Pendapatan Dasar untuk Perlindungan Hutan di Papua
Perlindungan 70 persen hutan di Papua bisa menghasilkan pendapatan dasar bagi seluruh orang asli Papua, mulai dari anak-anak hingga dewasa.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·5 menit baca
Keberlanjutan hutan di Papua yang bisa saja bernasib sama seperti hutan di Sumatera dan Kalimantan yang telanjur diacak-acak dan dicacah-cacah untuk industri berbasis lahan, menjadi kegelisahan banyak pihak. Berbagai ide dan usulan diungkapkan untuk melindungi salah satu ekosistem pulau besar yang disebut-sebut sebagai salah satu penentu kelanjutan krisis iklim dunia ini.
Namun, di satu sisi, perlindungan hutan bukanlah isu menarik mengingat upaya tersebut tak mendatangkan keuntungan langsung secara ekonomi. Ketika kavling hutan dibagi-bagi untuk kebun, industri hutan monokultur, ataupun peruntukan lain, hitung-hitungan konvensionalnya sudah bisa dipastikan ”tak masuk”, jika tak mau dikatakan merugi.
Saat hutan dilindungi dan tak dibebani izin eksploitatif, tidak ada pendapatan beserta transaksi ikutannya yang bisa dihasilkan. Itulah sebabnya, banyak pemerintah daerah, terutama di era otonomi daerah yang menempatkan gubernur memiliki kewenangan atas hutan, kurang memperhatikan perlindungan hutan. Keengganan ini terlebih pada area yang berada di luar hutan lindung/konservasi.
Penghasilan dari karbon dengan melindungi 70 persen hutan Papua bisa mendapatkan pendapatan dasar bagi seluruh orang asli Papua, dari anak-anak hingga orang dewasa.
Wilayah area penggunaan lain (APL), meski masih berhutan lebat dan tegakan yang sempurna, dengan mudahnya beralih menjadi berbagai peruntukan. Penghentian izin di hutan alam primer, yang moratoriumnya dimulai sejak tahun 2011, memiliki sisi permisif pada banyak kegiatan.
Padahal, keberadaan hutan tersebut diperlukan untuk mengatasi krisis iklim. Peluang untuk mendapatkan hasil dari perlindungan hutan itu terbuka serta mendatangkan manfaat dan pendapatan secara langsung.
Sumber finansial untuk melindungi hutan itu bisa, di antaranya, didapatkan melalui perdagangan karbon. Inilah yang dipelajari Basic Income Lab di Universitas Indonesia untuk ditawarkan menjadi solusi bagi keberlanjutan hutan di Indonesia, khususnya Papua.
Dalam hasil riset yang dimuat dalam laporan ”Basic Income for Nature and Climate” yang diluncurkan beberapa waktu lalu, pendiri Basic Income Lab dan peneliti senior World Resources Institute, Sonny Mumbunan, menghitung penghasilan dari karbon dengan melindungi 70 persen hutan Papua bisa mendapatkan pendapatan dasar bagi seluruh orang asli Papua, dari anak-anak hingga orang dewasa.
Nilai dari stok karbon di atas dan di bawah tanah di Bumi Cenderawasih itu bisa mencapai 130 miliar dollar AS untuk Provinsi Papua dan 43 miliar dollar AS untuk Papua Barat. Ini dengan patokan atau asumsi harga karbon yang rendah saat ini, yaitu sekitar 5 dollar AS per ton.
Sekadar informasi, dalam program Koalisi Lowering Emissions by Accelerating Forest finance (LEAF) pada acara Leaders Summit on Climate, 22 April 2021, yang digagas oleh Amerika Serikat, Inggris, dan Norwegia, harga karbon ditawarkan 10 dollar AS per ton atau dua kali lipat yang diasumsikan Basic Income Lab. Bahkan, dalam suratnya kepada gubernur-gubernur saat merespons proposal Koalisi LEAF yang bertanggal 27 April 2021, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar menyebut harga karbon bisa jauh lebih tinggi dari proposal LEAF, yaitu 140 dollar AS per ton.
Dengan asumsi 5 dollar AS per ton saja, kajian Basic Income Lab menyebut perdagangan karbon bisa memberikan setiap orang Papua sebanyak Rp 1,7 juta (anak-anak), Rp 2,1 juta (dewasa muda), dan Rp 2,8 juta (dewasa). Bagi mereka yang berada di Papua Barat, setiap orang di masing-masing kelompok umur tersebut adalah Rp 1,3 juta, Rp 1,9 juta, dan Rp 2,3 juta per bulan.
Ide atau wacana pemberian dividen ini menarik meski dari sisi konsep berbeda dengan prinsip basic income atau pendapatan dasar. Biasanya, pendapatan dasar ini diberikan tanpa syarat kepada semua. Karena itu, dalam konsep pendapatan dasar untuk iklim, alam, dan kemanusiaan yang dicetuskan di Papua ini sebenarnya bersyarat, yaitu hutan harus dijaga dan dilindungi.
”Kami mengungkapkan bahwa terdapat tantangan konseptual dan praktis yang penting dalam hal mempertahankan fitur tanpa syarat dari basic income yang ditujukan untuk alam dan iklim,” ungkap Sonny Mumbunan dalam peluncuran ”Basic Income for Nature and Climate”, pekan lalu. Sekadar informasi, dalam sesi media, judul kegiatannya ”Basic Income for Nature, Climate, and Humanity”.
Papua menjadi sasaran studi karena Tanah Papua memiliki hutan yang sangat luas dan memiliki 13.000 jenis tumbuhan yang 9.000 jenis di antaranya endemis. Biodiversitas flora endemis yang sangat tinggi ini mengungguli Madagaskar (Kompas.id, 6 Agustus 2020). Di sisi lain, masyarakat di Tanah Papua tergolong masih sangat miskin.
Ada 21,7 persen penduduk miskin di Papua Barat dan 26,8 persen di Papua. Penduduk miskin di dua provinsi itu masih lebih tinggi dari angka nasional yang pada September 2020 sebesar 10,19 persen.
Di sisi lain, Tanah Papua disebut-sebut merupakan jalan keluar untuk mengatasi krisis iklim yang akan signifikan berpengaruh pada keberlanjutan manusia dan keanekaragaman hayati, baik di laut maupun di darat. Penurunan tutupan hutan di Tanah Papua dari 87 persen (40 juta ha) dari total luas hutan saat ini menjadi 70 persen akan melepaskan jumlah karbon dioksida atau emisi gas rumah kaca lebih banyak daripada yang diproyeksikan oleh emisi negara pada 2030.
Sebagai ilustrasi, perhitungan itu tiga kali lipat lebih besar dari pengurangan emisi yang dimaksudkan oleh Indonesia dari semua sektor sebagaimana yang disampaikan pada Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim (UNFCCC). Perlindungan berbasis sumber daya finansial nilai karbon ini bisa jadi menjadi pilihan untuk melindungi hutan Papua.
Namun, penerapannya tentu tak akan semudah membalik telapak tangan. Ungkapan ”The devil is in the details” akan tetap mengikuti. Mulai dari siapa saja yang berhak menerima, mekanisme pembayaran, penguasaan hutan per marga, hingga nanti terkait hak masyarakat tradisional untuk memanfaatkan hutannya bakal menjadi pernak-pernik masalah yang harus ditemukan solusinya tanpa meninggalkan permasalahan baru.
Yang perlu diingat, selain hutannya yang sangat penting dan jangan sampai tertinggal apalagi dilupakan, sisi manusia dan kemanusiaannya, yaitu masyarakat Papua itu sendiri, juga berhak untuk menentukan dan mengelola hutannya. Ini tentunya dengan menjalankan mekanisme padiatapa (persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan) secara adil dan terbuka.