Kesehatan jiwa terkadang luput dari perhatian masyarakat. Padahal, kondisi pandemi Covid-19 berpotensi memberikan tekanan cukup besar bagi kesehatan jiwa seseorang.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Berbagai ketidakpastian serta banyaknya berita duka yang terjadi selama masa pandemi Covid-19 membuat kesehatan jiwa seseorang rentan tertekan. Dalam kondisi seperti ini, upaya untuk mengelola stres serta menjaga kestabilan emosi menjadi sangat penting.
Guru Besar Psikologi Klinis Universitas Padjadjaran Sawitri Supardi Sadarjoen mengatakan, pandemi yang berlangsung berkepanjangan memberikan efek emosi sosial yang cenderung depresif bagi masyarakat. Dalam menjalani aktivitas pun seseorang menjadi lebih khawatir dan takut.
”Namun, segala sesuatu yang berlebihan, baik pada kekhawatiran akan informasi tentang Covid-19 maupun ketakutan akan tertular penyakit tersebut, pasti efeknya tidak baik bagi kemampuan kita dalam bersosialisasi,” ucapnya dalam acara Seri Webinar Cendekiawan Berdedikasi Kompas II bertajuk ”Mengelola Kesehatan Mental di Kala Pandemi” di Jakarta, Rabu (23/6/2021).
Menurut Sawitri yang juga merupakan penerima Anugerah Cendekiawan Berdedikasi Harian Kompas pada 2017, menjaga keseimbangan antara fungsi rasio dan emosi serta memiliki keyakinan diri yang optimal menjadi hal yang paling penting di masa pandemi. Keyakinan diri tersebut perlu disertai dengan kewaspadaan yang optimal.
Seseorang bisa lebih merasa rileks dan tenang jika sudah tahu siapa dirinya serta kondisi seperti apa yang sedang terjadi di lingkungannya. Kekhawatiran akan penularan Covid-19 pun bisa dikurangi apabila seseorang memiliki kepercayaan diri untuk mencegah penularan dengan tetap menjaga pikiran yang rasional.
”Artinya, jika memang harus keluar rumah, kita harus memastikan sudah melakukan upaya pencegahan secara maksimal. Misalnya, sudah memakai masker dobel dan menjalankan protokol kesehatan dengan baik. Selebihnya, kita bisa pasrah dengan kondisi agar kita juga lebih merasa tenang,” tuturnya.
Segala sesuatu yang berlebihan pasti efeknya tidak baik bagi kemampuan kita dalam bersosialisasi. Berlebihan itu baik pada kekhawatiran akan informasi tentang Covid-19 maupun ketakutan akan tertular penyakit tersebut.
Menurut Sawitri, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan agar pengelolaan kesehatan mental di masa pandemi bisa terjaga secara optimal, yakni memperhatikan asupan makanan bergizi seimbang dan disiplin berolahraga. Kegiatan sosial yang biasanya dilakukan secara tatap muka bisa diganti dengan kegiatan virtual sehingga kebutuhan bersosialisasi tetap terpenuhi.
Hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah mengisi waktu luang dengan melakukan hobi yang sebelumnya tertunda. Dengan melakukan hobi, efek positif berupa kesenangan dan ketenteraman batin bisa timbul pada diri seseorang.
Selain itu, di masa pandemi, seseorang juga bisa menghidupkan dan menghangatkan kembali interelasi dan interkomunikasi dengan anggota keluarga. Kegiatan spiritual yang dilakukan sendiri ataupun bersama keluarga secara konsisten juga harus terjaga.
”Integrasi kegiatan-kegiatan tersebut akan membawa konsekuensi bagi optimalisasi kesehatan jiwa manusia dalam kebersamaannya dengan lingkungan. Dengan demikian, pengelolaan kesehatan mental di masa pandemi pun terjaga secara optimal,” ujar Sawitri.
Ia menyampaikan, media pun bisa berperan untuk mendukung kesehatan jiwa masyarakat. Pemberitaan yang selalu memberikan efek menegangkan yang berlebih bagi masyarakat sebaiknya dihindari.
Media diharapkan bisa menyampaikan berita secara lengkap dengan menggunakan kalimat yang baik dan mudah ditangkap. Aspek-aspek penting terkait Covid-19 pun bisa disampaikan dengan nada yang rileks, tetapi bisa diterima secara rasional oleh seluruh masyarakat.
Tenaga kesehatan
Dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Daeng M Faqih menyampaikan, tekanan psikis juga dialami tenaga kesehatan yang bertugas dalam penanganan Covid-19. Pandemi yang terjadi hampir satu setengah tahun ini memberikan beban cukup besar bagi tenaga kesehatan.
Itulah sebabnya, dukungan penuh harus diberikan kepada tenaga kesehatan untuk mengurangi beban mereka. Pendampingan psikolog ataupun psikiater bisa diberikan di setiap fasilitas kesehatan. Selain itu, pemerintah juga perlu memastikan keamanan serta keselamatan petugas kesehatan terjamin.
”Dengan lonjakan kasus seperti saat ini, penambahan jumlah tenaga kesehatan menjadi penting agar mereka tidak lelah, jenuh, juga takut karena risiko penularan. Kegiatan sosial seperti hiburan juga perlu diberikan ketika tenaga kesehatan sedang tidak bertugas. Insentif harus dipenuhi tepat waktu agar mereka bisa bekerja lebih tenang, terutama untuk memastikan keluarga yang ditinggalkannya tetap terjamin,” ucap Daeng.