Kewajiban Pemulihan Gambut di Wilayah Konsesi Belum Sepenuhnya Diimplementasikan
Kewajiban membangun infrastruktur restorasi gambut di lahan konsesi belum banyak dipenuhi oleh perusahaan pemegang konsesi. Pemerintah harus terus mendorong agar mereka mulai membangun infrastruktur restorasi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Perahu melintasi kanal utama pada perusahaan hutan tanaman industri PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI), 18 Maret 2019. Konsesi yang berada di Kalimantan Barat ini dinilai menjadi contoh baik pengelolaan gambut bagi perusahaan HTI lain.
JAKARTA, KOMPAS — Kewajiban pemulihan gambut di wilayah konsesi belum sepenuhnya diimplementasikan oleh perusahaan pemegang konsesi. Hal ini terlihat dari masih banyaknya perusahaan yang tidak membangun infrastruktur, seperti sekat kanal atau sumur bor. Para pemegang konsesi pun didorong untuk lebih berkontribusi dalam kegiatan restorasi gambut.
Hal tersebut terangkum dalam hasil kajian yang dilakukan jaringan Pantau Gambut bersama dengan masyarakat di sekitar lahan konsesi di tujuh provinsi prioritas restorasi gambut. Kajian dengan total 1.222 titik sampel ini dilakukan melalui analisis spasial dan observasi lapangan pada area gambut di dalam wilayah konsesi yang terbakar atau terindikasi mengalami pembukaan lahan.
Berdasarkan data yang diolah Pantau Gambut dari Balai Besar Litbang Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), serta Greenpeace Indonesia, wilayah berizin di atas lahan gambut Indonesia mencapai 5,1 juta hektar. Dari jumlah tersebut, luasan terbesar merupakan izin hak guna usaha (HGU) atau perkebunan sawit dan hutan tanaman industri (HTI).
Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Riau Romes Irawan Putra, dalam konferensi pers secara daring, Jumat (28/5/2021), mengemukakan, analisis dekstop menunjukkan area gambut terbakar selama periode 2015-2019 tercatat seluas 1,5 juta hektar. Dari jumlah tersebut, 70 persen di antaranya merupakan area konsesi.
Saat dilakukan verifikasi lapangan untuk mengetahui kewajiban pemulihan gambut di 335 titik wilayah konsesi, 91,5 persen di antaranya tidak ditemukan adanya infrastruktur restorasi gambut. Adapun 1,8 persen ditemukan infrastruktur sekat kanal atau sumur bor dengan kondisi baik.
Kawasan gambut Rawa Tripa di Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya, Provinsi Aceh, dibuka untuk ditanami sawit, seperti direkam pada Senin (25/6/2018). Alih fungsi menjadi lahan sawit memicu menyusutnya ekosistem rawa gambut di Aceh.
”Artinya, yang kami temukan di lapangan ini hampir tidak ada upaya pemegang konsesi untuk melakukan pembangunan infrastruktur restorasi gambut,” ujarnya.
Dalam kajian ini, Pantau Gambut juga melakukan analisis citra satelit untuk mengetahui pembukaan dan pemanfaatan lahan di area gambut lindung. Hasil analisis menunjukkan, terjadi kehilangan tutupan pohon pada gambut fungsi lindung di area konsesi seluas 421.000 hektar selama periode 2015-2018.
Dari hasil verifikasi lapangan di 405 titik, 64 persen di antaranya menunjukkan lahan yang dibuka telah ditanami tanaman ekstraktif, seperti akasia atau sawit. Adapun lahan lainnya dibiarkan telantar.
Koordinator Simpul Jaringan Pantau Gambut Kalimantan Barat Nicodemus Ale mengatakan, hasil pemantauan pada lokasi yang pernah terjadi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalbar, khususnya Ketapang, tidak ditemukan adanya kegiatan lapangan pemulihan pasca-karhutla. Sebaliknya, di salah satu area konsesi justru ditemukan kejadian kebakaran baru.
”Dari 12 konsesi yang kami pantau, hampir seluruhnya mengabaikan implementasi restorasi. Perusahaan hanya membuat papan peringatan bahaya kebakaran sebagai imbauan. Areal bekas kebakaran justru cenderung dibiarkan dan lebih banyak lokasi pemantauan yang tergenang semak serta tidak terurus,” tuturnya.
Artinya, yang kami temukan di lapangan ini hampir tidak ada upaya pemegang konsesi untuk melakukan pembangunan infrastruktur restorasi gambut.
Tantangan restorasi
Romes mengatakan, hasil kajian tersebut memperlihatkan masih terdapat sejumlah tantangan dalam restorasi di wilayah konsesi. Agar berjalan optimal, upaya restorasi di wilayah konsesi perlu diiringi dengan menerapkan sistem pemantauan yang dapat menunjukkan kemajuan atau status implementasi tersebut.
Selama ini belum ada informasi detail, baik dari KLHK maupun Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM), terkait implementasi restorasi di wilayah konsesi berserta ukuran keberhasilannya. KLHK hanya menyampaikan capaian restorasi hingga 2020 sebanyak 3,6 juta hektar dan BRGM seluas 645.834 hektar. Sedangkan di platform pemantauan kedua instansi tersebut hanya menunjukkan titik implementasi di wilayah nonkonsesi.
Selain itu, menurut Remos, perlu juga ada mekanisme pemantauan pelaksanaan perintah pemulihan yang lebih tegas dan transparan. Di sisi lain, penegakan hukum yang ada masih belum memberikan efek jera pada perusahaan sehingga perlu penguatan pada aspek ini.
”Upaya restorasi gambut di wilayah konsesi memerlukan pemantauan yang lebih transparan dan hukum yang lebih ditegakkan melalui partisipasi multipihak. Jangan hanya formalitas jualan ke dunia bahwa kita sudah menurunkan emisi gas rumah kaca dengan melakukan restorasi gambut,” ungkapnya.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Asep Andi Yusup, karyawan PT Mayangkara Tanaman Industri di bagian pengelolaan air, Senin (18/3/2019) ,di area konsesi perusahaan tersebut di Kalimantan Barat, menunjukkan sistem otomatis-mekanis irigasi gambut (irrigate draine system) yang berfungsi mengatur keluarnya air dalam penanaman sehingga tinggi muka air tanah di seluruh areal penanaman stabil. Alat ini menggunakan prinsip sederhana, seperti katup air toilet yang membuka-tutup aliran air untuk mempertahankan kebasahan/kelembaban gambut. Menurut peraturan, perusahaan wajib menjaga tinggi muka air tanah paling rendah 0,4 meter dari permukaan tanah.
Dihubungi terpisah, Kepala Kelompok Kerja Kehumasan BRGM Didy Wurjanto menyatakan, BRGM tidak boleh merestorasi gambut di area berizin karena hal tersebut merupakan tanggung jawab pemegang konsesi. BRGM hanya melakukan restorasi gambut bersama pemerintah daerah di areal penggunaan lain milik masyarakat dan kawasan hutan, baik produksi maupun lindung yang tidak berizin.
Namun, ia menduga infrastruktur pembasahan gambut (IPG) tidak dibangun oleh pemegang konsesi karena tidak ada pengetahuan teknis. Di sisi lain, pemegang konsesi bisa juga dengan sengaja membiarkan lahan gambut kering sehingga mudah ditanami. Padahal, gambut kering mudah terbakar.
”Pantau Gambut mengidentifikasi pentingnya para pemegang izin membuat IPG, tetapi hanya 2 persen saja dari ketentuan yang jelas tidak efektif. Tetapi, siapa yang menilai kerja para pemegang izin tersebut dan kenapa sampai membandel, kami tidak mengetahuinya,” ucapnya.