Analisis Greenpeace Indonesia menunjukkan areal gambut yang telah direstorasi ternyata masih rentan terbakar. Kerentanan ini menunjukkan alih fungsi gambut sebagai fungsi lain, seperti perkebunan sangat berisiko tinggi.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Mayoritas kesatuan hidrologis gambut di tujuh provinsi prioritas pemulihan ekosistem gambut masih rentan terbakar. Pemerintah pun didesak untuk menghentikan semua budidaya perkebunan skala besar di kesatuan hidrologis gambut dan segera memulai pekerjaan restorasi secara utuh.
Peneliti Pemetaan dan Riset Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda, Jumat (2/4/2021), mengemukakan dari analisis yang dilakukan Greenpeace, tercatat hampir 2 juta hektar (ha) dari total 4,4 juta ha areal terbakar di tujuh provinsi pada 2015-2019 terdapat di 200 kesatuan hidrologis gambut (KHG). Adapun dari 2 juta ha lahan yang terbakar tersebut, 1 juta ha di antaranya terbakar pada periode 2016-2019 dan di 186 KHG.
“Ini menandakan KHG tersebut masih rentan dan sering terbakar dari tahun ke tahun. Kemudian jika dilihat dari KHG yang sudah memiliki banyak infrastruktur pembasahan gambut, ternyata di 64 KHG juga masih terbakar seluas 527.000 hektar,” ujarnya.
Dari hasil analisis peta status kerusakan gambut, ternyata hampir semua KHG di Indonesia sudah dalam keadaan rusak meski ada tingkatan dari rusak ringan, sedang, dan sangat berat. (Sapta Ananda)
Ia menyatakan analisis yang dilakukan Greenpeace itu dilatabelakangi oleh klaim pemerintah bahwa program restorasi gambut telah berhasil melebihi target 1,2 juta hektar pada akhir 2018. Pada akhir 2019, pemerintah juga mengklaim sebanyak 68 perusahaan hutan tanaman industri (HTI) dan 212 perusahaan kelapa sawit telah merestorasi lebih dari 3,47 juta hektar gambut.
Analisis difokuskan pada KHG karena ekosistem gambut adalah tatanan unsur gambut yang merupakan satu kesatuan utuh dan menyeluruh yang saling mempengaruhi. KHG juga memiliki peran penting dalam ekosistem gambut sebagai penjaga keseimbangan air karena tinggi muka air dalam KHG saling terhubung satu sama lain.
Sementara metodologi yang dilakukan dalam analisis ini menggunakan analisis spasial dan fokus pada tujuh provinsi prioritas pemulihan gambut yakni Riau, Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Papua. Analisis spasial dilakukan dengan tumpang tindih (overlay) peta-peta dan mengklasifikasikan KHG berdasarkan kriteria ke dalam lima tingkatan degradasi.
“Dari hasil analisis peta status kerusakan gambut, ternyata hampir semua KHG di Indonesia sudah dalam keadaan rusak meski ada tingkatan dari rusak ringan, sedang, dan sangat berat. Kami juga membagi lagi KHG ke dalam tiga kondisi kritis dengan variabel kunci di panjang kanal, okupansi konsensi sawit dan HTI, serta areal terbakar 2015-2019,” tuturnya.
Hasil analisis kondisi kekritisan KHG tersebut menunjukkan, dari total 520 KHG, terdapat 56 KHG yang masuk dalam kondisi kritis tinggi. Mayoritas KHG dengan kondisi kritis tinggi berada di Sumatera dan Kalimantan. Adapun 110 KHG masuk kondisi kritis sedang dan 354 KHG kritis rendah.
“Dari analisis ini kami menyimpulkan dan merekomendasikan untuk menghentikan semua budidaya perkebunan skala besar di KHG dan segera memulai pekerjaan restorasi gambut secara utuh. Kemudian perluas perlindungan KHG dengan kebijakan moratorium hutan dan gambut serta mendeklarasikannya sebagai kawasan konservasi atau lindung,” katanya.
Dalam diskusi bertajuk “Melihat Lima Tahun Perlindungan Gambut Indonesia Melalui Restorasi”, Kamis (1/4), Deputi bidang Perencanaan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Budi S Wardhana mengatakan, terdapat 3,4 juta hektar lahan gambut di kawasan budidaya yang masih utuh. Penerapan moratorium secara utuh dinilai sangat penting agar tidak membuka 3,4 juta hektar lahan gambut yang dalam rencana tata ruang diperuntukkan sebagai kawasan budidaya.
Budi mengakui bahwa kebakaran masih terjadi di beberapa areal yang telah dilakukan restorasi. Namun, data menunjukkan bahwa kejadian karhutla pada 2019 mengalami penurunan 63 persen di area terbakar 2015. Angka luas penurunan yakni dari 150.900 ha menjadi 55.900 ha.
“Ekosistem gambut adalah ekosistem yang khas karena kondisinya sangat ditentukan oleh perilaku air, bukan oleh unit manajemen. Jadi pendekatannya memang KHG karena restorasi biofisik harus dilengkapi dengan peningkatan pemahaman masyarakat pada kondisi lahan, cara pengolahan, dan alternatif ekonomi lain berbasis lahan basah,” katanya.
Selain itu, Budi juga menilai pelaksanaan moratorium cukup efektif dalam melindungi gambut dari pembukaan skala besar yang membutuhkan perizinan. Namun, moratorium ini juga harus diiringi dengan pemantauan dan penegakan hukum serta ditunjang peran semua pihak dalam mencegah pembukan lahan berskala kecil.