Akses Layanan Kesehatan Jiwa Belum Merata
Masyarakat semakin rentan mengalami gangguan kesehatan jiwa. Karena itu, akses pada layanan kesehatan jiwa pun harus dipermudah.
JAKARTA, KOMPAS — Risiko gangguan jiwa yang meningkat selama pandemi Covid-19 membuat layanan kesehatan semakin dibutuhkan. Karena itu, akses masyarakat pada layanan kesehatan jiwa diharapkan bisa semakin mudah, terjangkau, dan dekat.
Psikiater dari Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor, yang juga anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia (PDSKJI), Lahargo Kembaren mengatakan, berbagai persoalan kesehatan jiwa masyarakat meningkat selama masa pandemi, mulai dari gangguan tidur, kecemasan, depresi, hingga skizofrenia.
”Masalah kesehatan jiwa terjadi, baik pada warga yang sudah mengalami gangguan kesehatan jiwa sebelumnya maupun yang belum mengalami gangguan kesehatan jiwa tetapi menjadi rentan,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin (11/10/2021).
Baca juga: Tekanan Ekonomi Picu Masalah Kesehatan Jiwa
Di tengah kondisi itu akses layanan kesehatan jiwa yang tidak merata akan memperburuk keadaan. Gangguan mental yang tidak segera ditangani dapat memperberat upaya penanganan yang harus diberikan. Selain lama perawatan yang lebih panjang, biaya dan obat yang diberikan semakin banyak.
Oleh karena itu, layanan kesehatan jiwa selama masa pandemi harus diperluas dan dipermudah. ”Masyarakat yang mengalami tekanan akibat pandemi amat banyak. Jika tidak segera diatasi, tsunami gangguan kesehatan jiwa bisa saja terjadi di kemudian hari,” katanya.
Layanan telemedicine dan telekonsultasi kesehatan jiwa bisa menjadi solusi jangka pendek untuk menjangkau masyarakat secara lebih luas. Namun, itu harus didukung sistem teknologi yang baik.
Layanan telemedicine juga diperlukan untuk mengatasi kekurangan sumber daya manusia kesehatan jiwa. Saat ini, total psikiater di Indonesia hanya sekitar 1.000 orang yang 70 persen di antaranya ada di Pulau Jawa. Artinya, setiap satu psikiater harus menangani sekitar 250.000 penduduk. Padahal, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menetapkan jumlah psikiater yang ideal adalah satu banding 10.000 penduduk.
Beban masalah kesehatan jiwa di masyarakat akibat pandemi semakin besar. Ini terjadi baik pada masyarakat yang sudah mengalami gangguan kesehatan jiwa maupun masyarakat yang belum mengalami gangguan kesehatan jiwa tetapi menjadi rentan.
Ketersediaan tenaga kesehatan jiwa di Indonesia kalah jauh dibandingkan negara tetangga, Singapura. Rasio psikiater dan jumlah penduduknya di Singapura satu banding 22.000.
Seorang warga Sumedang, Jawa Baratke, Shinta (25), menyatakan keinginannya untuk berkonsultasi pada psikolog tentang kecemasannya. Ia kerap gelisah dan sulit tidur karena tekanan pekerjaan, tetapi ia kini menganggur.
Baca juga: Mental Pun Goyah Diterpa Pandemi
”Sampai sekarang saya ingin konsultasi dengan psikolog karena tidak mau self-diagnosis. Tapi, itu, kan, butuh biaya. Jadi, ya, sudahlah,” kata Shinta pada Jumat (8/10/2021).
Shinta pun tidak tahu di mana layanan konsultasi terdekat. Layanan konsultasi melalui aplikasi telemedis bukan pilihan utama baginya karena berbayar. Ia juga tidak tahu bahwa pemerintah menyediakan layanan kesehatan jiwa melalui pusat panggilan (call center) 119.
Ketua Ikatan Psikologi Klinis (IPK) Indonesia wilayah Jakarta Anna Surti Ariani menyampaikan, layanan telekonsultasi sebaiknya tidak hanya disediakan terbatas melalui chat atau telepon. Konsultasi jarak jauh juga bisa dilakukan dengan konferensi video. Sejumlah kasus tidak cukup jika hanya mengandalkan konsultasi lewat pesan singkat atau telepon.
”Inovasi pun perlu dilakukan. IPK Indonesia berupaya memperluas pelayanan. Artinya, layanan tidak lagi hanya one on one, tetapi juga layanan konseling grup,” katanya.
Baca juga: Kesehatan Jiwa Bagi Semua, Antara Asa dan Realita
Dalam layanan telekonsultasi pun tidak hanya disediakan terbatas hanya chat ataupun telepon. Konsultasi jarak jauh juga bisa dilakukan melalui layanan konferensi video. Menurut dia, sejumlah kasus tidak cukup jika hanya mengandalkan konsultasi lewat pesan singkat atau telepon.
”Untuk mendukung hal ini tentu penguatan jaringan internet sangat menentukan. Saat ini, layanan konsultasi daring baru efektif di kota besar. Padahal, masalah kesehatan jiwa tidak hanya dialami oleh masyarakat di kota saja, tetapi juga seluruh masyarakat rentan mengalami masalah kesehatan jiwa,” kata Anna.
Problem global
Pada peringatan Hari Kesehatan Jiwa Se-Dunia yang tahun ini bertema ”Mental Health in an Equal World” di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Minggu (10/10/2021), Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengakui terbatasnya akses sebagian masyarakat pada penanganan kesehatan jiwa. Karena itu, ia mendorong akses layanan kejiwaan yang luas.
Pelaksana tugas Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan, tidak meratanya akses layanan kejiwaan terjadi di berbagai belahan dunia, terutama di negara-negara berkembang. Baru 20-25 persen warga yang mengalami gangguan jiwa mudah mengakses layanan.
Maxi berharap pandemi Covid-19 justru melahirkan inovasi layanan kesehatan jiwa yang mendekat ke masyarakat, misalnya Kemenkes telah membuat aplikasi ”Sehat Jiwa”. Lewat aplikasi itu, ada psikiater dan psikolog klinis yang ditugaskan mendampingi dan mendeteksi dini gangguan kejiwaan bagi masyarakat yang mengaksesnya.
Gerakan masyarakat
Anna menuturkan, penanganan masalah kesehatan jiwa di masyarakat membutuhkan peran dari berbagai pihak. Masyarakat harus bergerak bersama untuk mengatasi kendala yang dihadapi. Sejumlah inisiatif pun telah dijalankan.
Ikatan Psikologi Klinis Indonesia wilayah Jakarta turut berperan dengan membuka layanan konsultasi gratis, khususnya untuk masyarakat yang berada di wilayah DKI Jakarta. Diharapkan, lewat layanan ini masyarakat bisa terbantu untuk menangani masalah kesehatan jiwa yang dialami.
”Karena keterbatasan sumber daya, kami membatasi jumlah slot yang dibuka, yakni sekitar 200 orang selama Oktober. Namun, slot yang tersedia sudah penuh. Jumlah pendaftar mencapai 2.000 orang. Ini menandakan, kebutuhan masyarakat akan layanan kesehatan jiwa sebenarnya sangat besar,” katanya.
Selain itu, gerakan lainnya juga dilakukan Rumah Sakit Marzoeki Mahdi Bogor yang membuka layanan konsultasi secara gratis selama 24 jam. Masyarakat bisa mengaksesnya melalui layanan telepon.
Sebelumnya, psikiater dari RS Jiwa Dr Soeharto Heerdjan Adhi Wibowo Nurhidayat mengatakan, inisiatif dalam pelayanan kesehatan jiwa pada masyarakat telah dilakukan melalui pendampingan pada anak yang menjadi yatim piatu akibat Covid-19. Selain pendampingan khusus, anak-anak ini juga mendapatkan terapi bermain untuk menangani tekanan mental yang dialami.
Stigma
Menurut Adhi, kesadaran dan pemahaman masyarakat akan kesehatan jiwa yang masih minim membuat pelayanan di masyarakat pun tidak optimal. Pemerintah dan organisasi profesi serta lembaga swadaya masyarakat sudah banyak menyediakan layanan kesehatan jiwa. Namun, layanan tersebut tidak dimanfaatkan optimal oleh masyarakat.
”Stigma mengenai kesehatan jiwa masih besar. Orang datang ke rumah sakit jiwa atau layanan kesehatan jiwa itu masih dianggap gila. Belum lagi latar belakang sosiokultural masyarakat Indonesia yang menganggap suatu masalah yang dialami harus diselesaikan sendiri,” katanya. (TAN/SKA/NCA/DIT/ADH)