Masker Cegah Kemunculan Varian ”Super” yang Resisten Vaksin
Untuk mengantisipasi penularan virus korona baru dan munculnya turunan varian Delta, pemakaian masker masih sangat diperlukan. Selain itu, disarankan mempercepat vaksinasi kepada yang belum mendapatkan.
Oleh
Ahmad Arif
·5 menit baca
Tetap jalankan protokol kesehatan sekalipun sudah divaksin. Riset terbaru menunjukkan, melonggarkan masker dan tidak menjaga jarak ketika kebanyakan orang telah divaksinasi, ternyata bisa meningkatkan risiko kemunculan varian virus yang resisten terhadap vaksin Covid-19.
Riset terbaru ini dipublikasikan Simon A Rella dari Institute of Science and Technology Austria, dan tim ahli pan-Eropa di Scientific Reports jurnal Nature pada 30 Juli 2021. Studi dilakukan dengan melakukan pemodelan tentang mutasi virus SARS-CoV-2 dengan berbagai skenario.
Untuk memprediksi bagaimana virus SARS-CoV-2 dapat bermutasi sebagai respons terhadap vaksinasi, tim peneliti menyimulasikan kemungkinan strain yang resistan terhadap vaksin muncul pada populasi 10 juta orang selama tiga tahun. Variabel termasuk vaksinasi, mutasi, dan tingkat penularan, termasuk ”gelombang” infeksi yang berulang dan penurunan jumlah kasus sebagai tanggapan terhadap penguncian.
Model menunjukkan, tingkat vaksinasi yang cepat mengurangi risiko munculnya galur virus yang resisten. Namun, para peneliti juga menemukan ”hasil yang berlawanan”, yaitu risiko tertinggi munculnya galur resisten datang ketika sebagian besar populasi divaksinasi, tetapi tidak cukup besar untuk memastikan kekebalan kelompok.
Situasi ini mirip dengan kondisi sebenarnya ketika varian Delta menyebar dengan cepat seiring dengan tingginya vaksinasi yang dijalankan. Para penulis mengatakan, model tersebut menunjukkan ambang batas 60 persen dari populasi yang divaksinasi setelah itu varian yang resisten lebih mungkin muncul kembali.
Situasi serupa juga terjadi di Amerika Serikat, yang 60 persen orang dewasa telah divaksinasi lengkap. Namun, saat ini AS mengalami lonjakan kasus baru Covid-19 dan 80 persennya disebabkan varian Delta.
”Vaksin adalah taruhan terbaik untuk mengalahkan pandemi ini,” kata Rella, seperti ditulis MedicalXpress.
Ini berarti bahwa galur yang resisten terhadap vaksin menyebar ke seluruh populasi lebih cepat daripada galur asli pada saat kebanyakan orang divaksinasi. (Simon A Rella)
Namun, menurut Simon, pemodelan yang dilakukan menunjukkan, ketika kebanyakan orang divaksinasi, galur yang kebal vaksin memiliki keunggulan dibandingkan galur asli. ”Ini berarti bahwa galur yang resistan terhadap vaksin menyebar ke seluruh populasi lebih cepat daripada galur asli pada saat kebanyakan orang divaksinasi,” kata Rella.
Seperti diketahui, virus terus bermutasi sebagai respons terhadap kendala lingkungan, seperti peningkatan kekebalan dan tindakan respons yang dirancang untuk membatasi penularan.
Dengan temuan ini, para peneliti merekomendasikan perlunya mempertahankan protokol kesehatan sampai semua orang divaksinasi.
”Tentu saja kita berharap munculnya varian yang resisten vaksin tidak berkembang selama pandemi ini, karena itu kami mendesak agar berhati-hati,” kata Fyodor Kondrashov, anggota tim peneliti.
Menurut Kondrashov, evolusi merupakan fitrah setiap organisme, dan itu juga akan dilakukan SARS-CoV-2 untuk menyiasati vaksinasi, selama dia masih bisa menginfeksi. Saat ini lebih dari satu miliar orang di seluruh dunia telah divaksinasi penuh terhadap Covid-19, dengan banyak negara, terutama di Afrika dan Amerika Selatan, belum memulai peluncuran secara luas karena kurangnya pasokan.
”Strain yang resisten terhadap vaksin dapat dihilangkan pada beberapa populasi, tetapi dapat bertahan pada populasi lain,” tulis Rella.
Oleh karena itu, beberapa tindakan pencegahan untuk memutus rantai penularan, seperti memakai masker dan menjaga jarak, bisa menjadi alat yang baik untuk mengendalikan evolusi ini. Protokol kesehatan ini ibarat benteng utama untuk mencegah agar virus tidak mendapat tempat berevolusi di tubuh kita.
Epidemiolog Indonesia di Griffith Unievrsity, Dicky Budiman, mengatakan, Delta merupakan contoh varian super yang terbentuk oleh proses evolusi SARS-CoV-2. Varian baru akan terus bermunculan, terutama di wilayah yang tingkat kasusnya masih sangat tinggi, seperti di Indonesia.
”Varian Delta sangat menular, kalau orang berpapasan tanpa masker, hanya dalam hitungan detik bisa saling menularkan. Selain itu, masa inkubasi varian ini juga lebih pendek dan viral load bisa 1.000 kali lebih banyak dibandingkan varian Wuhan,” kata Dicky.
Kepala Tim Efektifitas Vaksin dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) Amerika Serikat Meredith McMorrow, pada 29 Juli 2021, menyebutkan, varian Delta memiliki tingkat penularan setara dengan cacar air.
Disebutkan dalam paparannya yang pertama kali dilaporkan Washington Post dan bisa diakses di https://bit.ly/3778gY7. varian Delta lebih mudah menular dibandingkan flu biasa, SARS, MERS, flu 1918, dan cacar.
” Varian itu juga lebih mungkin untuk menembus perlindungan yang diberikan oleh vaksin, tetapi insiden seperti itu sangat jarang,” sebut paparan ini.
Laporan CDC ini juga menyebutkan, varian Delta sangat menular, lebih parah daripada varian lain dan orang yang telah divaksin sama rentan tertularnya dengan yang lain. Namun, vaksin Covid-19 di Amerika Serikat yang berbasis mRNA masih sangat efektif dalam mencegah penyakit serius, rawat inap dan kematian.
Efektivitas vaksin di AS terhadap infeksi mencapai 91 persen di antara yang divaksinasi lengkap dan 81 persen untuk yang divaksinasi sebagian. Selain itu, dibandingkan dengan yang tidak divaksinasi, kasus yang divaksinasi (penuh atau sebagian) memiliki viral load RNA rata-rata 40 persen lebih rendah, yaitu 2,3 dibandingkan 3,8 salinan per mili liter (mL).
Durasi rata-rata juga lebih pendek dari RNA virus yang terdeteksi, yaitu 2,7 dibandingkan 8,9 hari. Risiko gejala demam yang lebih rendah, yaitu 25 persen dibandingkan 63,1 persen, dan durasi rata-rata gejala yang lebih pendek 10,3 dibandingkan 16,7 hari.
Meski demikian, jika penularan di komunitas terus terjadi, hanya soal waktu akan muncul turunan varian Delta atau galur lain yang bisa menyiasati antibodi dari vaksinasi. Oleh karena itu, McMorrow juga merekomendasikan bahwa pemakaian masker masih diperlukan untuk mengurangi penularan. Selain itu, disarankan mempercepat vaksinasi kepada yang belum mendapatkannya.
Sejumlah negara yang telah memiliki cakupan vaksin di atas 60 persen, seperti Israel, baru-baru ini juga mengembalikan persyaratan mengenakan masker di dalam ruangan dan mengharuskan para pelancong untuk dikarantina pada saat kedatangan. Kondisi ini harus jadi refleksi bagi Indonesia yang cakupan vaksinasinya belum merata dan masih jauh dari target kekebalan kawanan (herd immunity).