Ambiguitas Pemerintah Mengendalikan Produk Tembakau
Komitmen pemerintah dalam mengendalikan produk tembakau dinilai belum terwujud dalam bentuk penguatan regulasi yang ada. Padahal, jumlah perokok, terutama usia muda, terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini.
Dalam berbagai forum, pemerintah melalui perwakilan kementerian ataupun lembaga secara lugas menyatakan, pengendalian konsumsi rokok di masyarakat, terutama konsumsi rokok pada anak, masuk dalam program prioritas nasional. Namun, komitmen itu nyatanya belum terwujud dalam kebijakan yang berlaku.
Kebijakan pengendalian produk tembakau yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan dinilai sudah tidak lagi relevan. Revisi dari kebijakan tersebut makin mendesak karena konsumsi produk tembakau yang seharusnya menurun justru meningkat. Target yang ditetapkan pun tidak tercapai.
Pada perokok anak, misalnya. Riset Kesehatan Dasar menunjukkan, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat. Pada 2013, jumlah perokok usia tersebut tercatat 7,20 persen. Kemudian, meningkat menjadi 8,80 persen pada 2016 dan meningkat kembali menjadi 9,10 persen pada 2018.
Jumlah itu meleset dari target yang direncanakan pemerintah. Pada 2019, ditargetkan perokok usia muda bisa menurun menjadi 5,40 persen. Akhirnya, pemerintah pun mengubah target penurunan konsumsi rokok pada anak menjadi 8,70 persen pada 2024. Hal itu sudah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024.
Baca juga: Indonesia Darurat Rokok, Percepat Revisi Aturan Pelaksanaan
Pemerhati kebijakan publik Agus Pambagio, ketika dihubungi di Jakarta, pekan lalu, menilai, target-target yang sudah ditetapkan tersebut tidak akan pernah tercapai jika implementasi dalam pengendalian produk tembakau masih lemah. Intervensi industri rokok juga sangat besar dalam penentuan kebijakan pemerintah.
Berdasarkan hasil survei yang dirilis oleh Aliansi Pengendalian Tembakau Asia Tenggara (SEATCA) mengenai indeks campur tangan industri rokok pada tahun 2020 di beberapa negara di seluruh dunia, Indonesia menempati peringkat ke-33 atau peringkat terakhir kedua sebelum Jepang.
Dalam lima tahun terakhir, indeks campur tangan industri di Indonesia bahkan selalu menempati urutan tertinggi di antara sembilan negara Asia Tenggara lain, yakni 84 (2015), 81 (2016), 79 (2017), 75 (2018), dan 82 (2019). Dari sebagian besar indikator yang dinilai dalam indeks tersebut terlihat peran Pemerintah Indonesia dalam menekan campur tangan industri rokok sangat lemah.
Hal itu terlihat, antara lain, dari tingkat partisipasi industri rokok dalam penyusunan kebijakan, bentuk interaksi pemerintah dengan industri rokok yang tidak perlu, serta kegiatan yang diklaim sebagai kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Agus menuturkan, jika pemerintah serius mengendalikan konsumsi rokok di Indonesia, kebijakan yang diatur harus lebih tegas. Sejumlah alasan yang biasa disampaikan oleh industri rokok untuk menentang penguatan kebijakan seharusnya tidak menjadi pertimbangan. Alasan yang paling banyak digunakan yakni adanya kekhawatiran banyaknya petani tembakau serta buruh industri rokok yang menganggur dan terdampak.
”Padahal, jika disiapkan dengan baik, alasan ini bisa diselesaikan dengan baik. Pemerintah yang melingkupi semua kementerian ataupun lembaga lain, seperti Kementerian Pertanian, bisa sejak dini melatih petani tembakau untuk beralih tanam. Kementerian Ketenagakerjaan pun bisa memberikan pelatihan keterampilan khusus bagi buruh di industri rokok,” tuturnya.
Baca juga: Tembakau, Covid-19, dan Hak Anak untuk Sehat
Selain itu, alasan lain yang menganggap cukai produk tembakau sebagai sumber pendapatan bagi negara, termasuk melalui pajak rokok daerah dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT), juga tidak tepat.
Dalam studi yang dilakukan oleh Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) menunjukkan, beban ekonomi yang ditanggung negara akibat penyakit yang ditimbulkan rokok jauh lebih tinggi dari alokasi maksimum Pajak Rokok Daerah dan DBHCHT yang hanya sebesar Rp 7,4 triliun. Pada 2019, beban ekonomi pada sistem kesehatan di Indonesia akibat kebiasan merokok mencapai Rp 27,7 triliun.
Biaya kesehatan
Beban ini dikhawatirkan terus meningkat. Pengeluaran dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) untuk biaya kesehatan terkait tembakau, seperti kanker, penyakit jantung, stroke, dan ginjal, meningkat signifikan dalam jangka waktu empat tahun.
Pada 2014, biaya kesehatan untuk perawatan penderita penyakit tersebut yang dikeluarkan sekitar Rp 9,9 triliun dan meningkat menjadi Rp 18,9 triliun pada 2018. Tanpa ada pengendalian yang ketat, biaya kesehatan tersebut akan terus meningkat. Kualitas sumber daya manusia Indonesia di masa depan juga akan terancam.
Karena itu, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Faisal Basri, menyatakan, revisi PP No 109/2012 mutlak dilakukan. Menurut dia, pemerintah belum berani menunjukkan komitmen dan totalitas untuk melindungi masyarakat dari ancaman rokok. Sementara beban penyakit terkait rokok dan jumlah perokok anak terus meningkat.
Dalam revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 setidaknya harus mengatur terkait kenaikan harga rokok sampai pada harga yang tidak terjangkau oleh anak. Itu berarti rokok pun tidak boleh dijual secara eceran atau batangan. Sekalipun pemerintah sudah meningkatkan harga rokok melalui peningkatan cukai tembakau, kenaikan yang dilakukan masih belum optimal.
Urgensi revisi peraturan pemerintah tersebut juga terkait dengan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok serta ukuran peringatan kesehatan bergambar yang diperluas sampai 90 persen. Saat ini, iklan rokok telah membelenggu anak, terutama melalui iklan daring. Sementara aturan saat ini belum membahas terkait itu.
Baca juga: Dukung Ukuran Peringatan Kesehatan Bergambar 90 Persen di Bungkus Rokok
Dalam revisi PP No 109/2012 juga perlu mencakup aturan ataupun pelarangan terkait rokok elektrik. Prevalensi perokok elektrik di Indonesia naik hampir 10 kali lipat selama dua tahun dari 1,2 persen pada 2016 menjadi 10,9 persen pada 2018. Padahal, dampak kesehatan dari rokok elektrik sama bahayanya dengan rokok konvensional.
Namun, Direktur Industri Minuman, Industri Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian Edy Sutopo menyampaikan, momentum untuk merevisi PP No 109/2012 sangat tidak tepat dilakukan di tengah situasi pandemi. Bahkan, revisi ini tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek. Industri hasil tembakau telah menurun sampai minus 9,58 persen sampai April 2021. Jumlah ini jauh lebih besar daripada penurunan tahun 2020 yang minus 5,78 persen.
”Dengan memperketat aturan tekait produk tembakau, rentetan yang terjadi sangat panjang. Industri rokok merupakan lokomotif panjang yang akan berpengaruh juga pada petani tembakau, petani cengkeh, industri kertas cigarette, industri packaging (pengemasan), sampai pada ritel di warung kecil. Karena itu, kita tidak setuju dengan revisi PP No 109/2012 yang arahnya pada pengetatan aturan,” katanya.
Hal serupa disampaikan Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia Henry Najoan. Ia menilai, PP No 109/2012 masih relevan dengan kondisi saat ini sehingga belum perlu direvisi. Jika revisi dilakukan, hal itu bisa memperburuk kondisi usaha industri hasil tembakau yang terpuruk akibat kenaikan cukai yang berlaku pada 2020 dan 2021.
Baca juga: Kebijakan Pengendalian Produk Tembakau Belum Selaras
”Pemerintah sebaiknya lebih dulu mengkaji atau mengevaluasi pemberlakuan PP No 109/2012, salah satunya terkait edukasi. Kami melihat pemerintah belum melakukan upaya konkret mencegah perokok anak,” tuturnya.
Terkait hal itu, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) Agus Suprapto menyampaikan, aturan terkait revisi PP No 109/2012 seharusnya tidak lagi dipertentangkan. Aturan tersebut memang diperlukan untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan remaja dari paparan serta akses produk rokok.
Namun, pro-kontra dari kementerian ataupun lembaga serta asosiasi masyarakat masih ditemui selama proses revisi PP No 109/2012. Sejumlah pihak mengkhawatirkan revisi PP ini akan memberikan dampak buruk pada kesejahteraan petani dan pekerja industri rokok.
”Pada kenyataannya, penurunan kesejahteraan petani saat ini disebabkan oleh tingginya impor tembakau sehingga keterserapan produk lokal menurun. Selain itu, pengurangan pekerja industri rokok juga disebabkan oleh bergesernya pangsa pasar dari rokok kretek menjadi rokok mesin,” ucap Agus Suprapto.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan Cut Putri Ariane pun menyampaikan, revisi PP No 109/2012 juga bukan memperketat aturan yang ada, melainkan melengkapi hal-hal yang belum diatur. Konsumsi rokok yang tidak terkendali sudah menimbulkan dampak buruk bagi kesehatan dan kondisi sosial masyarakat.
Revisi PP No 109/2012 yang saat ini sudah sampai di Sekretariat Kabinet RI harus segera diterbitkan. Targetnya tahun 2021 ini revisi tersebut bisa terbit.
Sebagian anak dengan orangtua yang merokok, terutama pada kelompok masyarakat menengah ke bawah, biasanya juga mengalami gizi buruk. Itu disebabkan pendapatan keluarga lebih banyak digunakan untuk membeli rokok dibandingkan dengan membelikan makanan untuk pemenuhan gizi cukup bagi anak.
Karena itu, Agus Suprapto menuturkan, revisi PP No 109/2012 yang saat ini sudah sampai di Sekretariat Kabinet RI harus segera diterbitkan. Targetnya tahun 2021 ini revisi tersebut bisa terbit. Di lain sisi, kebijakan berupa peraturan presiden untuk mengatur tata niaga petani tembakau juga perlu disiapkan.
Baca juga: Kenaikan Cukai Tekan Perokok Pemula, Selanjutnya Pembatasan Akses Diperkuat
”Petani berharap akan ada penguatan regulasi tentang perlindungan petani dan tata niaga tembakau agar kesejahteraan petani dapat terjamin. Apa yang menjadi tujuan kesehatan dari revisi PP No 109/2012 ini tidak bertujuan untuk menekan harga tembakau,” ucapnya.
Setiap kebijakan publik memang perlu mempertimbangkan berbagai aspek secara komprehensif. Meski begitu, prioritas tetap dibutuhkan. Dampak dari konsumsi rokok terjadi pada jangka panjang. Namun, saat ini dampak itu sudah di depan mata. Masa depan bangsa pun dipertaruhkan.