207 Kesatuan Hidrologis Gambut Telah Diinventarisasi
Dari 207 kesatuan hidrologis gambut yang diinventarisasi, sebanyak 33 KHG telah ditetapkan dalam peta berskala 1:50.000. Ini akan memperjelas ekosistem mana saja yang masuk ke dalam fungsi budidaya dan lindung.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Inventarisasi karakteristik ekosistem gambut tahun 2015-2020 telah mencapai 207 kesatuan hidrologis gambut. Semakin banyaknya karakteristik ekosistem gambut yang diinventarisasi, akan memperjelas ekosistem mana saja yang masuk ke dalam fungsi budidaya dan lindung sehingga memudahkan proses tata kelola, pengendalian, serta pengawasan kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Direktur Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan (PPKL) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) MR Karliansyah menyampaikan, dari 207 kesatuan hidrologis gambut (KHG) yang diinventarisasi, 33 KHG telah ditetapkan dalam peta berskala 1:50.000. Wilayah terbanyak yang telah diinventarisasi adalah Papua dengan 51 KHG, disusul Riau (38), Sumatera Utara (26), dan Kalimantan Tengah (20).
Guna mengurangi dampak buruk dari kerusakan gambut, kata Karliansyah, KLHK telah melakukan sejumlah langkah korektif tata kelola ekosistem ini. Selain inventarisasi karakteristik ekosistem gambut, langkah lainnya yang dilakukan, antara lain, melengkapi peraturan dan kebijakan untuk operasionalisasi, penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut (RPPEG), serta pemulihan ekosistem gambut.
”Capaian pemulihan fungsi ekosistem gambut di lahan masyarakat melalui desa mandiri peduli gambut hingga 2019 telah mencapai 9.894 hektar di lanskap yang telah terbasahi. Kemudian pada 2020, dalam rangka mendukung program pangan nasional di Kalimantan Tengah, sudah dipulihkan 36.298 hektar lahan masyarakat di eks Proyek Lahan Gambut,” ujarnya dalam diskusi daring Pojok Iklim, Rabu (24/3/2021).
Dari data pada 2015, gambut di wilayah konsesi seluas 4,1 juta hektar di mana 2,5 juta hektar di antaranya dibuka dan diusahakan di atas fungsi lindung. (Hartono Prawiraatmadja)
Selain itu pada area konsesi, seluas 3,6 juta hektar ekosistem gambut telah terbasahi dengan total 294 perusahaan. Dalam area konsensi tersebut juga telah dibangun titik pengamatan tinggi muka air tanah manual sebanyak 9.717 unit, stasiun curah hujan 816 unit, sekat kanal eksisting 29.260 unit, dan embung eksisting 522 unit.
Menurut Karliansyah, Indonesia memiliki ekosistem gambut terbesar keempat di dunia dengan luas 24,6 juta hektar dan 865 KHG. Hal ini membuat Indonesia menyimpan karbon hingga 46 gigaton yang 8-14 persen di antaranya berada di ekosistem gambut. Tata kelola dan pemulihan ekosistem gambut akan mencegah terjadinya pelepasan karbon ke atmosfer.
Kepala Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) Hartono Prawiraatmadja mengatakan, sejumlah aturan menyebutkan bahwa gambut memang dapat dimanfaatkan, tetapi harus dengan prinsip kehati-hatian. Sebab, gambut dengan kedalaman 3 meter masuk ke dalam fungsi lindung.
”Namun, ketentuan ini tidak sepenuhnya diikuti karena sebagian besar pemanfaatan lahan gambut yang telah dilakukan juga di kawasan lindung. Dari data pada 2015, gambut di wilayah konsesi seluas 4,1 juta hektar, dengan 2,5 juta hektar di antaranya dibuka dan diusahakan di atas fungsi lindung,” tuturnya.
Hartono menegaskan, koreksi terkait gambut yang dibudidayakan dan dilindungi saat ini sangat diperlukan mengingat fakta masih tingginya luasan pemanfaatan gambut yang tidak sesuai dengan peruntukan. Sebab, gambut merupakan sumber daya alam yang dimiliki Indonesia sehingga perlu dimanfaatkan secara bijak.
”Dalam pengelolaan ekosistem gambut, tentu kita tidak hanya berorientasi pada manfaat ekonomi, tetapi juga harus mempertimbangkan aspek lingkungan yang menjadi hak semua warga negara. Kebakaran hutan dan lahan di ekosistem gambut juga perlu dicegah dan dalam jangka panjang pengelolaan ini sangat bergantung pada partisipasi masyarakat di sekitarnya,” katanya.
Ahli Kebakaran Hutan dan Lahan Fakultas Kehutanan IPB University, Lailan Syaufina, menilai, pengelolaan ekosistem gambut di Indonesia saat ini cukup kuat dari sektor kebijakan nasional, pemetaan lahan gambut, dan pengembangan sistem deteksi karhutla. Selain itu, upaya pelibatan masyarakat, seperti masyarakat peduli api (MPA) maupun desa peduli gambut dan mangrove (DMPG) juga dinilai telah menguatkan tata kelola gambut.
Meski demikian, ia juga mencatat masih terdapat prioritas ke depan, terutama percepatan inventarisasi KHG untuk mendetailkan potensi dari setiap ekosistem gambut. Adapun prioritas lainnya yang perlu dikedepankan di antaranya penelitian jasa lingkungan gambut, penguatan DMPG, konservasi biodiversitas, hingga pengembangan agroforestri.