi kekerasan maupun kriminalisasi. Perlu ada perubahan paradigma yang mendasar dari aparat negara dan pengambil keputusan terkait hal menahun ini.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kelompok masyarakat yang berjuang di bidang lingkungan hidup masih dibayangi kekerasan maupun kriminalisasi. Perlu ada perubahan paradigma yang mendasar dari aparat negara dan pejabat pemerintah untuk mengatasi persoalan ini di samping pentingnya membuat peraturan perundang-undangan yang dapat melindungi pejuang lingkungan.
Laporan yang disusun Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) menunjukkan kasus kekerasan hingga kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan masih tinggi sepanjang 2020. Bahkan, pandemi Covid-19 tidak menurunkan angka kekerasan tersebut.
Laporan Walhi sepanjang Januari-Oktober 2020 menyebut, terdapat 19 kasus konflik dan kriminalisasi yang dialami pejuang lingkungan di 12 provinsi. Sementara catatan Elsam periode Januari-Agustus 2020, terdapat 50 kasus kekerasan dan ancaman terhadap pembela Hak Asasi Manusia (HAM) bidang lingkungan yang tersebar di 14 provinsi. Mayoritas jenis kasus yang terjadi adalah kriminalisasi terhadap petani dan masyarakat adat.
Elsam juga mencatat, mayoritas pelaku kekerasan terhadap pejuang lingkungan tersebut dilakukan aktor negara dan sebagian lainnya oleh aktor non-negara. Tindakan pelanggaran yang dilakukan di antaranya mulai dari penangkapan, intimidasi, serangan fisik, perampasan tanah, perusakan, penahanan, hingga pembunuhan.
Peneliti Elsam, Azka Fahriza menyampaikan, sejumlah hal yang mendasari rentannya kondisi pejuang lingkungan ini di antaranya yaitu masih berjalannya pendekatan keamanan militeristik. Suburnya struktur oligarki yang dipegang oleh kelompok elit dan pengusaha juga turut mendukung kerentanan pejuang lingkungan tersebut.
“Hal ini bisa dilihat dari bagaimana pemerintahan Indonesia yang begitu padu di level eksekutif dan legislatif dalam mendorong kebijakan-kebijakan yang hanya mementingkan kepentingan pemodal. Proyek-proyek pembangunan seperti masih terus akan digenjot tanpa mengindahkan kritik dan penolakan di level masyarakat yang terdapak proyek-proyek tersebut,” ujarnya di Jakarta, Minggu (10/1/2021).
Direktur Eksekutif Nasional Walhi Nur Hidayati memandang, kondisi yang dialami pejuang lingkungan akan semakin berat ke depan. Sebab, kebijakan ekonomi pertumbuhan pemerintah saat ini sangat bertumpu pada investasi skala besar dan berbasis sumber daya alam. Di sisi lain, adanya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja akan melegalkan pelemahan perlindungan lingkungan hidup dan sosial.
Selain itu, menurut dia, terdapat juga upaya yang sistematis untuk menghambat gerakan warga melalui instrumen hukum. Hal ini ditunjukkan dari disahkannya pasal-pasal kriminalisasi terhadap individu yang dianggap melawan pembangunan. Sebaliknya, pasal-pasal terkait kejahatan korporasi justru dilemahkan dan dihilangkan.
“Kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup sudah masuk pada level genting atau darurat. Ini karena upaya mereka untuk mempertahankan ruang hidup dan menjaga agar kualitas lingkungan hidup tidak memburuk dianggap sebagai tindakan melawan pemerintah, atau diberi label sebagai anti pembangunan,” tuturnya.
Guna melindungi pejuang lingkungan ini, Nur Hidayati menegaskan, harus ada perubahan paradigma yang mendasar dari aparat negara dan pejabat pemerintah bahwa konstituen mereka adalah masyarakat, bukan korporasi. “Selama tidak ada kesadaran ini dan selama pejabat pemerintahan hanya menjadi kaki tangan korporasi, maka kekerasan akan terus terjadi,” ungkapnya.
Tak memadai
Perlindungan terhadap pembela HAM sektor lingkungan telah tertuang di sejumlah aturan, salah satunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Dalam Pasal 66 menyebutkan, kelompok masyarakat tersebut tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.
Meski demikian, Peneliti Pusat Studi Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Universitas Airlangga Herlambang P Wiratraman memandang, ketentuan Pasal 66 tidak cukup memadai untuk melindungi pejuang lingkungan dibanding masifnya serangan, kekerasan dan kriminalisasi. Pasal 66 UU PPLH itu juga dianggap sebagai aturan formalitas pasal di atas kertas dan bertolakbelakang dengan komitmen sungguh-sungguh perlindungan hak warga negara.
Menurut Herlambang, Indonesia memerlukan tiga upaya pembaruan untuk mengatasi persoalan lemahnya perlindungan terhadap pejuang lingkungan. Pertama, membuat peraturan perundang-undangan yang lebih sesuai standar perlindungan hukum, terutama deklarasi pembela HAM. Upaya kedua yaitu mulai mengungkap kasus-kasus serangan terhadap pembela lingkungan.
Sementara upaya terakhir yakni menerapkan strategi pelembagaan perlindungan pembela HAM yang lebih efektif, terutama memastikan wewenang hukum Komisi Nasional HAM dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) bekerja lebih optimal.
“Upaya mitigasi atas serangan-serangan dan penegakan perlindungan menjadi mendesak. Terlebih dalam konteks politik hukum yang kian berorientasi pada kepentingan modal di sektor tambang, perkebunan kelapa sawit atau industri ekstraktif lainnya,” ucapnya.