Sepakat Jaga Hutan Papua
Sepuluh kelompok masyarakat pengelola hutan di Papua sepakat mengelola sesuai aturan. Mereka menunggu izin akhir dari KLHK yang belum juga turun.
YAPEN, KOMPAS —Komunitas masyarakat hutan adat menunggu regulasi pemerintah yang memungkinkan memanfaatkan hutan adat secara mandiri, tetapi tetap memastikan kelestariannya. Pendekatan kepada Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dilakukan sejak 2016.
Regulasi yang dimaksud adalah Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) di bawah KLHK.
”Empat tahun terakhir, koperasi tak bisa beraktivitas. Kami hanya dapat menggunakan kayu hutan untuk kebutuhan sehari-hari dan membuat mebel. Sementara perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) meraup keuntungan besar penjualan kayu di Papua,” kata Ketua Koperasi Serba Usaha (KSU) Yera Asai Terianus Ayomi, di Kampung Sawendui, Kepulauan Yapen, Papua, Sabtu (6/4/2019).
Difasilitasi WWF-Indonesia Program Papua, sebanyak 10 kelompok pengelola hutan di Papua membuat kesepakatan bersama untuk mengelola hutan sesuai regulasi. Kesepakatan itu muncul saat penutupan diskusi ”Berbagi Pengalaman dalam Pengelolaan Hutan bagi Masyarakat Adat”, di Kampung Sawendui, Kepulauan Yapen.
Kegiatan yang berlangsung sejak Rabu (3/4) itu diikuti 10 kelompok masyarakat adat pengelola hutan di sejumlah kabupaten di Papua. Setiap kelompok memiliki luas kawasan hutan 2.500-5.000 hektar.
Mereka adalah Kelompok Ekowisata Rhepang Muaif, KSU Jibogol dan KSU Grisela dari Kabupaten Jayapura, KSU Sapusanie dan KSU Tetom Jaya dari Kabupaten Sarmi, KSU Kornu, Kelompok Ekowisata Sarawandori dan KSU Yera Asai dari Kepulauan Yapen, Kelompok Kumea Ampas dari Kabupaten Keerom, dan Kelompok Mo Make Unaf dari Kabupaten Merauke.
Menurut Terianus, koperasinya telah mengusulkan kepada dinas kehutanan terkait izin mengelola hasil hutan sesuai regulasi. Namun, belum ada putusan dari KLHK terkait penetapan NSPK.
Masyarakat, menurut dia, siap mengikuti peraturan pemerintah pusat terkait pengelolaan hutan adat yang sesuai prosedur. Mereka juga mengutamakan asas perlindungan hutan.
Menurut Kepala Seksi Perencanaan Pemanfaatan Hutan Dinas Kehutanan Papua Erni Unenor, pemeirntah provinsi telah mengeluarkan izin usaha pengelolaan dan pemanfaatan hasil hutan kayu masyarakat hukum adat bagi 15 kelompok di Jayapura, Sarmi, Kepulauan Yapen, Merauke, Nabire, dan Biak Numfor.
”Tujuan izin itu ingin memberi kehidupan ekonomi lebih baik bagi masyarakat. Meski telah memiliki izin usaha itu, 15 kelompok ini belum dapat beroperasi karena menunggu turunnya NSPK. Sebab, NSPK merupakan dasar hukum pelaksanaan izin itu,” kata Erni.
Belum dijawab
Direktur WWF Indonesia Program Papua Benja Mambay mengatakan, bersama Gubernur Papua Lukas Enembe dan Dinas Kehutanan Provinsi Papua, ia telah bertemu Menteri LHK Siti Nurbaya membicarakan pemberian NSPK bagi masyarakat dalam mengelola hutannya pada 2016. Namun, belum ada jawaban.
”Kami memastikan masyarakat bisa mengelola hutannya dengan prinsip berkelanjutan. WWF mendampingi enam kelompok masyarakat dalam pengelolaan hutan lestari, tidak mengganggu area hutan lindung serta kehidupan flora dan fauna di area hutan itu lima tahun terakhir. Seharusnya pemerintah memberi kesempatan mereka,” ujarnya.
Terianus mengatakan, ketiadaan regulasi yang memihak masyarakat adat bisa membuat mereka tergiur iming-iming perusahaan yang terlibat pembalakan ilegal.
”Kami butuh biaya hidup sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anak. Jika tak ada regulasi dari pemerintah, masyarakat akan memilih menjual hasil kayu kepada perusahaan yang terlibat illegal logging,” tuturnya.
Menurut Benja, ketidakpercayaan pemerintah pusat menyebabkan masyarakat memilih memberi kesempatan kepada perusahaan produsen kayu olahan. Temuan WWF di Jayapura hingga Sarmi, masih ada sekitar 10 truk pengangkut kayu per hari yang terindikasi ilegal.
”Sungguh ironis, masyarakat hanya dibayar Rp 300.000 hingga Rp 500.000 per meter kubik. Sementara perusahaan mendapat jutaan rupiah per meter kubik,” ucapnya. (FLO)