Sejumlah Skenario Disusun dalam Mencapai Target Nol Emisi
Sejumlah skenario disiapkan untuk mencapai pembangunan rendah karbon. Ini sebagai bahan pertimbangan, mengingat kepentingan pembangunan serta dampak krisis iklim yang kian nyata.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Meski belum ada target waktu secara tegas, Indonesia telah menetapkan sejumlah skenario dalam upaya mencapai pembangunan rendah karbon atau net zero emission. Namun, upaya ini harus ada sinergi atau konektivitas antara satu sektor dan sektor lainnya.
Direktur Lingkungan Hidup Kementerian Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Medrilzam mengemukakan, pembangunan rendah karbon telah tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 dan menjadi salah satu program prioritas.
Namun, ia meminta pembangunan rendah karbon tersebut tidak dikotomikan dengan dokumen kontribusi nasional penurunan emisi (NDC) sesuai dengan Persetujuan/Kesepakatan Paris. Sebab, pembangunan rendah karbon merupakan salah satu bentuk komitmen NDC Indonesia.
”Skenario net zero emission memang sudah disampaikan oleh menteri, tetapi harus diakui hal ini belum berani kami sampaikan kapan waktu tepatnya. Tetapi, skenario juga tetap dicanangkan dengan sejumlah konsekuensi,” ujarnya dalam webinar bertajuk ”Peluang Indonesia untuk Mencapai Netral Karbon Sebelum 2070”, Rabu (28/4/2021).
Indonesia diproyeksikan mengalami dampak yang signifikan jika tidak ada upaya serius dalam menanggulangi perubahan iklim.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan Bappenas, perhitungan skenario nol emisi harus mengacu pada sejumlah prinsip. Prinsip itu, antara lain, adalah kebijakan nol emisi harus sejalan dengan target pada visi Indonesia 2045, tetap mengejar penurunan emisi hingga 2030 sebesar 29 persen, dan pendekatan yang dilakukan bersifat komprehensif lintas sektor.
Prinsip kebijakan nol emisi juga tidak boleh ada pertukaran antara pertumbuhan ekonomi hijau dan target yang ditetapkan. Di sisi lain, kebijakan nol emisi juga harus mempertimbangkan dampak pandemi dan eksternalitas negatif pembangunan.
Medrilzam mengatakan, Bappenas juga telah melakukan penghitungan estimasi gas rumah kaca (GRK) pada sektor lahan dan energi untuk kebijakan nol emisi pada 2045, 2050, 2060, dan 2070. Skenario nol emisi 2045 dan 2050 memerlukan tambahan luasan 300-350.000 hektar per tahun dan peningkatan reforestasi seluas 250 hektar dari kebijakan yang sudah berjalan.
Sementara pada sektor energi, skenario pembangunan nol emisi tidak hanya dilakukan melalui penggunaan energi baru terbarukan. Namun, skenario juga harus diiringi dengan peningkatan tingkat efisiensi energi hingga mencapai 6-6,5 persen pada 2050.
Selain itu, upaya pengurangan sampah juga terus dijalankan mulai dari ekonomi sirkular melalui efisiensi sumber daya alam hingga penurunan produksi limbah cair. Pada aspek fiskal, perlu juga dilakukan penghapusan subsidi bahan bakar minyak dan penerapan pajak karbon.
Di samping skenario yang telah ditetapkan, Medrilzam mengakui masih terdapat tantangan Indonesia menuju pembangunan rendah karbon. Semua upaya ini memerlukan biaya yang besar apabila dipilih skenario nol emisi pada 2045 dan 2050. Biaya ini digunakan untuk membayarkan ganti rugi atas penghentian perjanjian pembelian tenaga listrik (PPA).
Meski sampai saat ini target waktu pembangunan nol emisi belum dapat ditetapkan secara tegas, Medrilzam menyatakan bahwa pemerintah tetap berkomitmen dalam menanggulangi krisis iklim. Sebab, Indonesia diproyeksikan mengalami dampak yang signifikan jika tidak ada upaya serius dalam menanggulangi perubahan iklim.
Beberapa dampak tersebut, antara lain, adalah peningkatan suhu 0,45-0,75 derajat celsius, perubahan curah hujan 2,5 milimeter per hari, dan kenaikan muka air laut 0,8-1,2 sentimeter per tahun. Indonesia juga akan dilanda gelombang ekstrem yang meningkat lebih dari 1,5 meter.
Energi terbarukan
Kepala Pusat Data dan Informasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Agus Cahyono Adi memaparkan, pengurangan emisi GRK sektor energi masih sesuai target dan akan ditingkatkan untuk mencapai target NDC 2030. Kontribusi utama aksi mitigasi ialah program energi baru terbarukan (EBT) dan efisiensi energi.
Namun, upaya meningkatkan penggunaan EBT masih terkendala biaya investasi yang cenderung masih mahal dan minimnya penguasaan teknologi. Adapun kendala lainnya ialah tarif listrik yang belum kompetitif, rendahnya ketertarikan perbankan dalam negeri untuk investasi, dan insentif konservasi energi yang masih terbatas.
”Hal yang perlu disinergikan ialah pengembangan energi baru dan penyimpanan energi, seperti baterai atau hidrogen. Kemudian pembangunan PLTN (pembangkit listrik tenaga nuklir) dan yang tidak kalah pentingnya adalah pembangunan infrastruktur energi serta pola insentif melalui dana karbon,” ucapnya.
Penasihat senior The Partnership for Governance Reform (Kemitraan), Eka Melisa, mengatakan, strategi transisi, khususnya, pada sektor energi tidak bisa lepas dari peran sektor lain dan aktor nonpemerintah. Sebab, banyak aspek dalam sektor energi yang tidak hanya bertumpu pada kebijakan, tetapi juga melibatkan para pengguna atau konsumen.
Menurut Eka, sejumlah upaya untuk mempercepat transisi energi dapat dilakukan dengan menetapkan skema pendanaan berkelanjutan global termasuk dari aspek investasi. Hal ini harus dimanfaatkan sebagai katalis penguatan teknologi dan kapasitas dalam negeri.
”Salah satu hal yang membuat sulit mencapai net zero emission pada sektor energi adalah karena kita hanya melihat hal yang terkait pada sektor itu sendiri. Jadi, perlu konektivitas kebijakan yang diambil dari sektor lahan atau sebaliknya,” katanya.