Indonesia Darurat Rokok, Percepat Revisi Aturan Pelaksanaan
Indonesia dinilai sudah dalam kondisi darurat rokok. Hal itu ditandai terus bertambahnya jumlah perokok usia anak dan penderita penyakit terkait rokok. Karena itu, aturan pengendalian produk tembakau perlu direvisi.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan pengendalian konsumsi tembakau yang berlaku saat ini dinilai masih amat lemah. Hal itu terlihat dari jumlah perokok anak yang terus meningkat dan bertambahnya jumlah penderita penyakit terkait rokok. Karena itu, sejumlah pihak mendesak agar peraturan pemerintah tentang produk tembakau segera direvisi.
Ekonom Faisal Basri mengatakan, berbagai dampak buruk terjadi akibat konsumsi rokok tak terkendali, seperti jumlah kematian dan penyakit yang terus meningkat. Hal ini menyebabkan beban kesehatan yang harus ditanggung dalam program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS) juga makin tinggi. Produktivitas sumber daya manusia juga menurun sehingga pertumbuhan ekonomi pun stagnan.
”Sekarang yang dibutuhkan adalah aksi karena kita tidak boleh menunda-nunda lagi. Bagi saya, Indonesia sudah darurat rokok. Hal pertama yang bisa dilakukan yakni dengan menaikkan tarif cukai. Tarif cukai yang sudah dinaikkan saat ini masih belum mencapai level optimum,” katanya, di Jakarta, Jumat (4/6/2021).
Menurut dia, porsi cukai yang berlaku sekarang belum mengakibatkan harga rokok tidak terjangkau. Dengan menaikkan harga rokok, konsumsi rokok, terutama pada masyarakat miskin, bisa menurun tajam. Setiap 1 persen kenaikan harga rokok, hal itu mampu mengurangi kemampuan pembelian rokok pada masyarakat kelompok miskin minus 0,53 persen dan masyarakat kelompok kaya minus 0,13 persen.
Berbagai mitos pun muncul untuk menghambat peningkatan harga rokok di Indonesia. Faisal mengatakan, mitos yang banyak diserukan yakni kenaikan harga rokok dapat merugikan petani tembakau.
Padahal, kebutuhan tembakau lebih besar daripada produksi tembakau lokal sehingga semua produksi tembakau lokal pasti akan diserap oleh industri. Dengan diversifikasi serta alih tanam justru bisa meningkatkan pendapatan para petani.
Mitos kedua, yakni dengan harga rokok tinggi akan meningkatkan rokok ilegal. Hal ini justru bisa menjadi bumerang bagi pemerintah. Jika rokok ilegal marak, itu artinya pengawasan negara lemah untuk melindungi rakyatnya. Mitos lain, yakni penerimaan negara akan berkurang jika harga rokok dinaikkan.
”Tujuan pengenaan cukai yakni untuk mengendalikan konsumsi rokok. Sementara tugas hakiki negara adalah mendorong penciptaan nilai, bukan pengerukan nilai. Jadi, jangan sampai cukai ini malah mengorbankan kesehatan masyarakat,” ucap Faisal.
Jadi, jangan sampai cukai ini malah mengorbankan kesehatan masyarakat.
Ketua Muhammadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Universitas Muhammadiyah Magelang Retno Rusdjijati menuturkan, sejumlah petani tembakau di Magelang telah berhasil melakukan diversifikasi pertanian dan beralih tanam. Dari hasil pembinaan yang dilakukan, para petani kini justru mendapat keuntungan lebih besar.
Perokok usia muda
Pengurus Komisi Nasional Pengendalian Tembakau yang juga pegiat Forum Warga Kota Jakarta (Fakta), Tubagus Haryo Karbyanto, menyampaikan, revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan kian mendesak. Kebijakan dalam aturan tersebut sudah tidak relevan dalam upaya pengendalian tembakau di Indonesia.
Itu terutama terkait upaya pengendalian perokok usia muda. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar, jumlah perokok anak usia 10-18 tahun terus meningkat. Pada 2013, jumlah perokok usia tersebut tercatat 7,20 persen. Kemudian, meningkat menjadi 8,80 persen pada 2016 dan meningkat kembali menjadi 9,10 persen pada 2018.
Jumlah itu meleset dari target yang direncanakan pemerintah. Pada 2019, ditargetkan perokok usia muda bisa menurun menjadi 5,40 persen. Dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional 2020-2024, pemerintah pun menargetkan perokok usia 10-18 tahun menjadi 8,70 persen.
”Jika tidak ada upaya konkret, target itu tidak akan tercapai atau justru bisa meningkat. Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional) mengestimasi jumlah perokok pemula bisa mencapai 16 persen pada 2030 jika upaya pengendalian tembakau tetap seperti saat ini,” tutur Tubagus.
Urgensi revisi PP No 109/2012 terutama terkait dengan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok; larangan penjualan rokok batangan; ukuran peringatan kesehatan bergambar yang diperluas; serta pelarangan ataupun pengaturan terkait rokok elektrik. ”Kita harus terus mengalawal proses revisi PP 109 ini agar benar-benar sesuai dengan best practice yang mampu menggerakkan perilaku masyarakat menjadi lebih baik,” ucapnya.
Secara terpisah, Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) Henry Najoan menilai, PP No 109/2012 masih relevan dengan kondisi saat ini sehingga belum perlu ada revisi. Jika revisi dilakukan, hal itu dapat memperburuk kondisi usaha industri hasil tembakau yang sudah terpuruk akibat kenaikan cukai yang diberlakukan pada 2020 dan 2021.
”Pemerintah sebaiknya lebih dahulu melakukan kajian atau evaluasi pemberlakuan PP No 109/2012, salah satunya terkait edukasi. Kami melihat pemerintah belum melakukan upaya konkret dalam mencegah perokok anak,” katanya.