Di tengah tren dunia terhadap energi bersih, UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikhawatirkan justru akan mendorong industri ekstraktif, termasuk batubara.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Warga melintasi tiang-tiang kincir angin laboratorium pembangkit listrik tenaga bayu (PLTB) di Mangunharjo, Kecamatan Tugu, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (24/11/2020). Penggunaan energi bersih saat ini menjadi tuntutan bersamaan dengan menguatnya isu perubahan iklim.
JAKARTA, KOMPAS — Regulasi di Indonesia dinilai belum mendukung sektor energi bersih secara optimal. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dikhawatirkan justru mendorong industri ekstraktif, khususnya batubara, sementara dunia sedang berupaya mencapai emisi nol karbon pada 2050.
UU No 11/2020 Pasal 39, yang membahas UU No 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, menyebutkan, sisipan pasal baru di UU No 4/2009, yakni Pasal 128 A, menetapkan royalti nol persen untuk kegiatan peningkatan nilai tambang batubara.
Kepala Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi IPB University Meika Syahbana Rusli menilai, pasal itu belum menunjukkan komitmen pemerintah terhadap pembangunan berkelanjutan. Royalti nol persen dinilai malah menumbuhkan minat industri terhadap energi fosil, bukan energi bersih.
”Kontributor perubahan iklim terbesar adalah bahan bakar fosil, yakni sebesar 57 persen. Harus ada kebijakan terkait bioenergi yang dapat menarik minat pengusaha,” kata Meika pada diskusi daring Dampak UU Cipta Kerja terhadap Sektor Energi, Rabu (2/6/2021).
Kompas/Priyombodo
Tongkang bermuatan batubara melintas di Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Senin (8/3/2021). Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), produksi batubara Indonesia per 8 Maret 2021 sebesar 93,42 juta ton atau setara 16,99 persen dari target produksi sebesar 550 juta ton pada 2021.
Menurut dia, royalti nol persen berdampak pada potensi hilangnya pendapatan negara dan dana bagi hasil (DBH) ke daerah. Royalti nol persen pun dikhawatirkan mendorong eksploitasi batubara.
Adapun pemerintah menargetkan porsi energi baru terbarukan (EBT) pada bauran energi nasional sebesar 23 persen pada 2025. Hingga akhir 2020, porsi EBT masih jauh dari target, yakni baru 11,5 persen.
Pemerintah juga menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 314 juta ton di 2030. Pembangkit listrik berbasis EBT ditargetkan berkontribusi menurunkan 156,6 juta ton karbon dioksida. Namun, hingga kini, 90 persen energi di Indonesia masih didominasi batubara, minyak bumi, dan gas.
”(Komitmen) terhadap EBT belum tecermin di UU Cipta Kerja,” kata Meika. ”Ada pula regulasi yang condong ke industri ekstraktif. Perlu ditelaah apa produk ekstraktif bisa bersaing secara global. Ini karena negara-negara maju akan semakin hijau mengikuti Kesepakatan Paris,” tuturnya.
Indonesia telah meratifikasi Perjanjian Paris pada 2016. Indonesia berkomitmen menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen dengan bantuan internasional.
INFOGRAFIK KOMPAS.ID
Energi Baru Terbarukan (EBT) Jenis EBT Tahun 2020 dan Target EBT Per Sumber Pembangkit Target Bauran Energi Nasional 2025.
Energi fosil ditinggalkan
Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengatakan, dunia akan meninggalkan energi fosil dalam beberapa dekade. Bahkan, setelah 2050, dunia diperkirakan akan banyak menggunakan energi matahari dan angin.
Melalui laporan Net Zero by 2050: A Roadmap for the Global Energy Sector yang dirilis pada Mei 2021, Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan, pada 2030, ada penambahan 1.020 gigawatt (GW) listrik dari energi angin dan matahari secara global. Adapun penjualan kendaraan listrik dunia juga diperkirakan mencapai 60 persen.
”UU Cipta kerja belum menyentuh aspek energi terbarukan. Pola pikir kita mesti diubah. Ke depan, energi terbarukan akan jadi energi prioritas, bukan energi alternatif,” kata Surya.
UU Cipta kerja belum menyentuh aspek energi terbarukan. Pola pikir kita mesti diubah. Ke depan, energi terbarukan akan jadi energi prioritas, bukan energi alternatif.
Ia merekomendasikan agar pemerintah membuat regulasi yang pro-energi terbarukan. Misalnya, menetapkan standar harga energi terbarukan dan segera menyelesaikan UU Energi Terbarukan, bukan UU Energi Baru Terbarukan yang mencakup nuklir. Ini karena energi nuklir diprediksi bakal ditinggalkan di masa depan. Selain itu, nuklir telah diatur dalam UU Nomor 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
KOMPAS/ANGGER PUTRANTO
General Manager Hyundai Wiyung Surabaya Arief Cahyono (kanan) menunjukkan slot pengisian daya di mobil listrik Hyundai IONIQ kepada Bupati Banywuangi Ipuk Fiestiandani di Kokoon Hotel Banyuwangi, Rabu (17/3/2021). Pemerintah Kabupaten Banywuangi terus mendorong hotel-hotel untuk menyediakan fasilitas pengisian listrik untuk mobil elektrik guna mewujukan konsep Eco-tourism.
Menurut Direktur Riset Institute for Development of Economic and Finance (Indef) Berly Martawardaya, Indonesia perlu belajar ke Thailand dan Vietnam untuk meningkatkan proporsi EBT. Proporsi EBT Thailand naik empat kali dan Vietnam 20 kali lipat dalam tiga tahun.
Penasihat senior Green Energy Investment, Herbert Lubis, mengatakan, potensi EBT di Indonesia sebesar 417,8 GW. Namun, pemanfaatannya baru sekitar 2,5 persen.
Pemanfaatan EBT untuk mencapai emisi nol karbon masih perlu didorong. Menurut laporan IEA, pelaksanaan emisi nol karbon butuh investasi 4 triliun dollar AS. Emisi nol karbon diperkirakan membuka lapangan pekerjaan baru dan membantu pertumbuhan ekonomi sebesar 0,4 persen per tahun.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Inisiatif Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan Tri Mumpuni menyatakan, masyarakat perlu diberdayakan untuk mengelola energi secara mandiri sesuai potensi daerah masing-masing. Upaya ini pernah dilakukan di Sumba Timur pada 2018. Sekitar 100 turbin angin kecil pun dibangun dengan melibatkan masyarakat.